Kamis, 09 Juli 2020

Mengajak Manusia ke Jalan Allah

Setelah Rasulullah SAW menerima wahyu pertama dari Allah Ta'ala melalui Malaikat Jibril di Gua Hira, untuk beberapa saat, wahyu tak turun lagi. Ada ulama yang berpendapat, masa terputusnya wahyu ini hanya beberapa hari saja. Namun, ada juga ulama yang menyatakan masa ini mencapai 6 bulan.

Berapa pun lamanya, masa ini telah membuat Rasulullah SAW amat gusar. Hingga suatu saat, ketika Rasulullah SAW tengah berjalan kaki, tiba-tiba terdengar suara dari langit. 

“Seketika aku mengarahkan pandanganku ke atas. Dan ternyata malaikat yang dulu mendatangiku di Gua Hira terlihat tengah duduk di atas kursi yang terletak di antara langit dan bumi,” cerita Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim.

Rasulullah SAW gemetar dan merasa amat takut. Beliau bergegas pulang dan berkata kepada keluarganya, Selimutilah aku, selimutilah aku!  

Pada saat itulah Allah Ta'ala menurunkan firman-Nya, “Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah! Lalu berilah peringatan ... (hingga akhir ayat ketujuh)." 

Inilah surat Al Muddatsir [74], surat kedua yang Allah Ta'ala turunkan setelah surat Al-Alaq [96] ayat 1-5. Dalam surat ini, perintah Allah Ta'ala sudah sangat jelas. Allah Ta'ala menyuruh Rasulullah SAW untuk bangun. Masa berleha-leha (berselimut) telah usai. Saatnya kini masa berjuang dengan segala risiko yang akan dihadapi, mengajak manusia agar mau menempuh jalan yang lurus. Jalan Islam.
 
Yang menarik, perintah ini datang justru ketika Rasulullah SAW belum lama diangkat oleh Allah Ta'ala menjadi Rasul. Otomatis, belum banyak wahyu yang beliau terima. Baru lima ayat. Setelah itu terputus beberapa lama. 

Namun, perintah berdakwah langsung datang ketika wahyu kedua turun. Ada hikmah menarik dari fenomena ini. Bahwa, tugas dakwah harus segera dilakukan meski ilmu yang didapatkan belum banyak. 

Kita pun demikian. Setiap kita punya kewajiban berdakwah meski ilmu kita belum banyak. Setiap kali kita memperoleh suatu ilmu, maka amalkan dan dakwahkan. Sebab, seperti itu pula Rasulullah SAW. Setiap kali beliau menerima wahyu maka beliau akan mengamalkannya dan mendakwahkannya. 

Namun, menurut Ibnu Taimiyah, kewajiban berdakwah bersifat fardhu kifayah. Artinya, jika sebagian telah melakukannya maka yang lain gugurlah kewajibannya. Begitu pula sebaliknya, jika tak ada yang melakukannya, maka berdosalah seluruhnya.

Ini sejalan dengan firman Allah Ta'ala dalam surat Ali-Imran [3] ayat 104, "Hendaknya ada di antara kalian segolongan orang yang mendakwahkan kepada kebaikan, memerintahkan yang maruf, melarang yang mungkar. Mereka itulah sebenarnya orang-orang yang beruntung."

Ibnu Taimiyah juga mengatakan bahwa kewajiban berdakwah tergantung pada kemampuan seseorang. Ini sesuai dengan perkataan Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim, "Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Dan jika tidak mampu, maka ingkarilah dengan hatinya. Ini menunjukkan serendah-rendahnya iman."

Meskipun kewajiban dakwah bersifat fardhu kifayah, namun setiap Muslim sangat diajurkan untuk mengambil peran dalam dakwah. Sebab, ada begitu banyak keutamaannya. Bahkan, tersebab dakwah itulah maka umat Islam dikatakan sebaik-baik umat.

Allah Ta'ala berfirman dalam al- Quran surat Ali Imron [3] ayat 110, "Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang munkaar, dan beriman kepada Allah.” 

Wallahu alam. ***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat