Senin, 06 April 2020

Ada Hikmah di Balik Kerinduan

Rasulullah SAW berkata, "Tha'un (wabah penyakit) adalah azab yang Allah turunkan pada siapa saja yang Allah kehendaki. Namun Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang beriman ...," (Riwayat Bukhari).

Syafiq, seorang remaja di pinggiran Jakarta, menangis tersedu-sedu usai mengumandangkan azan Dzuhur di hari Jumat kedua setelah pemerintah setempat tak memperbolehkan masjid menggelar shalat Jumat. "Ia sedih. Ia rindu shalat berjamaah," kata sang ibu menjelaskan mengapa anaknya menangis usai azan.

Pak Manna, laki-laki tua di Kalimantan Timur, pada suatu siang menatap masjid Ar Riyadh dari kejauhan dengan tatapan rindu. Masjid yang selalu didatanginya setengah jam sebelum kumandang azan itu tak bisa ia dekati. DKM masjid melarang jamaah yang telah berusia 50 tahun untuk sholat bersama-sama di masjid karena imun tubuhnya lemah.

Kerinduan kepada masjid tentu banyak dirasakan oleh mereka yang dekat dengan masjid, sebagaimana Syafiq dan Pak Manna. Rindu saat mengangkat tangan bersama-sama seraya mengucapkan takbir, rindu saat sujud dan rukuk bersama-sama, dan rindu saat-saat duduk berzikir dan berdoa sambil menunggu iqomah dikumandangkan.

Karena kerinduan itulah maka kaum Muslim tak pernah lepas memanjatkan doa kepada Allah Ta'ala, agar Sang Pemilik Kuasa segera mengakhiri musibah ini. Doa yang terlantun di malam-malam buta sambil berurai air mata penuh harap, melebihi harapan seorang anak kepada ibunya, atau seorang budak kepada tuannya. Terasa begitu tak berdayanya manusia dan begitu besarnya kuasa Allah Ta'ala.

Kerinduan itu justru mendekatkan kita kepada Sang Pemilik Langit dan Bumi lewat lantunan doa yang penuh harap. Bahkan boleh jadi hari-hari belakangan ini kita justru lebih dekat kepada Allah Ta'ala dibanding hari-hari biasa. Nikmat apalagi yang melebihi kedekatan seorang hamba kepada Rabb-nya?

Di Depok, Jawa Barat, seorang ketua RT menulis di dinding facebooknya, "Salah satu hikmah dari musibah ini adalah terasa bahwa ngumpul itu sebuah nikmat yang selama ini kurang kita syukuri."

Bukan mereka tak pernah bertemu muka sebelumnya. Selama ini mereka kerap berpapasan saat hendak shalat berjamaah di masjid. Tapi, pertemuan itu berlangsung begitu saja. Hanya sepintas! Setelah itu mereka larut dengan pekerjaan masing-masing. Hanya sekali-kali saja mereka berkumpul dan bersenda gurau.

Wajar bila wabah ini telah memupuk kerinduan mereka untuk kembali bertemu, berjabat tangan, saling memeluk erat, dan bersenda gurau. Wabah ini rupanya telah menyadarkan mereka akan kenikmatan bersilaturahim. Seringkali kenikmatan itu baru amat terasa apabila ia telah dicabut oleh Allah.

Begitulah Allah Ta'ala mengajarkan kepada kita bahwa segala ketentuan-Nya tak ada yang sia-sia bagi orang yang beriman. Berdiamnya orang beriman di rumah karena wabah, akan diganjar oleh Allah Ta'ala pahala sebagaimana pahala orang yang mati syahid meskipun ia sebetulnya tidak meninggal dunia.

Andai pun ia terkena wabah tersebut, lalu lewat perantaraan itu Allah Ta'ala mencabut nyawanya, maka kematiannya pun tak sia-sia. Allah juga menganugerahinya pahala sebagaimana pahala orang yang mati syahid.

Rasulullah SAW berkata, "Tidaklah seorang hamba berada di suatu negeri yang terjangkit wabah di dalamnya, lantas ia tetap di dalamnya, tidak keluar dari negeri tersebut, lalu bersabar dan mengharapkan pahala dari Allah, ia tahu bahwa tidaklah wabah itu terkena melainkan dengan takdir Allah, maka ia akan mendapatkan pahala syahid." (Riwayat Bukhari).

Allahu Akbar. Sungguh Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat