Ada dua kemungkinan berita hoax bisa diproduksi oleh media massa. Pertama, narasumber berbohong, lalu jurnalis memberitakannya. Kedua, jurnalis itu sendiri yang berbohong.
Dulu, ketika internet belum marak seperti sekarang dan koran masih merajai jagad media, kedua kemungkinan ini berjalan terpisah. Narasumber ya narasumber, dan jurnalis ya jurnalis.
Karena itu di masa dahulu, dari dua kemungkinan tadi, kemungkinan pertamalah yang lebih sering terjadi. Narasumber berbohong, lalu dikutip oleh wartawan.
Mungkin saja sang narasumber tersebut sengaja berbohong untuk kepentingan tertentu. Mungkin juga sang narasumber sudah bersekongkol dengan wartawan untuk tujuan tertentu.
Tapi mungkin juga sang narasumber hanya sekadar menebak-nebak lalu ditulis oleh sang wartawan yang tak berusaha mencari tahu kebenaran informasi yang disampaikan narasumbernya. Atau, barangkali sang reporter yang lugu dimanfaatkan oleh narasumber yang membohonginya.
Apapun dalihnya yang jelas sang narasumber dan wartawannya sama-sama telah berbuat kesalahan. Yang satu memproduksi kebohongan, yang lain menyebarluaskan. Itulah kemungkinan pertama.
Adapun kemungkinan kedua --sang jurnalis itu sendiri yang berbohong-- pada masa dahulu, kecil terjadi. Sebab, ketika itu, profesi jurnalis masih langka dan jumlah media masih sangat terbatas. Jurnalis yang berbohong berarti telah menghancurkan masa depannya sendiri.
Tapi sekarang, di zaman kebebasan informasi ini, ketika media online begitu banyak bermunculan, setiap orang bisa menjadi wartawan. Dan, lewat jejaring sosial, setiap orang bisa juga berprofesi sebagai narasumber. Artinya, ia bisa menjadi wartawan sekaligus narasumbernya. Ia bisa berceloteh sendiri di media yang ia buat sendiri.
Saat inilah hoax mulai banyak diproduksi, banyak pula disebarluaskan. Kita menjadi tak tahu lagi mana informasi yang benar, mana yang salah. Kita tak tahu seperti apa sanad sebuah informasi sehingga sampai kepada kita. Kita tak kenal siapa saja perawinya.
Bahkan kita tahu saat ini ada pihak yang menyengaja memproduksi berita bohong dan menyebarluaskannya. Lebih miris lagi, tudingan pelaku disematkan kepada label Muslim.
Harapan masyarakat untuk mendapatkan informasi dari sudut pandang Islam kini digantungkan kepada media-media Islam dan jurnalis-jurnalis Muslim.
Namun, walau samar, tudingan hoax mulai terasa mengarah kepada media-media Islam dan para jurnalis Muslim. Ini tentu berbahaya. Bisa dibayangakn apa yang terjadi jika masyarakat tak lagi mempercayai media Islam karena tudingan hoax tersebut?
Karena itulah kita perlu mengkaji jawaban atas pertanyaan, "Apakah mungkinkah seorang jurnalis Muslim memproduksi atau menyebarkan berita-berita hoax lewat medianya?
Sejatinya tidak! Mengapa? Sebab, para jurnalis Muslim memiliki kode etik yang harus mereka patuhi. Jika tidak, dia akan dikenakan sanksi organisasi, mulai dari teguran sampai pemecatan dari organisasi.
Kode etik jurnalistik dikeluarkan oleh organisasi profesi di mana jurnalis tersebut bernaung. Jurnalis Muslim memiliki organisasi profesi. Namanya Jurnalis Islam Bersatu (JITU).
Organisasi profesi ini juga telah mengeluarkan kode etik yang sudah di-tashih oleh Dewan Mustasyar JITU. Salah satu di antaranya adalah Dr Zain an-Najah, pakar fiqh yang juga Ketua Majelis Fatwa dan Pusat Kajian Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII).
Setidaknya ada 3 butir dari total 8 butir kode etik yang menjamin media Islam tak mungkin membuat berita hoax
Pertama, kode etik keempat, yakni "Wartawan Muslim tak dibenarkan mempublikasikan berita bohong."
Berbohong, dalam penjelasan kode etik ini, dimungkinkan oleh dua hal. Pertama, kebohongan karena ia memang menyengaja berbohong untuk alasan tertentu. Misalnya, sengaja membolak-balikkan fakta atau melebih-lebihkan informasi (mengada-ada) agar pembaca bereaksi atas apa yang diberitakannya. Bisa juga kebohongan tersebut dilakukan oleh narasumbernya dan diketahui oleh sang jurnalis, namun ia tetap mempublikasikan berita (informasi) bohong tersebut untuk tujuan tertentu.
Kedua, kebohongan karena ketidakpahaman sang jurnalis. Kebohongan jenis ini biasanya terjadi karena sang jurnalis menebak-nebak data/informasi yang ingin diketahuinya, padahal tebakannya itu salah.Bisa juga kebohongan tersebut dilakukan oleh narasumber namun tak diketahui oleh sang jurnalis. Ia justru mempublikasikan berita bohong itu karena ketidakmengertiannya.
Kebohongan jenis ini terjadi karena sang jurnalis tidak memiliki persiapan yang cukup sebelum melakukan wawancara. Pengetahuan yang amat terbatas tentang apa yang ingin dia tulis menyebabkan ia mudah ditipu oleh narasumber. Ketidaksiapan ini kian menjadi parah bila bila sang wartawan tak mau melakukan verifikasi. Intinya, kebohongan jenis kedua ini disebabkan karena sang jurnalis tidak berhati-hati dalam menjalankan profesinya sebagai jurnalis.
Kode etik kedua yang membahas soal hoax ada pada butir kelima, yang bunyinya, "Wartawan Muslim harus melakukan konfirmasi (tabayyun) jika akan mempublikasikan berita yang menyangkut kepentingan umum, harkat dan martabat umat Islam, dan informasi yang belum jelas kebenaannya."
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), klarifikasi adalah penjernihan, penjelasan, dan pengembalian kepada apa yang sebenarnya. Jadi, klarifikasi dalam pemberitaan adalah tindakan jurnalis untuk memastikan informasi atau memastikan kebenaran berita dengan menghubungi pihak-pihak bersangkutan hingga isinya dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam bahasa Arab, klarifikasi identik dengan tabayyun, artinya mencakup tiga hal, yaitu: 1. Mencari kejelasan suatu masalah hingga tersingkap dengan jelas kondisi yang sebenarnya. 2. Mempertegas hakikat sesuatu. 3. Berhati-hati terhadap sesuatu dan tidak tergesa-gesa.
Sedang kode etik ketiga yang membahas soal hoax adalah butir ketujuh, yang bunyinya, "Wartawan Muslim harus mengupayakan agar media tempat ia bekerja segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat, disertai pemberitahuan atau permintaan maaf kepada pihak-pihak yang mengajukan keberatan atas kesalahan tersebut."
Mencabut berita berarti menarik kembali berita yang sudah terlanjur dipublikasikan. Meralat berita berarti mengubah data-data yang salah dalam berita tersebut. Memperbaiki berita berarti mengubah alur atau maksud cerita, berita, atau menambah/mengurangi bagian-bagian berita sehingga pemahaman atas berita yang tadinya salah menjadi benar.
Pemberitahuan kesalahan berarti mengumumkan (mempublikasikan) adanya kesalahan, baik data maupun makna, dengan tujuan agar diketahui publik bahwa telah terjadi perbaikan kesalahan. Bentuk dan cara pemberitahuan bervariasi, yang penting bisa diketahui oleh publik yang menerima informasi yang salah.
Sedang arti dari kalimat "Permintaan maaf kepada pihak-pihak yang mengajukan keberatan atas kesalahan" maksudnya pernyataan maaf yang dipublikasikan di media yang memuat kesalahan dengan cara yang telah disepakati kedua belah pihak. Permintaan maaf ini dipublikasikan hanya jika diajukan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan atas berita tersebut.
Jadi, masyarakat tetap bisa menggantungkan harapannya kepada para jurnalis Muslim untuk bisa mendapatkan informasi yang benar. Masyarakat juga bisa mengawasi kerja mereka, bahkan menuntut kepada organisasi atau media yang menaungi mereka agar mau menjamin pelaksanaan kode etik tersebut.
Sedangkan para jurnalis Muslim harus bisa membuktikan kepada pembaca bahwa "Hoax bukan cara kami." ***
Rabu, 14 Maret 2018
"Hoax Bukan Cara Kami"
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat