Kamis, 27 September 2018

Amal, Ciri Ulama yang Sering Terlupakan

Islam menuntut umatnya agar memiliki ilmu. Bahkan, kata KH Cholil Ridwan, mantan Ketua MUI Pusat, saat berbincang-bincang santai dengan penulis di kantor DPP Hidayatullah, Jakarta Timur, Senin (24/9), derajat orang berilmu lebih tinggi di mata Allah SWT dibanding orang awam.

Namun, tegas Cholil lagi, ilmu tanpa amal akan sia-sia. Sebab, kelak di hari penghisaban, tak akan bergeser kaki seorang hamba hingga dia ditanya tentang empat hal. Salah satunya tentang ilmu. “Ilmu, engkau amalkan untuk apa?” jelas pimpinan Pondok Pesantren Husnayain, Jakarta ini, menyitir salah satu Hadits Rasulullah SAW.

Itu artinya, amal yang kita lakukan menjadi penentu di mana letak kita setelah hari berbangkit nanti. Di dalam al-Qur'an, kata Cholil lagi, Allah Ta’ala sering mengungkapkan kata ya' lam dan ya' mal, atau "mengimani" dan "mengamalkan", serta "aamanu" dan "aamilu" yang artinya juga sama. Inilah fakta betapa penting amal di mata Allah Ta’ala. Adapun ilmu menjadi modal untuk berbuat amal.

Cuma sayangnya di Indonesia ini, kata Cholil, banyak orang salah kaprah. Orang yang banyak ilmunya dicium tangannya oleh mereka. Mereka tidak pedulikan seberapa banyak amal yang dilakukan oleh orang berilmu tadi. “Masyarakat tidak peduli dengan perilaku. Mereka cuma melihat ilmunya. Bila berilmu, tangannya akan dicium bolak-balik,” tutur alumnus Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur ini.

Padahal di negara ini banyak orang berilmu yang enggan mengamalkan ilmunya. Ada yang dipanggil ulama namun enggan ikut shalat berjamaah di masjid. Ada yang disebut berilmu, namun makan dan minum masih menggunakan tangan kiri, enggan puasa sunnah, jarang sholat malam, dan tidak pernah bersedekah.

Bahkan, ada orang yang mengaku ulama namun tidak mau ikut membela ketika Islam dinistakan. Mereka malah ikut mendukung para penista ini. “Lalu ilmu mereka untuk apa?” kata Cholil.

Di samping itu, Cholil juga berharap agar umat Islam di Indonesia bisa menyeimbangkan antara ilmu dan amal. Dulu, kaum Muslim bisa berjaya karena mereka banyak beramal, profesional dalam berbagai bidang, namun tidak meninggalkan ilmu agama. 

Sekarang, ilmu dan amal seolah-olah terpisah. Banyak santri yang menghabiskan seluruh waktunya untuk menghafal Qur’an, namun enggan mempelajari kepandaian duniawi. Sedang orang-orang kafir terus menerus belajar masalah dunia. “Akibatnya kita tertinggal jauh,” papar ulama Betawi ini. ***


(Dipublikasikan oleh situs Hidayatullah.com tanggal 25 September 2018)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat