Senin, 28 September 2020

Tak Sekadar Berbeda Jalan

Allah Ta'ala telah menetapkan bahwa setan adalah musuh manusia. Hal ini dinyatakan oleh Allah Ta'ala dalam al-Qur'an surat Fathir [35] ayat 6, "Sungguh setan itu musuh bagimu, maka perlakukanlah ia sebagai musuh, karena sesungguhnya setan itu hanya mengajak kepada golongannya agar mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala."

Sayangnya, banyak manusia yang tidak benar-benar menganggap bahwa setan itu adalah musuh yang harus diwaspadai, dijauhi, bahkan dilawan. Meskipun tipu daya setan itu lemah, sebagaimana diungkap oleh Allah Ta'ala dalam An Nisa [4] ayat 76, namun ketidakseriusan manusia untuk menganggapnya sebagai musuh serta keengganan manusia untuk meminta pertolongan kepada Allah Ta'ala dari gangguan mereka, menyebabkan banyak manusia yang tergelincir. Mereka lebih memilih jalan setan ketimbang jalan yang lurus.

Celakanya lagi, antara manusia yang memilih jalan setan dengan manusia yang memilih jalan Islam tak sekadar berbeda jalan. Namun, dalam banyak hal, mereka juga berbenturan. Ada benturan yang lemah, ada juga yang keras.  

Para pemilih jalan kebenaran tentu saja berkewajiban untuk mengingatkan, menasehati, mengajak, dan mendakwahi siapa saja yang telah tergelincir ke jalan yang bengkok agar kembali ke jalan yang lurus. Niat mereka mulia. Mereka tak ingin saudaranya tersesat sehingga menyesal di Hari Berbangkit kelak.

Tapi sebaliknya, kebanyakan manusia yang memilih jalan bengkok tak suka diingatkan. Mereka marah karena merasa terusik, terganggu kepentingannya, tak bebas menurutkan hawa nafsunya, dan bersikukuh dengan pendapatnya tentang kebenaran. 

Sikap penentangan ini bukanlah hal baru. Sikap ini sudah ada sejak awal peradaban manusia. Ketika Allah Ta'ala menciptakan Adam Alaihissalam (AS), iblis cemburu lalu menentang perintah Allah Ta'ala. Para Nabi dan Rasul selanjutnya juga ditentang oleh kaumnya. Ada yang dibunuh, dipenggal, disiksa, atau didurhakai.

Rasulullah SAW juga mengalami penentangan, bahkan sejak pertama kali beliau diperintahkan oleh Allah Ta'ala untuk berdakwah secara terang-terangan. Ketika itu, beliau mengumpulkan sanak keluarganya di Bukit Shafa, lalu mengingatkan mereka akan siksa neraka. Aku mengingatkan kalian akan adanya siksa yang sangat pedih, kata beliau sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Paman beliau, Abu Lahab, langsung mencaci maki beliau. Celakalah engkau (Muhammad). Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami di sini?”

Kebenaran dan kebathilan memang tak akan bisa bersatu. Allah Ta'ala telah mengingatkan hal ini dalam al-Qur'an surat Al-Baqarah [2] ayat 42, "Dan janganlah kamu campur adukkan kebenaran dengan kebatilan, dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran, sedang kamu mengetahuinya."

Dalam ayat lain, Allah Ta'ala berfirman, "Kebenaran telah datang dan yang bathil telah lenyap. Sungguh, yang bathil itu pasti lenyap," (Al-Isra [17]: 81).

Di sisi lain, Rasulullah SAW juga bersabda, "Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu (maka ubahlah) dengan lisan. Jika tidak mampu (maka ubahlah) dengan hatinya. Itulah selemah-lemahnya iman," (Riwayat Muslim). 

Demikianlah, benturan itu nyata. Benturan itu tak kita kehendaki, namun jangan pula menjadikan kita menyerah. Dakwah tetap harus berjalan, sebab itulah tugas kita. Amar maruf nahi munkar tetap harus kita perjuangkan, sebab karena itulah kita menjadi sebaik-baik umat, sebagai mana Allah Ta'ala berfirman, "Kalian adalah sebaik-baik umat manusia (karena kalian) menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah ..." (Ali Imron [3]:110).  

Wallahu alam.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat