Senin, 01 Juni 2020

Ketika Ibrahim “Mencari” Tuhan

"Wahai ayahku,” kata Nabi Ibrahim Alaihissalam (AS) kepada ayahnya, Azar, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat al-An’am [6] ayat 74. “Pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala itu sebagai Tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.”

Berhala-berhala yang dimaksudkan Nabi Ibrahim AS adalah patung-patung yang menyerupai simbol benda-benda langit. Ketika itu, kaum Nabi Ibrahim AS memang gemar beribadah kepada bintang-bintang, matahari, dan bulan. Berbeda dengan kaum Nabi Nuh AS yang hidup pada masa sebelumnya yang gemar menyembah kuburan dan patung-patung orang-orang shalih pada zamannya.

Tentu saja sang ayah tak menuruti nasehat sang anak yang diungkap dalam bentuk pertanyaan ini. Malah, dalam ayat lain di al-Qur’an disebutkan betapa marahnya Azar ketika Ibrahim AS meminta ia tidak lagi menyembah berhala-berhala itu. Azar berkata, “Bencikah engkau kepada tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika engkau tidak berhenti, pasti engkau akan kurajam,” (Maryam [19]: 46)

Lalu, secara halus Ibrahim AS mengajak ayahnya dan kaumnya untuk berfikir dengan melihat benda-benda langit yang selama ini mereka ibadahi. Benda langit pertama yang ia saksikan ketika malam telah gelap adalah bintang. Ibrahim AS berkata, “Inilah Tuhanku.”  

Bintang itu kemudian tenggelam dan tidak lagi terlihat. Ibrahim AS berseru,  “Aku tidak suka kepada yang terbenam,” (Al An’am [6]: 76).

Lalu Ibrahim AS melihat bulan muncul di langit yang hitam. Dia berkata lagi, “Inilah Tuhanku.”  

Lama kelamaan bulan itu juga terbenam. Ibrahim AS kembali berkata, “Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat,” (Al An’am [6]:77).

Setelah itu terbitlah matahari. Kembali Ibrahim AS berkata, “Inilah Tuhanku. Ini lebih besar.” 

Menjelang senja, matahari perlahan-lahan terbenam di ufuk barat. Melihat fenomena ini, Ibrahim AS menasehati kaumnya, “Wahai kaumku. Sungguh aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan. Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik,” (Al An’am [6]:78-79).

Begitulah kisah Ibrahim AS yang tertulis jelas dalam al-Qur’an. Ia mengajak kaumnya untuk berfikir bahwa benda yang selama ini mereka sembah tidaklah pantas untuk di-Tuhan-kan. Tak mungkin Tuhan berubah-ubah, kadang ada, kadang tiada. Kaumnya --bahkan ayahnya sendiri-- jelas tak bisa membantah logika yang diperlihatkan Nabi Ibrahim AS. 

Demikian pula kita. Jika kita merenungi alam semesta ini, mengamati fenomena-fenomena yang bergitu rumit namun teratur, maka akal kita akan membenarkan bahwa semua ini pastilah ada yang menciptakannya sekaligus mengaturnya. Tak mungkin ia ada dengan sendirinya. Tak mungkin ia bergerak atau berproses dengan sendirinya. 

Ada cukup banyak ayat dalam al-Qur’an yang meminta kepada manusia untuk memperhatikan alam sekitar agar kita benar-benar yakin kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah Ta’ala. Dalam surat Yunus [10] ayat 101, misalnya, Allah Ta’ala berfirman, “Perhatikanlah apa yang terdapat di langit dan di bumi.”  Demikian pula pada surat al-A’raf [7] ayat 185, Allah Ta’ala berfirman, “Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi?”

Namun, setelah kita memperhatikan fenomena alam semesta, apakah hati kita otomatis menjadi yakin? Belum tentu! Akal kita memang membenarkan, namun hati kita boleh jadi belum sepenuhnya mengimani. 

Jika hanya karena itu lantas hati kita akan langsung mengimaninya, maka mengapa masih banyak orang-orang yang ingkar kepada Allah Ta’ala meskipun ia telah bersyahadat? Mengapa masih banyak orang yang tak takut dengan azab neraka dan tak tergiur dengan nikmatnya surga meskipun penjelasan tentang itu telah sampai kepada mereka? Jawabnya, karena mereka belum betul-betul mengimaninya.

Hanya Allah Ta’ala yang mampu membolak-balikkan hati manusia. Dia memberikan hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia pula yang menutup hati orang yang Dia kehendaki.

Kita hanya bisa berdoa agar Allah Ta’ala menetapkan kita dalam iman dan Islam, serta memberi hidayah kepada orang-orang yang kita sayangi, sebagaimana Nabi Ibrahim AS juga berdoa untuk ayahnya. 

Dikisahkan bahwa Nabi Ibrahim AS berkata kepada ayahnya, “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu. Aku akan memintakan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku,” (Maryam [19]: 47).

Namun Allah Ta’ala tidak berkehendak atas doa Nabi Ibrahim AS. Sang ayah tetap musyrik hingga akhir hayatnya. Begitu pun kaumnya, tetap ingkar meskipun kebenaran telah nyata ditunjukkan oleh Ibrahim AS. 

Semoga kita tetap dijaga oleh Allah Ta'ala dari kemusyrikan hingga ajal kelak menjemput kita. Aamiiin. ***







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat