Minggu, 21 April 2019

Perumpamaan Ramadhan

Salah satu cara Allah Ta'ala menjelaskan berbagai hal dalam al-Qur'an agar mudah dipahami adalah lewat perumpamaan. Dalam bahasa Arab, perumpamaan disebut amtsal (jamak) atau matsal (tunggal)

Ada cukup banyak perumpamaan yang Allah Ta'ala sebut dalam al-Qur'an. Misalnya, dalam surat al-Baqarah [2] ayat 17, Allah Ta'ala berfirman, "matsaluhum kamatsalillazistauqoda naaroo ..." (Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api...). Dalam ayat ini, Allah Ta'ala hendak menyamakan orang-orang yang membeli kesesatan dengan keimanan. Mereka laksana berada dalam suasana terang benderang karena mereka menyalakan api, lalu api itu padam sehingga gelap gulita di sekeliling mereka.

Dalam surat Al Ankabut [29] ayat 43, Allah Ta'ala juga berfirman, "Wa tilkal amtsaalu nadribuhaa lin-naaas ..." (Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia ...). Dalam ayat ini Allah Ta'ala berpesan bahwa perumpamaan-perumpamaan memang dibuat untuk manusia agar manusia berpikir. Sebab, kata Allah Ta'ala dalam lanjutan surat itu, tiada yang bisa memahami perumpamaan-perumpamaan itu kecuali orang-orang yang berilmu. 

Karena itu pula, untuk memudahkan memahami Ramadhan yang tak lama lagi akan datang kepada kita, mari kita buat perumpamaan (analogi). 

Sebenarnya, ada banyak perumpamaan Ramadhan yang kerap kita dengar dari ceramah-ceramah para ustadz.  Semua itu tentu bagus dan mudah-mudahan bisa membuat kita paham tentang Ramadhan.

Namun, saya tidak hendak membahas semua itu. Saya hanya akan mengambil satu perumpamaan saja yang saya anggap mudah untuk kita cerna. Yakni, Ramadhan ibarat sebuah lomba akbar yang akan kita ikuti dan begitu berarti bagi kita. 

Jika saat lomba itu sudah dekat, apa yang akan kita lakukan? Jelas kita akan mempersiapkan diri sebaik mungkin. Kita akan mempelajari dulu aturan main lomba tersebut  agar kelak saat berlomba kita tidak menyalahi aturan. 

Kita juga akan mengondisikan fisik kita agar fit. Dan, tentu saja, kita akan memperbanyak latihan untuk membiasakan diri dengan suasana lomba sehingga  tidak kaget ketika lomba sudah dimulai.

Saat lomba tiba, saat itu pula kita harus mengerahkan segenap upaya agar bisa memenangkannya. Jika saat latihan kita masih bisa berleha-leha, maka ketika waktu lomba tiba, tak ada waktu lagi kita untuk bersikap seperti itu. Kita benar-benar akan sungguh-sungguh, jauh lebih sungguh-sungguh ketimbang saat latihan. 

Setelah lomba usai dan kita pun dinyatakan sebagai pemenang maka tentu saja jerih payah kita sejak latihan hingga saat kompetisi tak akan hilang seketika. Bekas-bekasnya tentu masih ada. Mental juara pasti masih terpancar pada sikap dan tindakan kita. "Saya pemenang, bukan pecundang." Begitu kira-kira diri kita akan berbicara kepada jiwa dan raga kita. 

Begitu pula bulan Ramadhan. Sebelum bulan itu datang, kita sudah harus bersiap-siap diri. Kita mulai memperbanyak shaum dan bacaan Qur'an. Kita sudah harus membiasakan diri shalat lail, sehingga ketika "perlombaan akbar" itu tiba, tubuh kita sudah siap menerimanya. Tubuh tak akan merasa kaget manakala harus menahan haus dan lapar dari terbit fajar hingga terbenam matahari, ditambah lagi harus tadarus Qur'an dan shalat malam.

Saat memasuki bulan Ramadhan berarti masa perlombaan yang dinanti-nanti telah tiba. Saat inilah kita benar-benar harus serius. Sebab, ini bukan lagi saat latihan. Tak ada waktu lagi untuk berleha-leha, dan bukan saatnya lagi untuk coba-coba. Kita harus mengerahkan segenap kemampuan untuk  memenangkan "perlombaan" ini. 

Bila "saat latihan" kita hanya shaum dua atau tiga hari dalam sepekan, maka saat "lomba" kita berpuasa secara sungguh-sungguh setiap hari. Bila saat latihan kita hanya mampu membaca setengah atau dua per tiga jus setiap hari, maka saat Ramadhan kita harus mampu menghabiskan satu juz.

Namun, perlombaan yang kita ikuti ini bukanlah perlombaan biasa. Ini perlombaan yang unik. Mengapa? Sebab, pemenang dalam perlombaan Ramadhan tidak tunggal. Semua orang bisa menjadi pemenang dalam perlombaan ini. 

Hadiahnya pun tidak sekadar diberikan kepada satu atau segelintir orang yang terbaik saja, melainkan kepada siapapun yang sanggup meraihnya. Tak ada rebutan dalam perlombaan ini. Setiap peserta lomba seakan punya "kapling" sendiri. Bahkan perintang abadi manusia ketika itu, yakni setan, dibelenggu oleh Allah Ta'ala. Satu-satunya halangan untuk juara ketika itu hanyalah hawa nafsu kita sendiri.

Uniknya lagi, hadiah dan keutamaan yang diberikan oleh Allah Ta'ala kepada peserta lomba, sangat-sangat banyak. Wajarlah jika semua peserta lomba bergembira menyambut datangnya bulan perlombaan itu. Bahkan datangnya bulan perlombaan itu sudah dinanti-nanti sejak beberapa bulan sebelumnya.

Hanya saja, hadiah yang banyak tersebut tidak bisa langsung kita rasakan keberadaannya. Kalau pun bisa, tak banyak. Hanya mental juara yang masih bisa kita rasakan. Adapun seluruh kesenangan yang dijanjikan oleh Allah Ta'ala baru akan kita dapatkan kelak di yaumul akhir.

Karena itulah tak heran jika kita sering melihat tak ada kegembiraan pada sebagian besar wajah peserta lomba, baik ketika masa persiapan, apalagi saat kompetisi.

Bahkah sebagian dari mereka merasa terbebani dan ingin agar kompetisi ini cepat berlalu. Tak ada kesungguhan pada diri mereka untuk mempersiapkan dari, apalagi meraih kemenangan saat berkometisi. Akhirnya jadilah mereka pecundang yang akan menyesal luar biasa ketika yaumul hisab sudah tiba.

Hanya orang-orang yang yakin saja yang bisa merasakan kegembiraan dan harapan ketika kompetisi ini akan tiba, dan bersunghuh-sungguh saat kompetisi telah dimulai, serta bermental juara ketika kompetisi telah usai. Sebab, sejatinya, kompetisi ini memang diperuntukkan bagi orang-orang yang yakin.

"Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kalian berpuasa, sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa." (Al-Baqarah [2]: 185)

Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat