Senin, 03 April 2017

Ujaran Kebencian

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,” (Ar-Rum [30]: 30).

o0o

Seorang moderator dalam sebuah diskusi jurnalistik di Gedung LBH Jakarta pada penghujung Januari 2017 lalu mencoba membatasi ruang lingkup diskusi dengan tidak memasukkan media-media yang dia sebut sebagai "penyebar kebencian."  

Seorang penyaji dalam diskusi tersebut juga menegaskan bahwa media-media penyebar kebencian lebih cocok disebut media sampah. Bahkan,kata sang moderator, kebencian terhadap ideologi komunis sekalipun, tetap tak boleh.

Harus kita akui, rasa benci yang diselimuti nafsu kerap membuat seseorang tak bisa bersikap adil. Rasa benci seperti ini mendorong seseorang tak bisa mengendalikan dirinya. Karena kebencian, seseorang bisa dengan mudah menyebar fitnah, membuat cerita bohong (hoax), atau menghina dan mengeluarkan kata-kata kotor kepada saudara sendiri. 

Rasulullah SAW amat takut dengan hal ini. Ammar bin Yasir bercerita, sebagaimana diriwayatkan oleh Nasai, bahwa Rasulullah SAW sering berdoa, “Ya Allah, kami memohon kepada-Mu kalimat yang haq (baik) ketika ridha dan (ketika) marah.” 

Begitu berbahayanya kebencian yang dibalut oleh nafsu sehingga pemerintah Indonesia sengaja menerbitkan undang-undang yang mengatur soal ini, khususnya lalu lintas komunikasi via online. Undang-undang tersebut dikenal dengan nama Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Di dalam UU yang sempat direvisi pada Oktober 2016 ini, telah diatur apa yang dikenal dengan sebutan “ujaran kebencian” atau hate speech.  

Namun, di sisi lain, kita tak boleh lupa bahwa menghilangkan rasa benci pada diri manusia adalah hal yang mustahil. Sebab, rasa benci, sebagaimana rasa cinta, adalah fitrah manusia. Ia merupakan tabiat alami manusia. Menghilangkannya berarti menghapus fitrah tersebut.  

Jadi, rasa benci bukan dihilangkan, melainkan diarahkan kepada hal yang benar, dan dinyatakan dengan cara yang benar pula. 

Lantas, kepada siapa rasa benci itu seharusnya diarahkan? Tentu saja kepada segala perbuatan yang tidak sesuai dengan fitrah manusia.  Misalnya, perbuatan maksiat kepada Allah SWT, kesyirikan, ibadah yang diada-adakan, dan segala perbuatan dosa. 

Jika rasa benci itu kita hilangkan, maka pelan-pelan rasa itu akan berubah menjadi cinta. Ini jelas berbahaya. Tak mungkin kita mencintai perbuatan maksiat kepada Allah SWT. Justru perbuatan itu harus kita benci. Tak mungkin kita menghapus rasa benci kepada ideologi komunis. Justru kita harus waspada terhadap bangkitnya kembali ideologi yang sempat mengancam keutuhan bangsa Indonesia itu. 

Namun, kebencian yang harus kita pupuk adalah kebencian karena Allah SWT, bukan karena hawa nafsu.  Kebencian yang diperbolehkan adalah kebencian kepada perbuatannya, bukan kepada pelakunya.  Sang pelaku, boleh jadi suatu saat kelak mendapat hidayah dari Allah SWT dan berubah menjadi baik.

Karena itu, kepada si fulan, kita boleh saja mengatakan, “Saya tidak membenci Anda yang seorang non-Muslim. Yang saya benci adalah kekafiran Anda. Dan, karena kekafiran itulah, saya tak akan memilih Anda sebagai pemimpin.”

Wallauhu ‘alam.

(Dimuat di Majalah Suara Hidayatullah edisi April 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat