Jumat, 21 Agustus 2020

Hijrah Kepada Jalan yang Lurus

Ibnul Qoyyim dalam Risalah Tabukiyah  membagi hijrah menjadi dua macam. Pertama, hijrah secara fisik dari negeri kafir atau jahiliah menuju negeri Islam, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam (SAW) dan para sahabat yang meninggalkan Makkah menuju Madinah.

Kedua, hijrah hati, yakni meninggalkan jalan yang bengkok menuju jalan yang lurus. Rasulullah SAW bersabda, "...seorang muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah,” (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Hijrah hati bersifat fardhu ‘ain. Setiap orang harus melakukannya dengan segera. Jangan menunda-nunda. Sebab, kita tak tahu kapan ajal akan tiba. Allah Taala berfirman, "Maka segeralah (berlarilah) kembali kepada (menaati) Allah...” (Az Zariyyat [51]:50). 

Namun, hijrah hati bukan perkara mudah. Sebab, ada konsekuensi yang harus kita terima; kesenangan yang harus kita tinggalkan, kebiasaan yang harus kita ubah, harta yang harus kita korbankan, dan kebersamaan yang harus kita akhiri.

Bahkan, hijrah fisik yang dilakukan kaum Muslim di masa Rasulullah SAW baru bisa terlaksana secara sempurna bila didahului oleh hijrah hati. Karena itulah mereka tak merasa berat ketika harus mengorbankan begitu banyak harta, kedudukan, bahkan keluarga.

Hijrah hati hanya bisa dilakukan oleh orang yang imannya kokoh. Yakni orang-orang yang yakin kepada janji-janji Allah Ta'ala. Iman yang kuat akan membuat seseorang istiqomah, tidak tergiur untuk kembali ke jalan yang bengkok.

Allah Ta'ala  berfirman, "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata," (Al Ahzab [33]:36).

Jadi, orang yang berhijrah kepada jalan yang lurus tak boleh ragu untuk meninggalkan urusan lamanya. Bahkan dia rela meninggalkan pendapat kebanyakan manusia yang menyelisihi ketetapan Allah Ta'ala dan Rasul-Nya. Ia rela bersendirian. Sebab, jalan lurus yang dijejaki oleh Rasulullah SAW adalah jalan mendaki dan sulit, jalan sepi yang tak akan banyak dilalui orang.

Allah Ta'ala berfirman dalam surat al-Balad [90] ayat 12, "Dan tahukah kami apakah jalan yang mendaki dan sukar?" Pertanyaan ini dijawab oleh Allah Ta'ala dalam ayat ke 13 hingga 16, lalu ditutup dengan ayat 17, "Kemudian dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang."

Hijrah hati perlu bekal kesabaran yang banyak. Sabar menghadapi segala cobaan. Karena tak mungkin orang beriman tak diuji oleh Allah Ta'ala. Kata Allah Ta'ala dalam surat al-Ankabut [29] ayat 2 dan 3. "Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, Kami telah beriman, padahal mereka belum diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka. Maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar, dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta."

Hijrah hati adalah urusan hati, bukan sekadar urusan akal. Karena itu ia perlu proses, tak bisa instan. Ia perlu diuji, bahkan berulang-ulang. Dan, yang paling penting, ia perlu doa yang tulus kepada Allah Ta'ala.  Sebab, urusan hati adalah urusan Allah Ta'ala.  Tak ada manusia melainkan hatinya berada dalam genggaman Allah Ta'ala.

Oleh karena itu, Rasulullah SAW menganjurkan sebuah doa agar Allah Ta'ala menjaga hati manusia agar tetap di jalan yang lurus. Yaa Muqallibal quluub. Tsabbit qalbii alaa diinik (Wazai Dzat yang membolak balikkan hati. Teguhkanlah hatiku berada di atas agama-Mu.)

Ummu Salamah pernah menanyakan kepada Rasulullah SAW mengapa doa ini sering beliau baca. Rasulullah SAW menjawab, "Wahai Ummu Salamah. Hati manusia selalu berada di antara jari jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya," (Riwayat Tirmidzi)

Menjaga iman setelah hijrah bukan perkara gampang, terlebih di masa sekarang ini. Di masa Rasulullah SAW masih hidup saja, banyak orang-orang yang tergelincir. Sampai-sampai Allah Ta'ala mengingatkan dalam al-Quran surat Ali Imran [3] ayat 101, "Bagaimana mungkin kalian menjadi kafir sedangkan ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kalian ..." Apalagi di masa sekarang di mana kita amat jauh terpaut waktu dari Rasulullah SAW. 

Karena itu kita perlu bersahabat kepada orang-orang yang bisa memberikan kebaikan dan sering menasehati kita. Rasulullah SAW berkata, "Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang yang shalih dan orang yang jelek bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya, atau mendapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, setidaknya engkau dapat baunya yang tidak enak," (Riwayat Bukhari).

Semoga Allah Ta'ala melindungi kita dari kesesatan. ***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat