Rabu, 11 September 2019

"Untuk ummat"

Dua kata itu selalu meluncur dari bibirnya ketika tangannya kujabat. Sejak penyakit gula menyerangnya beberapa bulan lalu, matanya sudah tak lagi bisa melihat dengan jelas. Tapi ia mengenal genggaman tanganku. Ia selalu tertawa sembari menepuk-nepuk punggung tanganku yang menjabat erat tangannya.  "Untuk ummat, untuk ummat!" katanya.

Aku tak ingat kapan kalimat itu pertama kali meluncur dari mulutnya. Tapi aku ingat asbabnya. Suatu malam, ketika kami berpapasan usai shalat isya di sebuah masjid, ia menegurku. "Kenapa belum pulang?" katanya. 


Malam itu aku memang sedang dikejar deadline menyelesaikan sebuah artikel yang akan terbit di Majalah Suara Hidayatullah.  Jadi, kujawab pertanyaan itu sekenanya, "Aku harus menuntaskan pekerjaanku karena pembaca menunggu."

"Ooh, ya, umat menunggu. Jadi ini untuk umat," katanya sambil menjabat erat tanganku.

Sejak itu, setiap kali kami berpapasan, ia tak lagi bertanya mengapa aku belum pulang? Ia langsung mengemukakan jawaban tanpa bertanya. "Untuk ummat."

Nasehat sederhana itu selalu menjadi pengingat sekaligus pelurus niat, buatku, juga buat seluruh sahabat-sahabatku yang menekuni dunia jurnalistik di Hidayatullah. "Umat menunggu! Jadi kami harus menuntaskan tugas ini," begitulah kira-kira maknanya.

Hari ini, nasehat itu tak akan kudengar lagi darinya. Ia telah dipanggil oleh Sang Khaliq. Ia telah menuntaskan tugasnya, berjuang untuk ummat. Tinggalah kami yang masih harus berjuang menuntaskan tugas kami.

Selamat jalan Ust Suriyadi Rasyid. Aku bersaksi, engkau adalah pejuang dan pembela agama yang dibawa Rasulullah SAW. ***


(Ditulis di atas KRL pada pukul 23.00 dalam perjalanan menuju Depok)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat