Senin, 24 Agustus 2020

Tiliklah Film Setelah Tertawa

Realitas kehidupan memang menarik jadi tontonan. Para pegiat film tahu persis hal itu. Mereka menampilkan realitas untuk ditertawakan, atau setidaknya disenyumi. Masyarakat juga senang menontonnya. Lucu dan menghibur, kata mereka.

Adegan ghibah sejumlah emak-emak, misalnya, dikemas dengan sangat alami plus raut wajah yang lucu. "Bibirnya sampai maju lima centi," ujar seorang pemirsa di laman media sosialnya setelah menyaksikan adegan ghibah tersebut.

Meng-ghibah tentu saja salah dalam adab Islam. Jika informasi yang di-ghibah-kan ternyata benar, tetap saja ia dihukumi salah, apalagi jika informasinya salah, maka ia terkategori fitnah.

Tapi, beberapa orang mencoba bijak setelah melihat adegan ghibah tersebut. "Itulah realitas kehidupan kita saat ini. Justu itu tantangan buat kita agar mendakwahi orang-orang seperti itu," jelasnya.  "Ambil yang baiknya, buang yang buruknya," jelas yang lain.

OK-lah. Realitas kehidupan memang beragam. Ada yang baik, ada yang buruk. Di atas muka bumi ini, tak semua orang baik. Juga tak semua orang buruk.  

Allah Ta'ala, dalam beberapa ayat al-Qur'an, menganjurkan kepada kita agar berjalan di atas muka bumi dan melihat itu semua. “Fasiiru fil ard (berjalanlah kamu di atas muka bumi)," kata Allah Ta'ala

Namun, ayat-ayat tersebut tidak berhenti sampai di situ. Ada kelanjutannya. Dalam satu ayat, Allah Ta'ala menyebut, "... dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (para Rasul)," (Ali Imran [4]: 137)

Pada ayat lain Allah Ta'ala menyebut, "...sehingga mereka dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka. Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka ...” (Muhammad [47]: 10)

Jadi, kita tak boleh sekadar berjalan-jalan atau melihat-lihat realitas kehidupan. Kita juga harus memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang ber-ghibah, memfitnah, berbuat serong, berbuat curang dan culas. Seperti apa kesudahan mereka?

Kembali kepada tontonan realitas kehidupan yang banyak disajikan para sineas di dunia maya, bisakah kita melihat kesudahan orang-orang yang mendustakan agama Allah? Jika tidak, maka sia-sialah tontonan itu. 

Barangkali beberapa di antara kita berargumen bahwa kesudahan orang-orang yang mendustakan agama Allah Ta'ala telah kita pahami meskipun tak diperlihatkan dalam fragmen film tersebut. OK-lah! Tapi seberapa banyak orang yang paham? Seberapa banyak orang yang mengimaninya?

Lalu, bagaimana pula dengan film-film transgender yang banyak beredar di internet dengan kemasan yang sangat apik, perpaduan antara tawa dan air mata? Bagaimana dengan film kehidupan seorang waria yang dikisahkan dengan amat menyentuh? Atau, kisah hidup kaum gay dan lesbian yang dikemas seolah-olah mereka telah ditakdirkan seperti itu? 

Jadi, setelah kita tertawa melihat adegan lucu sebuah realitas kehidupan dalam sebuah film, maka segeralah teliti pesan apa yang ingin disampaikan oleh sang sutradara lewat film itu. Periksalah, apakah sama pesannya dengan pesan Allah Ta'ala tentang orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya. Jika tidak, matikanlah poselmu! ***




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat