Senin, 18 September 2017

Kampus Hijrah di Kepulauan Mentawai

Anak muda itu pintar mengaji. Suaranya merdu. Ia juga seorang muazin. Bahkan, saat ada perayaan hari besar Islam di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, anak muda itu kerap diminta menjadi qori, atau pelantun ayat-ayat al-Qur'an.

Anak muda itu putra asli Mentawai. Awalnya, dia seorang pemeluk Nasrani. Namun, setelah hidayah datang menyapanya, ia memeluk Islam. Ia menjadi santri di Pesantren Hidayatullah Mentawai, Sumatera Barat, satu-satunya pesantren di kepulauan itu.

Sayang sekali, hidayah tak lama menyapa sang qori terbaik ini. Saat pulang ke kampungnya di salah satu desa di kepulauan tersebut, ia tak pernah kembali ke pesantren lagi. "Kami dengar, ia sudah kembali ke agamanya yang lama," ujar Desmar Abdus Salam, salah seorang pengasuh di Pesantren Hidayatullah saat ditemui pertengahan Juli lalu di Kepulauan Mentawai.

Mengapa ini bisa terjadi?

"Di Mentawai ini, orang gampang pindah agama," jelas Mahrus Salam, pimpinan pondok Hidayatullah Mentawai yang baru bertugas di kepulauan ini sejak Mei 2016 lalu. Sebelumnya, ia bertugas di Baubau, Buton, Sulawesi Tenggara.

Menurut Salam, sapaan akrab Mahrus Salam, kembali murtadnya para mualaf bukan peristiwa aneh di Mentawai. "Orang bisa bolak-balik agama di sini," katanya. Jika qori terbaik saja bisa murtad, bagaimana dengan masyarakat awam?

Agaknya, iman benar-benar belum merasuk ke hati kebanyakan mualaf di kepulauan ini. Mereka baru sekadar Muslim, belum Mukmin. Bila mereka kembali ke lingkungan asalnya, tutur Salam, besar kemungkinan mereka akan terjerumus lagi. Apalagi, 80 persen penduduk di kepulauan ini non Muslim. Bahkan, ada yang masih menganut agama nenak moyang mereka.

Untuk meretas persoalan tersebut, Salam punya cita-cita mulia. "Saya ingin membangun kampus hijrah di sini," jelas Salam seraya menunjuk tempat ia berdiri. 

Kampus yang ingin ia wujudkan bukanlah sekadar tempat belajar dan mengaji, tetapi juga tempat bermukim, berniaga, dan bercocok tanam. Di kampus ini kelak, kata Salam, tak sekadar ada pesantren atau sekolah, tapi juga rumah-rumah warga, masjid, lahan perkebunan, bahkan minimarket.

Di kampus ini, para mualaf akan terjaga akidahnya, terpenuhi pendidikannya, dan tercukupi kebutuhannya. “Mereka tak perlu lagi pulang ke tempat asalnya. Sebab kampung baru mereka adalah ini. Anak-anak mereka akan tumbuh di kampung ini,” jelas Salam. 

Salam menyadari, mewujudkan cita-cita mulia ini tak mudah. Meski lahan seluas 20 hektar telah disiapkan, namun jangan bayangkan telah banyak bangunan yang berdiri di atasnya. 

"Bangunan yang ada ya cuma ini," jelas Salam seraya menunjuk sebuah masjid di sisi lapangan, beberapa bangunan madrasah ibtidayah, tsanawiyah, dan aliyah, serta tempat menginap santri, dan beberapa rumah pengasuh pondok. Selebihnya, hutan belantara yang belum tergarap.

Kapan cita-cita Salam ini akan terwujud? Hanya Allah SWT yang tahu. ***



Selepas Surat Itu Terbit


Surat keputusan itu telah dikeluarkan pertengahan 2016 lalu. Tanda tangan Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah dan Sekretaris Jenderal DPP Hidayatullah telah dibubuhkan di atas kertas itu.

Surat bernomor 178 itu berisi perintah. Mahrus Salam, mantan ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Hidayatullah Baubau, Sulawesi Tenggara, telah diputuskan untuk pindah tugas ke Propinsi Sumatera Barat. Amanah baru sebagai Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) telah menantinya di propinsi ini. 

Itu berarti Ustad Salam, sapaan akrab Mahrus Salam, harus segera terbang dari timur Indonesia ke barat Sumatera, meninggalkan apa yang telah ia bangun di Baubau, yakni tiga Pondok Pesantren dengan segala fasilitasnya, plus tunjangan profesi setelah lulus sertifikasi guru. 

Di propinsi yang baru ini, Salam bisa saja memilih tinggal di tengah kota Padang, ibukota Sumatera Barat, kota terbesar di pantai barat Pulau Sumatera. 

Namun, Salam mempunyai pilihan lain. Ia memilih Mentawai, pulau kecil dengan angka kemiskinan tertinggi di Sumatera Barat (berdasarkan data BPS tahun 2015), serta 80 persen penduduknya non-Muslim. Ada cita-cita yang ingin ia wujudkan di pulau itu.

Untuk menuju Mentawai, setidaknya Salam harus berlayar selama 9 jam dari pelabuhan Bungus, Padang, menggunakan kapal Ferry. Biasanya, kapal berangkat pukul 20.00 dan mendarat di pelabuhan Tuapejat, Mentawai, pukul 05.30. Itu pun jika ombak sedang tidak besar. “Jika sedang musim hujan dan angin, biasanya tak ada kapal yang berani melaut,” kata Salam. 

Setibanya di Pesantren Hidayatullah Mentawai, bayangan tentang cita-cita yang akan ia raih rasanya semakin jauh. Satu-satunya masjid yang berdiri di tengah-tengah kampus --begitulah lahan pesantren Hidayatullah biasa disebut-- tak berpintu, tak pula berjendela, dan tak punya kamar mandi. Padahal, masjid adalah tonggak bagi sebuah peradaban yang Islami.

Bangunan lain yang ada di kampus itu juga sederhana. Beberapa bangunan berlantai semen kasar dipakai untuk belajar siswa madrasah. Sedang lahan di sekitar masjid ditanami pohon kelapa. Dari 20 hektar tanah yang diwakafkan kepada Hidayatullah, baru 5 persen saja yang termanfaatkan.

Jadi, kalau bukan karena pertolongan Allah SWT, mana mungkin cita-cita ayah tujuh anak ini bisa diwujudkan. Bismillah, Salam pun memulai langkah!  

Antara Buton dan Mentawai

Buton dan Mentawai sama-sama berbentuk kepulauan. Buton terdapat di kawasan timur Indonesia, sedang Mentawai di kawasan barat. 

Hanya saja luasnya berbeda.  Buton adalah pulau besar di Sulawesi Tenggara. Luasnya mencapai 4,5 ribu kilo meter persegi. Ia menjadi pulau terluas ke 130 di dunia. Kota terbesar di pulau ini adalah Baubau, tempat di mana Salam sebelumnya menetap.

Adapun Mentawai, merupakan kumpulan dari pulau-pulau kecil di wilayah barat Sumatera. Jika pulau-pulau ini dijadikan satu, luasnya tak terlalu berbeda dengan Buton, yakni sekitar 5 ribu kilometer persegi . Ibukota kepulauan ini adalah Sipora, sebuah pulau kecil di mana Salam saat ini berada.

Tantangan dakwah di kedua pulau ini tentu saja berbeda. Di Buton, kata Salam, seluruh penduduknya beragama Islam. Maklumlah, di pulau ini pernah berdiri kesultanan Islam. Namun, masih banyak di antara mereka yang keliru memandang Islam.

Bayangkan, kata Salam, di pulau ini masih ada yang mempercayai bahwa surat al Fatihah dalam al-Qur'an tidak sepenuhnya diturunkan kepada Nabi Muhammad. Hanya satu ayat saja yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. Selebihnya, diturunkan kepada Nabi-nabi yang lain.

Belum lagi persoalan takhayul yang menjurus ke arah syirik. Masih banyak masyarakat yang meminta pertolongan kepada jin. Bahkan, Salam yang ketika itu baru datang ke Baubau dan berusaha meluruskan pemahaman keliru ini, justru dicurigai membawa ajaran sesat.

Di Mentawai, kata Saam, lain lagi. Kebanyakan penduduknya justru beragama Nasrani. Jumlah gereja banyak. Setiap 1 kilometer ada satu atau lebih gereja. 

Namun mereka bukanlah pengikut yang fanatik. Banyak di antara mereka yang kemudian menjadi mualaf meskipun konsekuensinya mereka harus berpisah dengan keluarganya yang masih non-Muslim.  

"Saya banyak mendapati fakta bahwa kaum mualaf di Mentawai ini dilematis. Di satu sisi, mereka sudah berpisah dari keluarga besarnya, di sisi lain mereka bingung mau apa setelah jadi Muslim," jelas Salam. 

Kebanyakan mualaf di sini, kata Salam lagi, menjadi kaum yang dibuang oleh keluarganya. Mereka tak lagi diberi biaya, bahkan warisan pun tak dapat. Sementara mendapatkan pekerjaan yang layak di Mentawai susah. Modal pun tak punya. 

"Jika mereka tidak berada dalam lingkungan yang baik maka mereka sangat rentan kembali ke agamanya yang lama. Mereka perlu komunitas yang baik yang akan menjaga akidah mereka." tutur Salam. 

Bahkan tak sekadar itu, mereka juga butuh tempat tinggal, pekerjaan, dan penghasilan. Inilah yang akan ditawarkan oleh Kampus Hidayatullah ke depan. 

Kampus ini, kata Salam, akan menjadi tempat hijrah bagi mereka. Di kampus ini, mereka tak sekadar tinggal, tapi juga bisa mengajar, berdagang, atau berkebun. Anak-anak mereka akan belajar di pesantren ini. 

Mengenal Medan Dakwah

Untuk mewujudkan cita-citanya, Salam bertekad melaksanakan apa yang pernah diterapkannya dulu saat memulai dakwah di Buton, tepatnya di Baubau dan sekitarnya. Hal pertama yang ia lakukan adalah mengenali lingkungan. “Kenali Buton, tapi antum (Anda) tak perlu banyak dikenal dulu,” cerita Salam mengingat kembali masa lalunya saat berdakwah di Baubau.

Setelah wilayah dakwah ia kenali, langkah selanjutnya, membangun kesan positif pada masyarakat, sebagaimana dulu Rasulullah SAW diberi gelar al-amin oleh masyarakat Arab karena mereka percaya penuh kepada Rasulullah SAW. 

Kesan ini, kata Salam, akan muncul jika kita berdakwah dengan mengedepankan akhlak yang baik. Ia harus tumbuh dari niat yang ikhlas, tak bisa dibuat-buat.  

Setelah kepercayaan muncul, baru ungkapkan visi dan misi dakwah di daerah itu, dan ajak masyarakat bersama-sama mewujudkannya. Insya Allah, kata Salam, masyarakat akan membuka diri dan mau membantu dakwah kita.

Di Mentawai, Salam bersyukur tak perlu lagi memulainya dari awal. Para pendahulunya sudah membukakan jalan buat dia. 

Saat ini sudah berdiri kampus Hidayatullah Mentawai meski bangunannya masih sangat sederhana. Salam tinggal melanjutkannya dengan cara sebagaimana ia terapkan di Buton. Salam sendiri baru bertugas sekitar 1 tahun di Mentawai.

"Jihad terbesar kami adalah menghidupi pesantren ini, memfasilitasi para mualaf agar bisa tetap berada di sini, serta membina mereka agar meningkat keimaanannya. Kami harus melakukan ini secara total, bukan sekadar datang sebentar lalu pergi," kata Salam.

Salam yakin, dengan izin Allah SWT, cita-cita ini akan terwujud. Apalagi, lahan seluas 20 hektar telah disiapkan. Letak kampus juga strategis. Hanya 4 kilometer dari kantor Bupati Kepulauan Mentawai. 

Saat ini baru ada 6 keluarga yang tinggal di kampus Hidayatullah Mentawai, serta sekitar 70 santri. Kebanyakan mereka adalah mualaf. 

"Saya sering mengatakan kepada mereka, 'Inilah kampungmu. Inilah masa depanmu dan masa depan anak-anakmu nanti',” cerita Salam.

Lalu, Salam mengutip al-Qur'an surat Quraisy ayat 3 dan 4. Ayat itu bertutur tentang seruan agar manusia menyembah Allah SWT karena Allah-lah yang memberi manusia makan dan menghilangkan rasa takut. 

"Jika mereka benar-benar mau hijrah ke Islam maka tak perlu khawatir (soal makan), sebab Allah akan mencukupi mereka," jelas Salam. *** 



Realitas Tak Seindah Bayangan


Pikiran Jaohakim Sakarigi menerawang. Bayangan indah pantai Mentawai seperti berada di pelupuk matanya. "Kelak kami bisa melihat laut, melihat kapal, dan memancing ikan setiap hari," kata Hakim, sapaan Jaohakim, suatu siang kepada Suara Hidayatullah di pertengahan Juli 2017.

Kala itu tahun 1996. Hakim masih sangat muda. Usianya baru menginjak 14 tahun. Bayangan itu muncul setelah ia diajak rekannya membuka lahan dakwah di Mentawai, kepulauan paling barat wilayah Sumatera.

Lalu berangkatlah Hakim dan 11 rekannya ke kepulauan tersebut. Sesampainya di Bumi Sikerei --sebutan lain dari kepulauan mentawai-- bayangan indah itu mendadak pudar. 

"Di sini cuma ada hutan belantara. Tidak ada kendaraan, tidak ada listrik," cerita Hakim. Tempat tinggal pun hanya sebuah rumah sederhana yang atapnya bocor. 

Namun cita-cita membangun sebuah pesantren di Mentawai tetap harus diwujudkan. Bayangan indah tadi terpaksa untuk sementara dikesampingkan dulu. Hakim dan rekan-rekannya menerima realitas bahwa mulai hari itu mereka harus bekerja keras membuka lahan di pulau tersebut.

Memang, tak semua bisa bertahan hidup di Mentawai. Seiring berjalannya waktu, dari 12 santri yang dikirim ke Mentawai, 6 orang menyerah. Mereka pulang meninggalkan Mentawai. Sementara 6 orang lagi tetap bertahan menaklukkan kerasnya bumi Mentawai, termasuk Hakim.

Lahan yang digarap Hakim dan kawan-kawan sebetulnya adalah lahan transmigrasi. Khusus di Pulau Sipora, salah satu pulau di Kepulauan Mentawai, ada 3 areal transmigrasi, yakni Satuan Pemukiman (SP) 1, 2, dan 3. Total luasnya mencapai lebih dari 100 hektar. Lahan yang digarap Hakim sendiri terletak di SP1.

Dulu, pemerintah mendatangkan sejumlah transmigran untuk menggarap lahan-lahan tersebut. Namun, kerasnya alam Mentawai menyebabkan para transmigran itu tak kuat dan menyerah. Satu persatu mereka kembali ke asalnya masing-masing.

Lahan yang digarap Hakim adalah milik keluarga Bakri. Luasnya 10 hektar. Salah seorang putra keluarga Bakri, Affifuddin, ikut bersama Hakim untuk menggarap lahan itu. Nama Bakri kemudian diabadikan menjadi nama masjid yang terletak di tengah-tengah Kampus Hidayatullah Mentawai.

Setahun kemudian, tepatnya pada November 1997, Hidayatullah secara resmi mengirimkan kadernya untuk memimpin pembangunan kampus di Mentawai. Surat tugas telah ditandatangani. Kader terpilih yang mengemban amanah tersebut adalah Mustaqim Dalang.

Berangkat dari Lhoksemauwe

Sebelumnya, Mustaqim bertugas di Lhoksemauwe, Aceh, selama dua tahun.  Namun, setelah surat perintah "hijrah" ia terima, tekad pun ia tancapkan untuk pindah ke Mentawai. Ia siap menaklukkan beratnya medan dakwah di tempat yang baru. 

“Sesulit apapun medan dakwah, itulah amanah yang harus saya laksanakan,” kata Mustaqim saat dijumpai pertengahan Juli lalu.

Mustaqim memiliki dua putri yang masih kecil. Putri pertama bernama Fatimah yang kala itu masih berusia 3 tahun. Sedang putri kedua bernama Fajar Nur yang masih berusia 3 bulan. Mustaqim membawa serta isteri dan kedua putri mungilnya, mengarungi Samudra Hindia, terombang ambing selama 9 jam di atas kapal kayu Sumber Rezeki.

Setibanya di Mentawai, Mustaqim terkejut. Kampus Hidayatullah yang dibayangkannya meleset dari perkiraan. Bangunan yang disebut-sebut sudah berdiri rupanya cuma sebuah masjid yang lantainya belum selesai, serta sebuah rumah sederhana yang atapnya bocor. Selebihnya hutan belantara.

Namun, pria kelahiran Flores, Nusa Tenggara Timur ini tak mau menyia-nyiakan waktunya dengan berkeluh kesah. Ia langsung bersosialisasi dengan masyarakat di pulau itu. Kebetulan, waktu itu, jumlah Muslim di Pulau Sipora cukup banyak. Mereka adalah transmigran dari luar Mentawai. Di SP1, misalnya, dari 150 keluarga yang menempati lahan tersebut, cuma 2 yang non-Muslim.

Selang beberapa hari kemudian, Mustaqim sudah didaulat menjadi penceramah pada perayaan Isra’ Mi’raj di masjid terbesar di pulau itu. Setelah kiprah pertama ini, Mustaqim mulai giat mengisi ceramah di beberapa masjid, termasuk khutbah Jumat. Ia kerap harus jalan kaki berkilometer untuk menuju tempat dakwah. Maklum, kendaraan belum ada. Jalan pun belum tembus menuju pelabuhan. 

Mustaqim juga berdakwah di beberapa pulau di sekitar Sipora dengan menggunakan perahu kayu. Terkadang Mustaqim harus menginap beberapa hari di pulau-pulau itu. Lama kelamaan, masyarakat Mentawai mulai mengenai pesantren Hidayatullah. Atas bantuan masyarakat, pesantren ini bisa membangun sekolah sederhana pada tahun 2004. 

Namun, cerita Mustaqim lagi, izin formal pendirian sekolah dari pemerintah belum ada. Maklum, murid-muridnya pun belum ada. Mustaqim kemudian mendatangi Kepala Kantor Kementrian Agama Kabupaten Mentawai. 

“Saya bagi tugas dengan beliau. Saya mencari murid, beliau mengurus legalitas sekolah,” kata Mustaqim.

Mustaqim berhasil mengumpulkan 12 calom murid. Mereka semua anak transmigran Muslim di daerah itu. Tapi sayang, kepala kantor Kemenag tidak berhasil memperoleh izin. 

Walau masih “ilegal”, Mustaqim tetap bertekad mengajari anak-anak yang telah direktutnya. Proses belajar mengajar sempat berjalan 6 bulan. Setelah itu, satu per satu anak-anak tersebut dibawa pulang orangtuanya. Akibatnya, sekolah sempaat kosong selama 6 bulan. 

Untunglah menginjak semester baru, izin operasional keluar. Mustaqim kembali mencari murid-muridnya yang “hilang”. “Alhamdulillah kami berhasil mendapat 14 murid. Tiga di antaranya mualaf,” cerita Mustaqim.

Yang menarik, orang tua dari siswa mualaf ini mengantarkan langsung anaknya ke pesantren meski mereka masih non Muslim. Mereka meminta agar pesantren bisa mendidik anaknya menjadi baik. Namun, Mustaqim mengaku, tak banyak keluarga mualaf yang seperti itu.

Setiap kali libur sekolah, Mustaqim berpesan kepada para santrinya agar senantiasa memperlihatkan akhlak yang baik kepada keluarganya. Rupanya, ini menjadi daya tarik bagi siswa lain untuk ikut belajar di pesantren Hidayatullah. “Ketika mereka kembali ke pesantren, mereka membawa temannya untuk ikut sekolah di sini,” kata Mustaqim. 

Mustaqim mengakui tidak ada gesekan yang mengkhawatirkan antar pemeluk agama di Mentawai. Masing-masing bisa saling memahami. Namun, kehidupaan bebas di luar kampus kerap membuat para santri tergoda, bahkan lari dari Islam.

Santri putri, misalnya, sering tergoda untuk membuka jilbabnya ketika sudah berada di luar. Begitu juga pergaulan antara laki-laki dan perempuan, sering kali tak terkontrol ketika berada di luar. Bahkan, bagi mualaf, keadaan seperti ini bisa menyebabkan mereka kembali kafir. 

“Pernah ada santri mualaf kelas 2 pulang ke rumah saat liburan. Tapi dia tidak balik ke pesantren lagi. Kami dengar dia sudah menjadi Kristen,” cerita Mustaqim.

Ali Imron, Sekretaris Dewan Pengurus Wilayah Hidayatullah Sumatera Barat, menceritakan kendala yang sering dihadapi santri putri mualaf ketika sudah lulus SMA (Madrasah Aliyah). 

“Jika mereka disuruh pulang ke keluarganya, mereka akan murtad kembali. Jika disuruh meneruskan kuliah, mereka tak punya biaya,” jelas Imron.

Akhirnya, mereka dinikahkan. Setelah menikah, pasangaan baru ini diminta tetap tinggal di pesantren. Mereka bisa membantu mengajar, berladang, atau apa saja yang bisa mereka kerjakan.

Mustaqim telah mengabdikan dirinya selama 18 tahun di Mentawai. Pondasi sebuah kampus peradaban telah ia tancapkan di kepulauan tersebut. Bahkan, karena kegigihan dakwahnya, Mustaqim dipercaya menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kepulauan Mentawai oleh para tokoh di kepulauan itu. Tak tanggung-tanggung, amanah itu ia pikul selama tiga periode.

Lalu, di pertengahan 2016, Mustaqim mengakhiri amanah yang telah ia pikul di Bumi Sikerei. Sebuah surat tugas baru ia terima. Ia dipindahkan ke Flores, tanah kelahirannya. "Saya diberi amanah sebagai penjaga dapur di Flores," kata Mustaqim.

Pembangunan kampus peradaban yang telah dimulai oleh Mustaqim kini diteruskan oleh Mahrus Salam. Semoga Allah SWT selalu menganugerahkan kesabaran dan keistiqomahan kepada mereka semua. ***



Dakwah Belum Tuntas di Bumi Sikerai


Desmar Abdus Salam, putra asli Mentawai, adalah seorang mualaf. Ayah dan ibunya seorang non-Muslim. Pamannya juga. Begitu pun saudara-saudaranya. Semua beragama non Muslim. 

Namun ia heran manakala mendapati kakeknya bernama Abdullah. “Itu artinya, keluarga saya dulu berasal dari Muslim,”  kata pemuda asal Kampung Garjo, Sikakap Selatan ini pertengahan Juli lalu.

Desmar lalu mulai berdakwah kepada keluarganya. Setiap kali pulang kampung, ia sengaja membawa buku-buku Islam untuk ia perlihatkan kepada orang tuanya dan saudara-saudaranya. “Alhamdulillah adik-adik saya sekarang sudah Islam. Tapi bapak saya belum,” jelas Desmar.

Hal yang sama juga dialami istri Desmar. Kakek dari istrinya bernama Ibrahim. Padahal, seluruh keluarga isterinya beragama non Muslim. 

Lantas mengapa bisa begitu?

Desmar menebak, ini akibat belum semaraknya dakwah di Mentawai. Agama masih dianggap tak penting. Sementara jumlah dai masih sedikit. Di sisi lain, godaan begitu besar di kepulauan ini karena jumlah Muslim tak banyak.  

“Dulu ada ustad di kampung saya. Cuma sebentar. Beliau tak tahan lama-lama,” cerita Desmar.

Ada juga ustad yang bertugas hanya sebulan. Setelah tugasnya selesai, ia pulang. Beberapa bulan kemudian, datang lagi ustadz yang lain. Tapi sama dengan ustadz sebelumnya, cuma bertahan satu bulan saja. “Pembinaan di kampung saya tidak pernah tuntas,” cerita Desmar.

Desmar mengaku, keluarga Muslim di kampunya amat sedikit. Cuma 20 keluarga saja.  Namun, tidak semua kampung di Pulau Sikakap didominasi non-Muslim. Ada pula kampung yang didominasi Muslim.  Misalnya, Kampung Boriai. 

Di Pulau Siberut demikian pula. Mustaqim Dalang, dai Hidayatullah yang pernah 18 tahun berdakwah di sana menuturkan, Siberut didominasi oleh non-Muslim. Namun, di wilayah Siberut selatan, Islam sudah berkembang.

Ngena Ibara, putra asli Mentawai yang sempat mengenyam pendidikan di Pesantren Gontor, berpendapat bahwa praktik ber- Islam di Mentawai masih rendah. “Yang paling susah berdakwah di Mentawai ini adalah ‘meng-Islamkan orang Islam’”  jelas pria berusia 45 tahun ini. Maksudnya, mengajak kaum Muslim agar mau menjalankan Islam secara benar dan utuh.

Misalnya, banyak Muslim di Mentawai tak mau shalat di masjid, meskipun rumah mereka dekat masjid. Akibatnya, masjid-masjid sepi saat shalat fardhu. Kalau pun ada, kata Ngena, jumlahnya tidak banyak. Paling cuma 3 orang. Itu pun orangnya itu-itu juga.

“Kalau diajak ke Masjid, mereka nggak mau. Mereka malah berbuai,” tutur Desmar.

Untunglah, saat shalat Jumat, jumlah jamaah masih cukup banyak. Setidaknya, setengah dari masjid terisi.  Di Masjid As-Salam, masjid terbesar di Pulau Sipora, misalnya, saat shalat Jum’at pada pertengahan Juli lalu, hampir setengahnya terisi. Jumlahnya kira-kira 200 orang. Jamaah pun beragam. Ada yang berpakaian PNS, polisi, tentara, ada juga masyarakat biasa. 

Pulau Sipora adalah pusat Kabupaten Mentawai. Di pulau ini ada 7 masjid yang relatif besar. Jika ditambah mushola, jumlahnya menjadi 15. Sedangkan jumlah pesantren cuma satu. Jumlah ini jauh lebih sedikit dibanding gereja dan sekolah Kristen.

Ngana mengakui bahwa hubungan antara Muslim dan non-Muslim di Mentawai tak ada masalah. Ini karena perbedaan antara Muslim dan non-Muslim sudah jelas.  Muslim tak boleh mencampuri urusan internal non-Muslim, sedang non-Muslim juga tak boleh mencampuri urusan internal Muslim. “Yang penting, jangan saling mengganggu,” kata Ngana. 

Kabupaten Kepulauan Mentawai terletak memanjang di bagian paling barat pulau Sumatera dan dikelilingi oleh Samudera Hindia. Kabupaten ini terdiri dari 4 kelompok pulau utama yang berpenghuni, yaitu Pulau Siberut, Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara, dan Pulau Pagai Selatan. Selain itu masih ada beberapa pulau kecil lainnya yang berpenghuni namun sebagian besar pulau yang lain hanya ditanami dengan pohon kelapa.

Dr Budi Andri, petugas kesehatan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Mentawai, punya pengalaman menarik bersama masyarakat Mentawai. “Orang Mentawai tak mudah diajak berubah,” jelas pria asal Payakumbuh, Sumatera Barat ini ketika ditemui di Mentawai pertengahan Juli lalu.

Soal kesehatan, misalnya, masyarakat Siberut enggan berobat ke dokter. “Berkali-kali kami mengajak mereka (memeriksakan kesehatannya) ke puskesmas, mereka tidak mau,” cerita dokter lulusan Universitas Andalas, Padang, yang pernah bertugas di Siberut selama 7 tahun sebelum pindah ke Sipora ini. Mereka lebih mempercayai pengobatan tradisional.

Memang, di Mentawai ada istilah Sikerei, yang artinya dukun atau orang yang bisa menyembuhkan penyakit lewat bantuan mahluk-mahluk halus.  Mereka percaya bahwa semua mahluh hidup punya roh. Ketika raganyanya meninggal, roh ini masih bisa dipanggil lagi. Pemanggilan dilakukan lewat sejumlah upacara dan tari-tarian. Budi menebak, karena kepercayaan inilah masyarakat Mentawai awalnya enggan berobat ke dokter. 

Para sikerei ini biasanya mentato sekujur tubuhnya. “Mereka ini bukan kepala adat, bukan pula kepala suku,” kata Budi. Namun anehnya, nama sikerei dijadikan sebutan untuk Mentawai; Bumi Sikerei. Di Siberut, kata Budi, masih bisa dijumpai sikerai. Namun di Sipora, "dukun" ini jarang sekali dijumpai.

Selain itu, kata Budi, penduduk asli Siberut tak punya banyak keahlian kecuali berladang. Sedangkan pendatang, yang kebanyakan berasal dari Minang, lebih banyak menjadi pedagang dan pegawai negeri. “Orang Minang sebenarnya berhutang budi kepada orang Mentawai karena orang Minang telah memanfaatkan sumberdaya alam Mentawai,” kata Budi. 

Secara geografis, Kepulauan Mentawai memang menjadi bagian dari Propinsi Sumatera Barat. Namun, suku yang menempati kepulauan ini berbeda dengan suku Minang, suku asli Padang. Penduduk utama kabupaten ini adalah suku Mentawai. Tak heran bila jarang sekali kita jumpai atap rumah khas Minang berbentuk tanduk kerbau di sini.

Semoga kelak kian banyak masyarakat Muslim yang peduli dengan dakwah di Bumi Sikerei.***

(Dimuat di Majalah Suara Hidayatullah edisi September 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat