Senin, 08 Januari 2018

Belajar dari Kisah Qarut

Di Dinasti Bani Saljuk pernah terjadi perebutan kekuasaan antar keluarga. Ketika Sultan Alp Arselan akan wafat pada 465 H, ia berwasiat agar putra bungsunya, Sultan Malik Syah, diangkat menjadi sultan di dinasti ini, menggantikan dirinya.

Namun, tak lama setelah Sultan Malik berkuasa, pamannya, Qarut, memberontak. Sang paman, yang menjadi raja di Kerajaan Kirman, menuntut agar Malik Syah menyerahkan singgasana kepada dirinya.

"Sesungguhnya aku lebih berhak menempati singgasana kerajaan daripada kamu, karena aku saudara paling tua sultan yang telah meninggal. Sedang kamu adalah anak sultan yang pling kecil." Demikian isi surat Qarut kepada Sultan Malik Syah, sebagaimana dinukil dalam buku berjudul Bangkit dan Runtuhnya Daulah Bani Saljuk karya Prof Dr Ali Muhammad Ash Shallabi.

Tentu saja Sultan tak mengindahkan permintaan ini. Namun, Qarut ternyata tak sekadar berkirim surat. Ia juga menyuntikkan pengaruh kepada pasukan kesultanan agar mau mendukung rencananya mengambil alih tahta dari keponakannya. Qarut berjanji akan menaikkan gaji pasukan jika rencananya berhasil.

Pasukan kesultanan sempat termakan bujuk rayu Qarut. Mereka menggelar unjuk rasa, menuntut agar Qarut menggantikan kedudukan Sultan Malik Syah. Alasannya, ya itu tadi. Qarut lebih berhak dari pada Malik Syah.

Inilah sepenggal kisah tentang kekuasaan yang diperebutkan. Kisah ini berakhir dengan ditangkap dan dibunuhnya Qarut karena pengaruhnya dinilai bakal mengganggu jalannya pemerintahan.


Cerita perebutan kekuasaan seperti ini terus terdengar dari masa ke masa. Bahkan di zaman sekarang ini, cerita perebutan kekuasaan lebih pelik dan lebih kejam. Korban bukan sekadar satu orang, tapi ratusan orang. Bukan sekadar raga yang diserang, juga nama baik dan kehormatan. Semua demi kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat