Kamis, 03 September 2020

Kunci Surga Ada Pada Taat

Suatu ketika, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam (SAW) berkata kepada para sahabatnya, “Seluruh umatku akan masuk surga kecuali yang enggan.”


Mendengar ungkapan ini para sahabat spontan bertanya kepada Rasulullah SAW. “Wahai Rasulullah, siapakah (orang) yang enggan (masuk surga)?”

Rasulullah SAW lalu menjawab, “Barang siapa yang taat kepadaku, maka ia akan masuk surga. Dan, barangsiapa yang tidak menaatiku berarti ia telah enggan (masuk surga).”

Dialog sederhana yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah ini memberi petunjuk kepada kita tentang syarat seorang manusia bisa memasuki pintu-pintu surga, yakni taat kepada ajaran Rasulullah SAW, yang juga berarti taat kepada Allah Ta’ala.

Empat Kunci Surga

Lantas bagaimana agar kita bisa taat? Kuncinya ada empat, sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala dalam surat Al-Ashr [103] ayat 1 sampai 3. “Demi masa. Sesungguhnyaa manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orangyang (1) beriman, (2) beramal sholeh, (3) saling menasehati dalam kebaikan, dan (4) saling menasehati dalam kesabaran.” 

Jadi empat kunci tersebut adalah iman, amal, dakwah, dan sabar. Imam Syafi’i dalam tafsirnya menulis tentang ayat ini, “Seandainya Allah tidak menurunkan hujjah atas para hamba-Nya melainkan hanya surat ini, niscaya itu telah cukup.”

Syarat pertama, iman, tentu saja mutlak harus ada pada diri orang yang taat. Tidak ada ketaatan tanpa didasari oleh iman. Allah Ta’ala berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin (beriman) dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka ...” (Al Ahzab [33]:36)

Namun, iman akan tumbuh dengan izin Allah Ta’ala bila ada pemahaman atau ilmu yang benar. Pembentukan iman selalu diawali oleh proses pembelajaran. Tidak bisa serta merta. Bahkan, Syekh Muhammad al Utsaimin dalam bukunya al-Ilm menyatakan bahwa iman yang benar adalah iman yang dilandaskan atas ilmu yang benar.

Syarat kedua, amal yang baik (shaleh). Amal adalah wujud dari iman, sekaligus wujud dari ketaatan. Buya Hamka, dalam bukunya Kesepaduan Iman dan Amal Saleh, menyatakan bila seorang Muslim mengaku beriman namun enggan mengerjakan amal shaleh secara berkelanjutan maka kosonglah jiwanya dan binasalah hatinya.

Bahkan, amal shaleh yang dilandasi oleh iman, tak sekadar membahagiakan pelakunya di akhirat, juga di dunia. Allah Ta’ala berfirman dalam surat An-Nahl [16] ayat 7, “Barangsiapa yang beramal shaleh, baik lelaki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik ...”  Makna “kehidupan yang baik”, menurut Ibnu Abbas sebagaimana dikutip Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah, adalah kebahagiaan di dunia.

Amal juga perlu ilmu. Ilmu dan amal tak bisa dipisahkan. Orang memiliki ilmu namun tidak mengamalkannya akan menyerupai orang-orang Yahudi, dan mereka dimurkai oleh Allah Ta’ala. Sedang orang yang beramal namun tidak berlandaskan ilmu akan menyerupai orang-orang Nasrani, dan mereka tergolong orang-orang yang sesat.

Syarat ketiga, dakwah, atau saling menasehati dalam kebaikan. Ini penting, karena seorang Muslim tak boleh berkeinginan masuk surga sendirian. Ia harus mengajak orang lain, terutama orang-orang yang berada di dekatnya. Masih banyak saudara kita yang lalai dari urusan akhirat, lupa bahwa sesungguhnya surga memang benar adanya, dan akhirat itu adalah nyata.

Dakwah adalah jalan para Nabi dan Rasul. Mengikuti jalan dakwah adalah mengikuti jalan para Nabi dan Rasul dengan segala keutamaannya. Namun, dakwah tetap butuh iman, ilmu, dan amal. Allah Ta’ala berfirman dalam Al Isra’ [17] ayat 36, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya.

Pada ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan,” (Ash Shaff [61]: 2-3)

Syarat keempat, sabar. Jalan dakwah dan jalan ketaatan tak akan pernah mudah. Jadi, tidak ada ketaatan tanpa kesabaran. Allah Ta’ala telah menegaskan hal itu. “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung,” (Ali Imron [3]:200).

Al Hasan Al Basri dalam Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini bermakna perintah untuk bersabar dalam ketaatan menjalankan perintah Allah Ta’ala, baik dalam keadaan suka maupun tidak, miskin maupun kaya, hingga ajal menjemput kita.

Wallahu a’lam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat