Tiga bulan mendiami ruang tahanan Polda Jawa Tengah, Ranu Muda Nugraha, wartawan Panjimas.com, tak bisa leluasa melihat matahari. Ruang tertutup seluas 2,5 x 2,5 meter persegi telah membatasi geraknya. Ia hanya bisa menikmati pantulan sinar matahari dari balik jendela kecil berjeruji di dalam selnya.
Perasaan Ranu bercampur aduk saat pertama mendiami sel tersebut. Maklum, hari-hari yang biasa ia lewati dengan setumpuk aktivitas liputan dan laporan, kini terhenti.
“Air mata saya jatuh di hari pertama saya dipenjara. Saya menangis,” ungkap Ranu saat dibesuk rekan-rekannya sesama wartawan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Gedungpane, Semarang, Jawa Tengah, pertengahan Maret lalu.
Air mata itu bukan tanda Ranu telah menyerah. Seorang jurnalis tidak boleh berhenti berjuang (setelah ia dipenjara). Sebab, kemaksiatan juga tidak akan pernah berhenti, kata Ranu dalam kesempatan lain ketika ditemui jelang sidang perdananya di Pengadilan Negeri Semarang, Jl. Siliwangi No 512, Kembangarum, Semarang Barat, Jawa Tengah.
Di kalangan jurnalis, Ranu dikenal sebagai wartawan investigatif dengan spesialis tempat-tempat maksiat, khususnya di Solo, Jawa Tengah. Namun, Allah SWT justru menguji pria kelahiran 1980 ini lewat aktivitas tersebut.
Ranu tersandung” peristiwa sweeping disertai tindak kekerasan di Social Kitchen, sebuah resto dan bar di Banjarsari, Solo, Jawa Tengah. Ayah dua anak ini didakwa oleh pihak kepolisian terlibat dalam aksi tersebut.
Ranu memang berada di bar tersebut saat aksi kekerasan itu terjadi. Namun, ia membantah terlibat aksi tersebut. Saya ke sana untuk liputan, katanya.
Sayangnya, polisi tak mempercayai bantahan Ranu. Anggota Jurnalis Islam Bersatu (JITU) ini tetap ditangkap, dipenjara, lalu disidang bersama sejumlah anggota Laskar Umat Islam (LUIS), orang-orang yang juga didakwa oleh kepolisian sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kericuhan tersebut.
Kini, setelah tiga bulan mendekam di ruang tahanan Polda Jawa Tengah, Ranu dipindah ke Lapas Kedungpane, Semarang, Jawa Tengah. Di “hotel Prodeo” yang baru ini, Ranu bisa sedikit bebas ke luar kamar selnya. Ia juga beberapa kali diizinkan keluar blok meski hanya sebentar.
“Alhamdulillah, saya sudah bisa leluasa melihat matahari,” kata Ranu seraya tersenyum lebar.
Namun, kehangatan sinar matahari yang dinikmati Ranu tetap belum sempurna. Ranu masih mengharapkan kembalinya kehangatan yang telah terenggut saat jeruji besi itu mengurungnya, yakni kehangan keluarga yang menantinya dengan sabar, serta kehangatan profesi jurnalistik yang ditekuninya selama ini.
Inilah kisah Ranu, sang jurnalis yang berjuang mendapatkan kembali mataharinya”. ***
Hari itu, Rabu, 21 Desember 2016, Ranu Muda Adi Nugraha, wartawan Panjimas.com, menerima informasi mengejutkan: Tak lama lagi polisi akan menangkapnya!
Informasi penangkapan ini tentu terkait aktivitas Ranu tiga hari sebelumnya, tepatnya pada 18 Desember 2016 dini hari. Saat itu terjadi aksi sweeping disertai tindak kekerasan oleh belasan orang berpenutup kepala di Social Kitchen, sebuah resto dan bar di Banjarsari, Solo, Jawa Tengah. Sejumlah minuman haram dihancurkan. Beberapa pengunjung terluka. Pesta malam itu amburadul. Dan, Ranu berada di resto tersebut saat peristiwa itu terjadi.
Polisi tidak mempercayai penjelasan Ranu bahwa ia hanya meliput malam itu. Polisi menuding ayah dua anak ini terlibat dalam aksi pengrusakan tersebut. Karena alasan itulah, Rabu, 21 Desember 2016, Ranu akan ditangkap. Sejumlah narasumber menginformasikan hal tersebut kepada Ranu.
Beberapa teman menyarankan agar Ranu segera kabur, bersembunyi di luar kota, hari itu. Mumpung masih ada waktu,” cerita Ranu kepada sejumlah wartawan yang Senin siang (21/3) membesuknya di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kedungpane, jalan Raya Semarang Boja km 4, Semarang, Jawa Tengah.
Tapi Ranu tak menuruti nasehat tersebut. Laki-laki yang lahir di Surakarta tahun 1980 ini justru membuat keputusan berani. Ia akan menyambut kedatangan para polisi di rumahnya sendiri, di Ngasinan RT 003 RW 004, Desa Kwarasan, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.
Maka hari itu, Rabu, 21 Desember 2016, Ranu mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut kedatangan “sang tamu”. Sejumlah barang bukti seperti peralatan kerja wartawan, ia kumpulkan. "Barangkali nanti dibutuhkan," tutur anak dari pasangan Djuwari dan Sri Winarsih ini.
Ranu juga telah menceritakan ihwal rencana kedatangan "sang tamu" kepada isterinya, Nuraini. Ranu meminta agar wanita yang telah mendampingi hidupnya selama delapan tahun ini kuat saat kelak "sang tamu" datang. "Jangan ada air mata ketika nanti saya ditangkap," pesan Ranu kepada isterinya.
Tak lupa, ia meminta sang istri untuk tetap mengenakan jilbab meskipun mereka berada di rumah. Sebab, cerita Ranu, seringkali dalam peristiwa penggebrekan, istri tersangka tidak siap dan berpakaian ala kadarnya. Ia tak mau itu terjadi pada isterinya.
Setelah shalat isya, tamu yang dinanti belum juga datang. Anak tertuanya, gadis kecil berusia tujuh tahun, ia suruh tidur lebih awal. Ranu sendiri mengaku tak cerita kepada gadis kecilnya bahwa mungkin malam itu adalah pertemuan terakhir mereka.
Ranu memiliki dua anak dari hasil pernikahannya dengan Nuraini. Anak pertama bernama Zafarani. Saat ini masih duduk di bangku SD kelas 1. Anak kedua, laki-laki, bernama Izzuddin Al Qassam. Saat ini masih berusia 2 tahun.
Malam telah sempurna dan Rabu telah berganti Kamis. Tamu yang dinanti belum juga datang. Ranu dan isterinya telah beristirahat di kamar tidur meskipun mata mereka belum sepenuhnya terpejam. Sang isteri masih mengenakan jilbab, sedang Ranu telah mengenakan kaos dan celana olahraga.
Lalu, 10 menit setelah hari berganti, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar rumah. Pintu gerbang didorong-dorong. Terdengar suara beberapa orang berteriak, Buka! Buka!”
Ranu dan isterinya langsung bangkit dari pembaringan dan bergegas menyalakan lampu kamar. Rupanya "tamu" yang ditunggu sedari tadi sudah datang.
Ranu mengambil kunci rumah dan membuka pintu. Setelah dibuka, terdengar kembali suara teriakan, “Jangan bergerak!
Polisi berpakaian preman sudah memenuhi rumah Ranu. Sedang polisi berpakaian dinas bersiap-siap di luar rumah. Beberapa mobil besar hitam terparkir di depan rumah. Ranu memperkirakan jumlah mereka sekitar 30 orang.
"Saya tidak menyangka mereka sampai mengerahkan pasukan sebanyak itu untuk menangkap saya. Mereka bersenjata lengkap, sedang saya cuma bersenjata laptop dan kamera," kata Ranu mengenang saat-saat menegangkan itu seraya tersenyum.
Tangan Ranu diborgol, matanya dilakban, lalu dibawa keluar. Saat itulah, anak perempuan Ranu terbangun dan lari ke luar. Sang anak sempat menyaksikan tangan ayahnya diborgol dan dibawa masuk ke dalam mobil. Ia tak paham apa sesungguhnya yang sedang menimpa ayahnya.
"Anak saya bertanya kepada ibunya ke mana saya dibawa pergi. Isteri saya menjawab singkat, 'Liputan!'," cerita Ranu lagi.
Setelah itu gadis kecil tersebut tak pernah bertemu ayahnya lagi. Dalam benaknya hanya tahu ayahnya sedang melakukan tugas jurnalistik di luar. Entah di mana dan kapan akan kembali, ia tak tahu. Sang ibu juga belum siap menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dengan ayahnya.
"Saya pernah bicara dengan anak saya lewat telepon. Dia tanya kenapa saya lama sekali liputan?" cerita Ranu.
Pria lulusan Politeknik Pratama Mulia tahun 2003 ini tak kuasa berterus terang kepada buah hatinya. Ia cuma bilang kalau dirinya sedang liputan ke luar kota untuk waktu yang sangat lama.
Menulis
Ranu ditempatkan di ruang tahanan Polda Jawa Tengah. Awalnya ia ditempatkan sendirian dalam satu sel di blok A. Kesendirian tersebut membuat Ranu tertekan. Ia tak kuat menahan air matanya yang jatuh. “Saya menangis,” kata Ranu.
Untunglah keadaan ini tak berlangsung lama. Ia mulai terbiasa setelah ditempatkan di sel bersama beberapa anggota Laskar Umat Islam (LUIS) yang juga didakwa terlibat dalam aksi pengrusakan di Sosial Kitchen. Namun, cobaan bukan berarti berhenti. Ranu tetap tak sebebas sebelumnya.
Untuk sekadar shalat berjamaah di masjid Lapas saja, kata Ranu, ia tidak bisa. Ia hanya bisa berjamaah di ruang selnya sendiri dan ruang sel tetangga. "Imam shalat di sel yang satu, sedang jamaahnya di sel yang lain," kata Ranu.
Bahkan pernah Ranu ditempatkan bersama enam orang sekaligus dalam satu sel berukuran 2,5 x 2,5 meter persegi. Akibatnya, Ranu dan tahanan lainnya terpaksa tidur berdempetan. “Sekadar berselonjor kaki saja susah, cerita Ranu lagi.
Ranu juga tidak bebas menjemur pakaian. Kalau mau menjemur, harus dititip ke tahanan pendamping yang sudah boleh keluar masuk blok. Itu pun kadang-kadang mereka tidak mau jika tidak dibayar.
Di dalam tahanan, Ranu belum bisa bebas keluar masuk sel. Ia baru bisa keluar saat apel pagi.
Saat apel tersebut, para tahanan dikumpulkan di ruang terbuka. Saat itulah pemuda yang pernah sekolah di SMA Muhammadiyah ini bisa leluasa melihat matahari.
Namun sayangnya, apel pagi tak setiap pagi ada. Bahkan, belakangan, lebih banyak kosong. Akibatnya, kerinduan Ranu untuk bisa leluasa melihat matahari dan menikmati hijaunya dedaunan hanya bisa ia pendam sendiri.
Ranu lantas mengisi hari-harinya dengan menulis. Dalam sehari, Ranu mampu menyelesaikan 4 halaman tulisan. Ia berencana menyusun sebuah buku yang berkisah tentang pengalaman investigasinya di beberapa tempat maksiat di Kota Solo, Jawa Tengah, dan sekitarnya.
Saat dibesuk sebelum persidangan perdana pada 21 Maret, Ranu sudah menuntaskan 80 halaman bukunya. Ia bersyukur karena kebebasannya menulis tidak ikut direnggut. Ia masih diperbolehkan memiliki buku tulis dan pena.
"Walaupun raga saya dipenjara, tapi jiwa saya tidak bisa dipenjara. Buku tersebut saya tulis untuk kejujuran," jelas Ranu. ***
o0o
Lapas Kedungpane, Semarang, Jawa Tengah, Senin siang (20/3) ramai pengunjung. Kebanyakan mereka membawa semua anggota keluarganya: ayah, ibu, kakek, nenek, sahabat, dan anak-anak. Senyum lebar menghiasi wajah-wajah mereka. Ada kerinduan di balik senyum itu.
Pihak lapas menyediakan waktu besuk cukup panjang. Mulai pukul 9 pagi hingga pukul 12 siang. Para pembesuk bertemu terpidana di sebuah taman di tengah-tengah Lapas. Mereka duduk berselonjor kaki di atas tikar-tikar yang disediakan pihak lapas. Teh hangat di dalam gelas plastik menyelingi obrolan santai mereka.
Sebagian pengunjung juga membawa makanan. Bisa ditebak, itu makanan kesukaan sang terpidana ketika dulu berada di luar penjara. Makanan itu tak mungkin bisa mereka nikmati jika tidak dibawakan oleh keluarga mereka.
Ranu sudah enam hari mendiami Lapas Kedungpane. Sebelumnya, ia disekap di ruang tahanan Polda Jawa Tengah selama 3 bulan. Setelah kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Kota Surakarta, Ranu dipindahkan ke lapas tersebut.
"Alhamdulillah, di sini saya lebih baik," kata Ranu saat dibesuk sahabat-sahabatnya sesama wartawan pada Senin siang (21/3). Wajahnya cerah, dibalut jubah putih dan celana panjang hitam sebatas mata kaki.
Ranu kemudian menceritakan kembali kisah yang menyebabkan ia terpaksa harus melewati hari-harinya di lapas Kedungpane. Semua berawal ketika sebuah pesan WhatsApp masuk di ponselnya pada pukul 20.00, Sabtu, 17 Desember 2016. Pesan itu berasal dari Enrdro Sudarso, kepala Humas Laskar Umat Islam (LUIS). Isinya sebuah undangan liputan.
Untuk memperoleh info lebih jelas soal undangan tersebut, Ranu diminta hadir dalam rapat LUIS di Masjid Mutaqin, Rt 6 RW 13, Cemani, Grogol, Sukojarjo, Jawa Tengah.
Pukul 21.00, Ranu tiba di masjid tersebut. Di sana telah ada 5 orang anggota LUIS, yakni Edi Lukito, Yusuf Suparno, Salman Al-Farizi, Endro Sudarso, dan Joko Sutarto.
Rupanya LUIS berencana malam itu memberikan surat teguran kepada Sosial Kitchen, resto dan bar di Solo, Jawa Tengah. Alasannya, menurut Endro kepada Ranu, Resto tersebut kerap melanggar jam operasional. Selain itu, di sana kerap digelar tarian telanjang dan minuman haram dijual secara bebas.
Ranu sebetulnya sudah kenal dengan resto tersebut sebelumnya. Beberapa kali ia sempat melakukan investigasi di sana. Ia bahkan mengaku menemukan sejumlah bukti bahwa di sana memang digelar tarian telanjang dan menjual minuman keras. Saya melakukan investigasi sampai larut malam, cerita Ranu. Hasil investigasi ini ia publikasikan di situs Panjimas.com.
Karena itulah, ketika Endro dan teman-temannya mengajak Ranu untuk bersama-sama mendatangi resto tersebut, wartawan muda ini langsung mengiyakan.
Namun, ia pamit pulang dulu untuk mempersiapkan segala sesuatu. Mereka bersepakat untuk kembali bertemu pukul 01.00 dini hari di masjid itu juga.
Tiba waktunya, Ranu kembali ke masjid Muttaqin. Tak lupa ia membawa tas punggung berwarna coklat tempat ia biasa menyimpan peralatan kerjanya, dipadu dengan topi berwarna abu-abu.
Di masjid sudah menunggu Endro dan 6 rekannya. Mereka semua naik mobil avansa berwarna putih, melaju menuju jalan Abdul Rahman Saleh nomor 1 Banjarsari, Surakarta, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta, tempat di mana Social Kitchen berada.
Sebelumnya, Ranu sempat mengajak rekan-rekan sesama wartawan lain lewat telepon, termasuk wartawan TV, untuk ikut meliput kegiatan LUIS malam itu. Namun, tak ada yang bersedia. "Mungkin karena sudah malam," kata Ranu.
Setengah jam kemudian mereka telah sampai di tempat tujuan. Semua anggota LUIS turun dari mobil. Ranu juga. Tak lupa ia mempersiapkan "peralatan tempurnya", yakni sebuah kamera digital DSLR Canon EOS 550 D yang selalu setia menamaninya saat liputan.
Ranu masuk ke dalam bar. Ia melihat banyak pengunjung menghabiskan malam di dalam lounge. Sesaat kemudian terdengar suara orang berkata, "Masuk!" Ranu tak tahu siapa yang mengatakan itu.
Tak berapa lama, masuklah serombongan pemuda berpenutup kepala dan mengenakan helm ke dalam bar. Mereka menghancurkan botol-botol minuman keras dan beberapa barang di bar tersebut.
Para pengunjung mereka suruh keluar dari lounge dan jongkok di salah satu sisi ruangan. Beberapa di antara pengunjung terluka.
Ranu memotret semua kejadian tersebut dengan kameranya. Ranu juga sempat memperhatikan beberapa anggota LUIS yang tadi bersamanya di mobil ikut membantu pengunjung resto yang terluka.
Jam sudah menunjuk angka dua dini hari. Ranu memutuskan untuk mengakhiri liputannya. Ia pergi meninggalkan tempat itu dengan menumpang kembali mobil yang tadi ia naiki.
Siang harinya, Ranu segera membuat laporan hasil liputannya tadi malam. Laporan tersebut kemudian muncul di laman situs Panjimas.com dengan judul Grebeg Social Kitchen, Ormas Islam Temukan ABG Mabuk dan Maksiat. Tak lupa Ranu menyertakan foto sejumlah minuman keras sebagai pelengkap laporannya.
Saya merasa tidak melanggar (aturan perundang-undangan) apa pun. Saya seorang jurnalis yang sedang bekerja, tegas Ranu, ditimpali oleh anggukan kepala rekan-rekan sesama wartawan yang siang itu mendengar cerita Ranu.
Pemimpin umum Panjimas.com, Ahmad Widad, membenarkan kalau Ranu adalah wartawannya. Jabatan terakhir Ranu, kata Widad, adalah redaktur pelaksana di media tersebut.
Ranu mulai bergabung di Panjimas.com pada Agustus 2014. Sebelumnya ia menjadi wartawan di Fujamas (media online Forum Ukhuwah Jamaah Masjid), Muslimdaily, dan majalah Media Jum'at.
Ranu pernah menjadi Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Solo, Jawa Tengah. Ia juga bergabung menjadi anggota Jurnalis Islam Bersatu (JITU). Ia ikut daurah JITU pada Mei 2016 di Puncak, Bogor, Jawa Barat. Keikutsertaan dalam daurah adalah syarat bagi seorang jurnalis Muslim untuk bergabung di JITU.
Dalam daurah tersebut, para pengurus JITU menjelaskan soal kode etik seorang jurnalis Muslim yang harus ditaati seluruh anggotanya. Kode etik tersebut berisi aturan agar para jurnalis Muslim mampu bekerja profesional sesuai kaidah profesi jurnalistik yang berlaku umum. Ranu sendiri menyatakan kesediaannya untuk mentaati kode etik tersebut.
Namun, polisi dan kejaksaan berpendapat lain. Menurut mereka, sebagaimana tertulis dalam surat dakwaan yang dibacakan dalam sidang perdana pada 21/3, Ranu tak sekadar sebagai wartawan, namun ikut terlibat dalam aksi kekerasan di Sosial Kitchen.
Dalam surat dakwaan tersebut dikatakan Ranu telah melanggar pasal 170 ayat 1, pasal 170 ayat 1 jo Pasal 56 ayat 2, pasal 169 ayat 1, pasal 406 ayat 1 jo Pasal 55 ayat 1, dan pasal 167 ayat 1 jo pasal 55 ayat 1 KUHP. Semua pasal tersebut bercerita tentang keikutsertaan dalam aksi kekerasan kepada orang atau barang.
Kini Pengadilan Negeri Semarang tengah mengadili Ranu. Sidang perdana Ranu berlangsung Selasa, 21 Maret 2017. Serangkaian pengadilan masih harus diikuti Ranu. Ia berharap pengadilan mendakwa dia sebagai seorang jurnalis, bukan sebagai seorang anarkis. ***
Perasaan Ranu bercampur aduk saat pertama mendiami sel tersebut. Maklum, hari-hari yang biasa ia lewati dengan setumpuk aktivitas liputan dan laporan, kini terhenti.
“Air mata saya jatuh di hari pertama saya dipenjara. Saya menangis,” ungkap Ranu saat dibesuk rekan-rekannya sesama wartawan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Gedungpane, Semarang, Jawa Tengah, pertengahan Maret lalu.
Air mata itu bukan tanda Ranu telah menyerah. Seorang jurnalis tidak boleh berhenti berjuang (setelah ia dipenjara). Sebab, kemaksiatan juga tidak akan pernah berhenti, kata Ranu dalam kesempatan lain ketika ditemui jelang sidang perdananya di Pengadilan Negeri Semarang, Jl. Siliwangi No 512, Kembangarum, Semarang Barat, Jawa Tengah.
Di kalangan jurnalis, Ranu dikenal sebagai wartawan investigatif dengan spesialis tempat-tempat maksiat, khususnya di Solo, Jawa Tengah. Namun, Allah SWT justru menguji pria kelahiran 1980 ini lewat aktivitas tersebut.
Ranu tersandung” peristiwa sweeping disertai tindak kekerasan di Social Kitchen, sebuah resto dan bar di Banjarsari, Solo, Jawa Tengah. Ayah dua anak ini didakwa oleh pihak kepolisian terlibat dalam aksi tersebut.
Ranu memang berada di bar tersebut saat aksi kekerasan itu terjadi. Namun, ia membantah terlibat aksi tersebut. Saya ke sana untuk liputan, katanya.
Sayangnya, polisi tak mempercayai bantahan Ranu. Anggota Jurnalis Islam Bersatu (JITU) ini tetap ditangkap, dipenjara, lalu disidang bersama sejumlah anggota Laskar Umat Islam (LUIS), orang-orang yang juga didakwa oleh kepolisian sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kericuhan tersebut.
Kini, setelah tiga bulan mendekam di ruang tahanan Polda Jawa Tengah, Ranu dipindah ke Lapas Kedungpane, Semarang, Jawa Tengah. Di “hotel Prodeo” yang baru ini, Ranu bisa sedikit bebas ke luar kamar selnya. Ia juga beberapa kali diizinkan keluar blok meski hanya sebentar.
“Alhamdulillah, saya sudah bisa leluasa melihat matahari,” kata Ranu seraya tersenyum lebar.
Namun, kehangatan sinar matahari yang dinikmati Ranu tetap belum sempurna. Ranu masih mengharapkan kembalinya kehangatan yang telah terenggut saat jeruji besi itu mengurungnya, yakni kehangan keluarga yang menantinya dengan sabar, serta kehangatan profesi jurnalistik yang ditekuninya selama ini.
Inilah kisah Ranu, sang jurnalis yang berjuang mendapatkan kembali mataharinya”. ***
o0o
Sang Ayah yang Tak Pernah Pulang dari Liputan
Hari itu, Rabu, 21 Desember 2016, Ranu Muda Adi Nugraha, wartawan Panjimas.com, menerima informasi mengejutkan: Tak lama lagi polisi akan menangkapnya!
Informasi penangkapan ini tentu terkait aktivitas Ranu tiga hari sebelumnya, tepatnya pada 18 Desember 2016 dini hari. Saat itu terjadi aksi sweeping disertai tindak kekerasan oleh belasan orang berpenutup kepala di Social Kitchen, sebuah resto dan bar di Banjarsari, Solo, Jawa Tengah. Sejumlah minuman haram dihancurkan. Beberapa pengunjung terluka. Pesta malam itu amburadul. Dan, Ranu berada di resto tersebut saat peristiwa itu terjadi.
Polisi tidak mempercayai penjelasan Ranu bahwa ia hanya meliput malam itu. Polisi menuding ayah dua anak ini terlibat dalam aksi pengrusakan tersebut. Karena alasan itulah, Rabu, 21 Desember 2016, Ranu akan ditangkap. Sejumlah narasumber menginformasikan hal tersebut kepada Ranu.
Beberapa teman menyarankan agar Ranu segera kabur, bersembunyi di luar kota, hari itu. Mumpung masih ada waktu,” cerita Ranu kepada sejumlah wartawan yang Senin siang (21/3) membesuknya di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kedungpane, jalan Raya Semarang Boja km 4, Semarang, Jawa Tengah.
Tapi Ranu tak menuruti nasehat tersebut. Laki-laki yang lahir di Surakarta tahun 1980 ini justru membuat keputusan berani. Ia akan menyambut kedatangan para polisi di rumahnya sendiri, di Ngasinan RT 003 RW 004, Desa Kwarasan, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.
Maka hari itu, Rabu, 21 Desember 2016, Ranu mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut kedatangan “sang tamu”. Sejumlah barang bukti seperti peralatan kerja wartawan, ia kumpulkan. "Barangkali nanti dibutuhkan," tutur anak dari pasangan Djuwari dan Sri Winarsih ini.
Ranu juga telah menceritakan ihwal rencana kedatangan "sang tamu" kepada isterinya, Nuraini. Ranu meminta agar wanita yang telah mendampingi hidupnya selama delapan tahun ini kuat saat kelak "sang tamu" datang. "Jangan ada air mata ketika nanti saya ditangkap," pesan Ranu kepada isterinya.
Tak lupa, ia meminta sang istri untuk tetap mengenakan jilbab meskipun mereka berada di rumah. Sebab, cerita Ranu, seringkali dalam peristiwa penggebrekan, istri tersangka tidak siap dan berpakaian ala kadarnya. Ia tak mau itu terjadi pada isterinya.
Setelah shalat isya, tamu yang dinanti belum juga datang. Anak tertuanya, gadis kecil berusia tujuh tahun, ia suruh tidur lebih awal. Ranu sendiri mengaku tak cerita kepada gadis kecilnya bahwa mungkin malam itu adalah pertemuan terakhir mereka.
Ranu memiliki dua anak dari hasil pernikahannya dengan Nuraini. Anak pertama bernama Zafarani. Saat ini masih duduk di bangku SD kelas 1. Anak kedua, laki-laki, bernama Izzuddin Al Qassam. Saat ini masih berusia 2 tahun.
Malam telah sempurna dan Rabu telah berganti Kamis. Tamu yang dinanti belum juga datang. Ranu dan isterinya telah beristirahat di kamar tidur meskipun mata mereka belum sepenuhnya terpejam. Sang isteri masih mengenakan jilbab, sedang Ranu telah mengenakan kaos dan celana olahraga.
Lalu, 10 menit setelah hari berganti, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar rumah. Pintu gerbang didorong-dorong. Terdengar suara beberapa orang berteriak, Buka! Buka!”
Ranu dan isterinya langsung bangkit dari pembaringan dan bergegas menyalakan lampu kamar. Rupanya "tamu" yang ditunggu sedari tadi sudah datang.
Ranu mengambil kunci rumah dan membuka pintu. Setelah dibuka, terdengar kembali suara teriakan, “Jangan bergerak!
Polisi berpakaian preman sudah memenuhi rumah Ranu. Sedang polisi berpakaian dinas bersiap-siap di luar rumah. Beberapa mobil besar hitam terparkir di depan rumah. Ranu memperkirakan jumlah mereka sekitar 30 orang.
"Saya tidak menyangka mereka sampai mengerahkan pasukan sebanyak itu untuk menangkap saya. Mereka bersenjata lengkap, sedang saya cuma bersenjata laptop dan kamera," kata Ranu mengenang saat-saat menegangkan itu seraya tersenyum.
Tangan Ranu diborgol, matanya dilakban, lalu dibawa keluar. Saat itulah, anak perempuan Ranu terbangun dan lari ke luar. Sang anak sempat menyaksikan tangan ayahnya diborgol dan dibawa masuk ke dalam mobil. Ia tak paham apa sesungguhnya yang sedang menimpa ayahnya.
"Anak saya bertanya kepada ibunya ke mana saya dibawa pergi. Isteri saya menjawab singkat, 'Liputan!'," cerita Ranu lagi.
Setelah itu gadis kecil tersebut tak pernah bertemu ayahnya lagi. Dalam benaknya hanya tahu ayahnya sedang melakukan tugas jurnalistik di luar. Entah di mana dan kapan akan kembali, ia tak tahu. Sang ibu juga belum siap menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dengan ayahnya.
"Saya pernah bicara dengan anak saya lewat telepon. Dia tanya kenapa saya lama sekali liputan?" cerita Ranu.
Pria lulusan Politeknik Pratama Mulia tahun 2003 ini tak kuasa berterus terang kepada buah hatinya. Ia cuma bilang kalau dirinya sedang liputan ke luar kota untuk waktu yang sangat lama.
Menulis
Ranu ditempatkan di ruang tahanan Polda Jawa Tengah. Awalnya ia ditempatkan sendirian dalam satu sel di blok A. Kesendirian tersebut membuat Ranu tertekan. Ia tak kuat menahan air matanya yang jatuh. “Saya menangis,” kata Ranu.
Untunglah keadaan ini tak berlangsung lama. Ia mulai terbiasa setelah ditempatkan di sel bersama beberapa anggota Laskar Umat Islam (LUIS) yang juga didakwa terlibat dalam aksi pengrusakan di Sosial Kitchen. Namun, cobaan bukan berarti berhenti. Ranu tetap tak sebebas sebelumnya.
Untuk sekadar shalat berjamaah di masjid Lapas saja, kata Ranu, ia tidak bisa. Ia hanya bisa berjamaah di ruang selnya sendiri dan ruang sel tetangga. "Imam shalat di sel yang satu, sedang jamaahnya di sel yang lain," kata Ranu.
Bahkan pernah Ranu ditempatkan bersama enam orang sekaligus dalam satu sel berukuran 2,5 x 2,5 meter persegi. Akibatnya, Ranu dan tahanan lainnya terpaksa tidur berdempetan. “Sekadar berselonjor kaki saja susah, cerita Ranu lagi.
Ranu juga tidak bebas menjemur pakaian. Kalau mau menjemur, harus dititip ke tahanan pendamping yang sudah boleh keluar masuk blok. Itu pun kadang-kadang mereka tidak mau jika tidak dibayar.
Di dalam tahanan, Ranu belum bisa bebas keluar masuk sel. Ia baru bisa keluar saat apel pagi.
Saat apel tersebut, para tahanan dikumpulkan di ruang terbuka. Saat itulah pemuda yang pernah sekolah di SMA Muhammadiyah ini bisa leluasa melihat matahari.
Namun sayangnya, apel pagi tak setiap pagi ada. Bahkan, belakangan, lebih banyak kosong. Akibatnya, kerinduan Ranu untuk bisa leluasa melihat matahari dan menikmati hijaunya dedaunan hanya bisa ia pendam sendiri.
Ranu lantas mengisi hari-harinya dengan menulis. Dalam sehari, Ranu mampu menyelesaikan 4 halaman tulisan. Ia berencana menyusun sebuah buku yang berkisah tentang pengalaman investigasinya di beberapa tempat maksiat di Kota Solo, Jawa Tengah, dan sekitarnya.
Saat dibesuk sebelum persidangan perdana pada 21 Maret, Ranu sudah menuntaskan 80 halaman bukunya. Ia bersyukur karena kebebasannya menulis tidak ikut direnggut. Ia masih diperbolehkan memiliki buku tulis dan pena.
"Walaupun raga saya dipenjara, tapi jiwa saya tidak bisa dipenjara. Buku tersebut saya tulis untuk kejujuran," jelas Ranu. ***
o0o
Tersandung Sosial Kitchen
Lapas Kedungpane, Semarang, Jawa Tengah, Senin siang (20/3) ramai pengunjung. Kebanyakan mereka membawa semua anggota keluarganya: ayah, ibu, kakek, nenek, sahabat, dan anak-anak. Senyum lebar menghiasi wajah-wajah mereka. Ada kerinduan di balik senyum itu.
Pihak lapas menyediakan waktu besuk cukup panjang. Mulai pukul 9 pagi hingga pukul 12 siang. Para pembesuk bertemu terpidana di sebuah taman di tengah-tengah Lapas. Mereka duduk berselonjor kaki di atas tikar-tikar yang disediakan pihak lapas. Teh hangat di dalam gelas plastik menyelingi obrolan santai mereka.
Sebagian pengunjung juga membawa makanan. Bisa ditebak, itu makanan kesukaan sang terpidana ketika dulu berada di luar penjara. Makanan itu tak mungkin bisa mereka nikmati jika tidak dibawakan oleh keluarga mereka.
Ranu sudah enam hari mendiami Lapas Kedungpane. Sebelumnya, ia disekap di ruang tahanan Polda Jawa Tengah selama 3 bulan. Setelah kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Kota Surakarta, Ranu dipindahkan ke lapas tersebut.
"Alhamdulillah, di sini saya lebih baik," kata Ranu saat dibesuk sahabat-sahabatnya sesama wartawan pada Senin siang (21/3). Wajahnya cerah, dibalut jubah putih dan celana panjang hitam sebatas mata kaki.
Ranu kemudian menceritakan kembali kisah yang menyebabkan ia terpaksa harus melewati hari-harinya di lapas Kedungpane. Semua berawal ketika sebuah pesan WhatsApp masuk di ponselnya pada pukul 20.00, Sabtu, 17 Desember 2016. Pesan itu berasal dari Enrdro Sudarso, kepala Humas Laskar Umat Islam (LUIS). Isinya sebuah undangan liputan.
Untuk memperoleh info lebih jelas soal undangan tersebut, Ranu diminta hadir dalam rapat LUIS di Masjid Mutaqin, Rt 6 RW 13, Cemani, Grogol, Sukojarjo, Jawa Tengah.
Pukul 21.00, Ranu tiba di masjid tersebut. Di sana telah ada 5 orang anggota LUIS, yakni Edi Lukito, Yusuf Suparno, Salman Al-Farizi, Endro Sudarso, dan Joko Sutarto.
Rupanya LUIS berencana malam itu memberikan surat teguran kepada Sosial Kitchen, resto dan bar di Solo, Jawa Tengah. Alasannya, menurut Endro kepada Ranu, Resto tersebut kerap melanggar jam operasional. Selain itu, di sana kerap digelar tarian telanjang dan minuman haram dijual secara bebas.
Ranu sebetulnya sudah kenal dengan resto tersebut sebelumnya. Beberapa kali ia sempat melakukan investigasi di sana. Ia bahkan mengaku menemukan sejumlah bukti bahwa di sana memang digelar tarian telanjang dan menjual minuman keras. Saya melakukan investigasi sampai larut malam, cerita Ranu. Hasil investigasi ini ia publikasikan di situs Panjimas.com.
Karena itulah, ketika Endro dan teman-temannya mengajak Ranu untuk bersama-sama mendatangi resto tersebut, wartawan muda ini langsung mengiyakan.
Namun, ia pamit pulang dulu untuk mempersiapkan segala sesuatu. Mereka bersepakat untuk kembali bertemu pukul 01.00 dini hari di masjid itu juga.
Tiba waktunya, Ranu kembali ke masjid Muttaqin. Tak lupa ia membawa tas punggung berwarna coklat tempat ia biasa menyimpan peralatan kerjanya, dipadu dengan topi berwarna abu-abu.
Di masjid sudah menunggu Endro dan 6 rekannya. Mereka semua naik mobil avansa berwarna putih, melaju menuju jalan Abdul Rahman Saleh nomor 1 Banjarsari, Surakarta, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta, tempat di mana Social Kitchen berada.
Sebelumnya, Ranu sempat mengajak rekan-rekan sesama wartawan lain lewat telepon, termasuk wartawan TV, untuk ikut meliput kegiatan LUIS malam itu. Namun, tak ada yang bersedia. "Mungkin karena sudah malam," kata Ranu.
Setengah jam kemudian mereka telah sampai di tempat tujuan. Semua anggota LUIS turun dari mobil. Ranu juga. Tak lupa ia mempersiapkan "peralatan tempurnya", yakni sebuah kamera digital DSLR Canon EOS 550 D yang selalu setia menamaninya saat liputan.
Ranu masuk ke dalam bar. Ia melihat banyak pengunjung menghabiskan malam di dalam lounge. Sesaat kemudian terdengar suara orang berkata, "Masuk!" Ranu tak tahu siapa yang mengatakan itu.
Tak berapa lama, masuklah serombongan pemuda berpenutup kepala dan mengenakan helm ke dalam bar. Mereka menghancurkan botol-botol minuman keras dan beberapa barang di bar tersebut.
Para pengunjung mereka suruh keluar dari lounge dan jongkok di salah satu sisi ruangan. Beberapa di antara pengunjung terluka.
Ranu memotret semua kejadian tersebut dengan kameranya. Ranu juga sempat memperhatikan beberapa anggota LUIS yang tadi bersamanya di mobil ikut membantu pengunjung resto yang terluka.
Jam sudah menunjuk angka dua dini hari. Ranu memutuskan untuk mengakhiri liputannya. Ia pergi meninggalkan tempat itu dengan menumpang kembali mobil yang tadi ia naiki.
Siang harinya, Ranu segera membuat laporan hasil liputannya tadi malam. Laporan tersebut kemudian muncul di laman situs Panjimas.com dengan judul Grebeg Social Kitchen, Ormas Islam Temukan ABG Mabuk dan Maksiat. Tak lupa Ranu menyertakan foto sejumlah minuman keras sebagai pelengkap laporannya.
Saya merasa tidak melanggar (aturan perundang-undangan) apa pun. Saya seorang jurnalis yang sedang bekerja, tegas Ranu, ditimpali oleh anggukan kepala rekan-rekan sesama wartawan yang siang itu mendengar cerita Ranu.
Pemimpin umum Panjimas.com, Ahmad Widad, membenarkan kalau Ranu adalah wartawannya. Jabatan terakhir Ranu, kata Widad, adalah redaktur pelaksana di media tersebut.
Ranu mulai bergabung di Panjimas.com pada Agustus 2014. Sebelumnya ia menjadi wartawan di Fujamas (media online Forum Ukhuwah Jamaah Masjid), Muslimdaily, dan majalah Media Jum'at.
Ranu pernah menjadi Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Solo, Jawa Tengah. Ia juga bergabung menjadi anggota Jurnalis Islam Bersatu (JITU). Ia ikut daurah JITU pada Mei 2016 di Puncak, Bogor, Jawa Barat. Keikutsertaan dalam daurah adalah syarat bagi seorang jurnalis Muslim untuk bergabung di JITU.
Dalam daurah tersebut, para pengurus JITU menjelaskan soal kode etik seorang jurnalis Muslim yang harus ditaati seluruh anggotanya. Kode etik tersebut berisi aturan agar para jurnalis Muslim mampu bekerja profesional sesuai kaidah profesi jurnalistik yang berlaku umum. Ranu sendiri menyatakan kesediaannya untuk mentaati kode etik tersebut.
Namun, polisi dan kejaksaan berpendapat lain. Menurut mereka, sebagaimana tertulis dalam surat dakwaan yang dibacakan dalam sidang perdana pada 21/3, Ranu tak sekadar sebagai wartawan, namun ikut terlibat dalam aksi kekerasan di Sosial Kitchen.
Dalam surat dakwaan tersebut dikatakan Ranu telah melanggar pasal 170 ayat 1, pasal 170 ayat 1 jo Pasal 56 ayat 2, pasal 169 ayat 1, pasal 406 ayat 1 jo Pasal 55 ayat 1, dan pasal 167 ayat 1 jo pasal 55 ayat 1 KUHP. Semua pasal tersebut bercerita tentang keikutsertaan dalam aksi kekerasan kepada orang atau barang.
Kini Pengadilan Negeri Semarang tengah mengadili Ranu. Sidang perdana Ranu berlangsung Selasa, 21 Maret 2017. Serangkaian pengadilan masih harus diikuti Ranu. Ia berharap pengadilan mendakwa dia sebagai seorang jurnalis, bukan sebagai seorang anarkis. ***
(Dipublikasikan oleh Majalah Suara Hidayatullah edisi Mei 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat