Senin, 10 April 2017

Rindu

Rindu seringkali menumbuhkan harapan. Harapan kemudian menjelma menjadi daya upaya untuk mewujudkannya. Seberapa besar kerinduan tersebut tersimpan di dalam kalbu, sebesar itu pula daya upaya akan dikerahkan untuk meraihnya.

Rindu seorang perantau kepada kampung halamannya kerap menumbuhkan keinginan untuk segera pulang. Ia rela mengorbankan apa saja yang dimilikinya untuk bisa pulang dan bertemu orang-orang yang dikasihinya. 

Begitu juga rindu seorang ibu kepada anaknya, sering menumbuhkan keinginan untuk mengetahui kabar sang buah hati. Sedang apa dia saat ini? Sehatkah dia? Kapan dia pulang? 

Itulah rindu yang sebenarnya, bukan rindu yang semu. Sebab rindu yang semu tak akan menumbuhkaan harapan, apalagi menjelma menjadi daya upaya untuk mewujudkannya. Rindu yang semu hanya menyisakan ketidakpedulian. 

Namun kenikmatan dunia belumlah seberapa besar jika dibandingkaan dengan kenikmatan surga yang dijanjikan oleh Allah SWT. "Kusiapkan bagi hamba-hamba-Ku yang shalih...," kata Allah Ta'ala dalam Hadits Qudsi, "... apa yang tak pernah dilihat mata, tak pernah didengar telinga, dan tak pernah terlintas dalam hati semua manusia.” Itulah surga, sesuatu yang amat layak dirindu oleh seluruh kaum Muslim di muka Bumi ini. 

Rindu kepada surga seharusnya bukanlah rindu yang semu. Rindu kepada surga seharusnya menumbuhkan daya upaya yang sungguh-sungguh untuk meraihnya. 

Bahkan pengorbanan untuk mendapatkan surga seharusnya jauh melebihi pengorbanan seorang perantau yang rindu kepada kampung halamannya, atau pengorbanan seorang ibu yang merindukan sang buah hatinya.

Rasa rindu kepada surga sudah selayaknya dimiliki oleh semua Muslim di muka bumi ini. Bukan rindu yang semu, tapi sebenar-benarnya rindu. 

Namun sayang, apa yang terlihat di sekitar kita justru sebaliknya. Kaum Muslim lebih banyak menghabiskan waktu untuk menggapai "surga dunia" ketimbang "surga akhirat". 

Mengapa bisa seperti itu? Jawabnya, boleh jadi karena kita belum sungguh-sungguh mengimani adanya surga. Kita juga belum sungguh-sungguh mengimani adanya neraka. Bahkan jangan-jangan, kita juga belum sungguh-sungguh mengimani Allah SWT dan Rasul-Nya. Na'udzubillahi min dzalik.

Karena itu, kita perlu mengubah kerinduan semu ini menjadi sebenar-benarnya rindu. Kerinduan yang didasari atas iman. Ini memang tak mudah! Namun jika Allah SWT berkehendak, tak ada yang mustahil bagi-Nya. Bukankah hidayah bisa menyapa siapa saja? ***


(Ditulis untuk pengantar buku seorang sahabat, Masrokan, bejudul MerinduJannah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat