Kamis, 09 April 2020

Jurnalis Muslim vs Jurnalis Umum, Samakah?

Coba ajukan pertanyaan ini kepada para wartawan profesional, "Untuk apa mereka menjadi jurnalis?"

Saya menebak, kebanyakan di antara mereka akan menjawab, "Untuk mengungkapkan fakta kepada masyarakat."

Betul! Tugas wartawan memang mencari fakta, lalu mengungkapkannya kepada publik lewat media yang ia punya.

OK,  pertanyaan belum selesai. Kita lanjutkan kembali. "Menurut Anda, untuk apa fakta itu diungkapkan?"

Kita tebak jawabannya seperti ini. "Supaya masyarakat tahu apa yang sebenarnya terjadi." Atau, "Agar masyarakat tahu mana yang benar dan mana yang salah."

Nah, jawabannya mulai masuk kepada pilihan. Jika ada pilhan "yang sebenarnya terjadi" berarti ada pula pilihan "yang bukan sebenarnya terjadi." Atau, jika ada pilihan "yang benar", berarti ada pula pilihan "yang salah."

Dalam 10 elemen jurnalistik yang digagas oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel jelas disebutkan bahwa kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran (elemen pertama), dan loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga (elemen kedua).

Mari kita lanjutkan kembali pertanyaan. "Apakah menurut Anda kebenaran itu universal, atau ia tergantung kepada apa yang dijadikan rujukan?"

Di sinilah jawaban mulai bercabang. Buat wartawan umum, kebenaran itu bersifat universal. Artinya, apa yang dianggap benar oleh publik maka ia akan menjadi benar menurut mereka. Sebab, loyalitas mereka adalah kepada publik. Jadi, buat wartawan umum, kebenaran bukan milik satu agama saja.

Ini tentu berbeda dengan pemahaman yang dianut jurnalis Muslim atau penganut agama tertentu. Kebenaran menurut mereka tentu bukan kebenaran menurut publik, tapi  kebenaran menurut agama tersebut.

Bagi jurnalis Muslim dan media Islam, kebenaran tentu saja adalah apa yang dianggap benar oleh Islam. Ia harus merujuk pada al-Qur'an, al-Hadits, dan ijma' ulama, bukan merujuk pada pendapat publik.

Andaikan publik membenarkan suatu perkara sementara al-Qur'an tidak maka jadilah perkara itu tidak benar. Hukum rajam misalnya, jika dilakukan secara benar maka itu adalah kebenaran meakipun publik mengatakan itu melanggar hak asasi manusia (HAM).

Jadi, berdasarkan uraian ini, maka kode etik pertama bagi jurnalis Muslim hendaklah berbunyi: Landasan seluruh aktivitas jurnalistik dan pendefinisian istilah-istilah yang berkaitan dengan kejurnalistikan adalah al-Qur`an, Hadis, dan ijma ulama.

Dikisahkan bahwa suatu ketika Nabi SAW mengutus seorang Sahabat bernama Muadz bin Jabal ke Yaman untuk menjadi hakim. Nabi SAW bertanya kepada Muadz, "Bagaimana cara kamu menghukumi suatu masalah hukum?"

Muadz menjawab, "Aku akan memutuskan berdasarkan al-Qur'an, ya Rasulullah."

Lalu Nabi SAW bertanya lagi, "Bagaimana jika tidak kamu temukan jawabannya dalam al-Qur'an?"

"Aku akan memutuskan berdasarkan sunnahmu," jawab Muadz.

"Bagaimana jika tak kamu temukan juga dalam sunnahku?" tanya Nabi SAW lagi.
"Aku akan berijtihad," jawab Muadz.

Lalu Nabi SAW menepuk dada Muadz sebagai ungkapan rasa gembira.

Kisah ini --- dan bunyi kode etik jurnalis Muslim sebagaimana tertera di atas --- cukup menunjukkan adanya perbedaan cara pandang antara jurnalis Muslim dan jurnalis umum meskipun praktik profesinya sama.

Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat