Selasa, 14 April 2020

Islam dan Kaidah Jurnalistik

"Kita ini sedang berperang. Bukan perang dengan senjata, tapi perang dengan opini. Dalam perang, tipu daya diperbolehkan," demikian kira-kira ucapan salah seorang pemimpin redaksi sebuah media Islam saat bertandang ke redaksi Hidayatullah.com beberapa tahun lalu.

Saya menerima sang pemimpin redaksi tersebut. Tentu saya tidak mau mendebatnya. Rasulullah SAW, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, memang pernah menyatakan bahwa perang adalah tipuan.

Hanya saja, ketika ia menegaskan bahwa produk publikasi yang ia buat adalah produk jurnalistik, maka ini menjadi bermasalah. Sebab, jurnalistik adalah profesi. Sebagai profesi, tentu ia punya aturan main. Dan, aturan main itu harus diikuti oleh orang-orang yang mengaku berprofesi sebagai jurnalis.

Salah satu aturan main itu adalah off the record. Artinya, informasi yang didapat tidak untuk disiarkan. Meskipun informasi tersebut amat mendukung sudut pandang yang sedang dibangun sang reporter, atau media tempat reporter itu berkarya, tetap tak boleh dipublikasikan.

Ada juga kaidah cover both side. Artinya, kedua sisi harus diliput. Bila sang reporter menerima informasi dari satu pihak yang sedang berselisih, maka ia pun harus mengimbanginya dengan menyiarkan informasi dari pihak lain.

Ada juga kewajiban untuk melakukan konfirmasi, klarifikasi, dan verifikasi setiap informasi yang masuk agar terhindar dari fitnah dan kebohongan.  Informasi yang belum terkonfirmasi, yang sifatnya "katanya", jelas tak boleh dipublikasi. Apalagi berita bohong.

Aturan main lainnya adalah kejelasan identitas media dan sang jurnalis yang membuat laporan. Ini bagian dari pertanggungjawaban informasi. Jika ada kesalahan publikasi, maka sang jurnalis dan media yang mempublikasikannya harus berani mengatakan, "Kami ada di sini dan kami akan bertanggungjawab."

Masih cukup banyak kaidah-kaidah jurnalistik lain yang harus dituruti oleh para pewarta, termasuk pewarta Mulim. Tentu saja saya tidak menjelaskan aturan-aturan ini kepada Sang Pemimpin Redaksi yang siang itu saya temui. Andai saya jelaskan, boleh jadi ia akan bertanya, "Mengapa kita harus mengikuti aturan-aturan tersebut padahal mereka tak diatur dalam Islam?"

Sebagian dari aturan-aturan tadi memang tak diatur secara langsung oleh Islam. Namun, secara tak langsung, Islam mengaturnya. Bukankah ada kaidah fiqih yang menyatakan al-muslimuna 'ala syuruthihim, yang artinya, "Kaum Muslim wajib memenuhi syarat-syarat yang ada di antara mereka”.

Ini ibarat peraturan di sebuah sekolah. Jika pihak sekolah menerapkan aturan bahwa setiap hari Senin para siswa harus mengenakan pakain putih-putih, maka semua siswa wajib menaatinya meskipun tak ada larangan dalam Islam seseorang mengenakan pakaian putih biru pada hari Senin.

Hanya saja, jurnalis Muslim tetap harus menempatkan syariat di atas segala kesepakatan profesi.  Kita tahu, jurnalistik bukanlah ilmu yang berasal dari Islam. Bukan mustahil ---meski dalam praktiknya belum pernah kita dengar--- suatu saat nanti ada benturan antara praktik jurnalistik dan syariat Islam.

Karena itu perlunya ada kalimat yang tegas dalam kode etik jurnalis Muslim untuk mengantisipasi hal ini, yakni: Jurnalis Muslim harus bekerja secara profesional, sesuai kaidah profesi dalam kejurnalistikan, selagi hal tersebut tidak bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah.

Kembali pada cerita Sang Pemimpin Redaksi tadi. Saya tahu betul dia bukanlah seorang pengecut. Ini terbukti ketika saya ingatkan dia soal risiko yang harus ia hadapi. Dia dengan tenang berkata, "Saya tidak takut!"

Semua perjuangan memang butuh pengorbanan. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat