"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biar pun terhadap dirimu
sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu…,” (An Nisaa [4]: 135).
o0o
Sebaris kalimat yang keluar dari mulut Sang Gubernur pada penghujung September silam di sebuah pulau kecil di utara Jakarta, sepintas terkesan sepele. Padahal tidak! Justru lewat kalimat itulah skenario Allah SWT dimulai.
Lontaran kalimat bernada penistaan terhadap al-Qur’an dan ulama itu menciptakan bola salju kemarahan kaum Muslim yang menggelinding, kian lama kian membesar, menggoreskan sebuah pembeda yang dulu sama sekali tak terlihat.
Pembeda tersebut bukan sekadar antara kaum Muslim dan non-Muslim yang memang sudah sangat jelas perbedaannya, namun antara kaum Muslim dengan kaum Muslim itu sendiri.
Ya, antara kaum Muslim yang membela sang gubernur atas ucapannya, dan kaum Muslim yang menghendaki agar sang Gubernur mendapat ganjaran setimpal atas ucapannya.
Sejumlah aksi masyarakat yang dikomandoi oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI) pasca terlontarnya ungkapan penistaan tersebut berlangsung damai. Jutaan masyarakat berbondong-bondong mendatangi Masjid Istiqlal, Istana Presiden, dan Tugu Monas, untuk memprotes perlakuan Sang Gubernur.
Bahkan pada 2 Desember lalu, Presiden Joko Widodo dan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian ikut tampil di atas panggung. Para ulama berceramah, polisi bersalawat, masyarakat mengaminkan doa ulama, tentara ikut berjaga dari provokator yang hendak merusak aksi. Suasana benar-benar super damai!
Namun di dunia maya tidak! Hari demi hari perang opini berkecamuk dengan dahsyat. Kelompok pendukung Sang Gubernur dan kelompok kontra beradu argumentaasi. Ini semua membuat pembeda itu kian terang benderang.
Sebetulnya, di samping dua kelompok ini, masih ada satu kelompok lagi yang memilih “abu-abu”. Mereka tidak pro, tidak pula kontra. Mereka menempatkan diri di luar arena pertempuran. Mereka tak mau ikut terlibat dalam kecamuk perang. Mereka diam.
Mungkin mereka tak paham dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Mungkin pula mereka paham namun tak mau peduli dengan semua yang terjadi. Mereka asyik dengan dirinya sendiri.
Atau, mereka paham dengan apa yang terjadi, namun tak sanggup menerima konsekuensi bila harus menunjukkan keberpihakan. Mereka memilih diam, sebab itulah pilihan paling aman.
Nah, di manakah kita berada ketika kecamuk perang itu terjadi?
Nasehat bijak mengatakan, jika kapal hendak bertolak dari pelabuhan, maka segera putuskan apakah Anda akan ikut berlayar atau tinggal di dermaga. Jika Anda ragu sehingga satu kaki masih berada di dermaga, sedang kaki yang lainnya berada di atas kapal, maka tunggulah, Anda akan jatuh ke laut.
Semoga kita berada di tempat yang benar saat keputusan harus segera diambil. Sebab, boleh jadi keputusan tersebut akan menetukan di mana posisi kita kelak saat Allah SWT kumpulkan di padang mahsyar.
Wallahu a'lam.
(Dipublikasikan di Majalah Suara Hidayatullah Rubrik Salam edisi Januari 2017)
o0o
Sebaris kalimat yang keluar dari mulut Sang Gubernur pada penghujung September silam di sebuah pulau kecil di utara Jakarta, sepintas terkesan sepele. Padahal tidak! Justru lewat kalimat itulah skenario Allah SWT dimulai.
Lontaran kalimat bernada penistaan terhadap al-Qur’an dan ulama itu menciptakan bola salju kemarahan kaum Muslim yang menggelinding, kian lama kian membesar, menggoreskan sebuah pembeda yang dulu sama sekali tak terlihat.
Pembeda tersebut bukan sekadar antara kaum Muslim dan non-Muslim yang memang sudah sangat jelas perbedaannya, namun antara kaum Muslim dengan kaum Muslim itu sendiri.
Ya, antara kaum Muslim yang membela sang gubernur atas ucapannya, dan kaum Muslim yang menghendaki agar sang Gubernur mendapat ganjaran setimpal atas ucapannya.
Sejumlah aksi masyarakat yang dikomandoi oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI) pasca terlontarnya ungkapan penistaan tersebut berlangsung damai. Jutaan masyarakat berbondong-bondong mendatangi Masjid Istiqlal, Istana Presiden, dan Tugu Monas, untuk memprotes perlakuan Sang Gubernur.
Bahkan pada 2 Desember lalu, Presiden Joko Widodo dan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian ikut tampil di atas panggung. Para ulama berceramah, polisi bersalawat, masyarakat mengaminkan doa ulama, tentara ikut berjaga dari provokator yang hendak merusak aksi. Suasana benar-benar super damai!
Namun di dunia maya tidak! Hari demi hari perang opini berkecamuk dengan dahsyat. Kelompok pendukung Sang Gubernur dan kelompok kontra beradu argumentaasi. Ini semua membuat pembeda itu kian terang benderang.
Sebetulnya, di samping dua kelompok ini, masih ada satu kelompok lagi yang memilih “abu-abu”. Mereka tidak pro, tidak pula kontra. Mereka menempatkan diri di luar arena pertempuran. Mereka tak mau ikut terlibat dalam kecamuk perang. Mereka diam.
Mungkin mereka tak paham dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Mungkin pula mereka paham namun tak mau peduli dengan semua yang terjadi. Mereka asyik dengan dirinya sendiri.
Atau, mereka paham dengan apa yang terjadi, namun tak sanggup menerima konsekuensi bila harus menunjukkan keberpihakan. Mereka memilih diam, sebab itulah pilihan paling aman.
Nah, di manakah kita berada ketika kecamuk perang itu terjadi?
Nasehat bijak mengatakan, jika kapal hendak bertolak dari pelabuhan, maka segera putuskan apakah Anda akan ikut berlayar atau tinggal di dermaga. Jika Anda ragu sehingga satu kaki masih berada di dermaga, sedang kaki yang lainnya berada di atas kapal, maka tunggulah, Anda akan jatuh ke laut.
Semoga kita berada di tempat yang benar saat keputusan harus segera diambil. Sebab, boleh jadi keputusan tersebut akan menetukan di mana posisi kita kelak saat Allah SWT kumpulkan di padang mahsyar.
Wallahu a'lam.
(Dipublikasikan di Majalah Suara Hidayatullah Rubrik Salam edisi Januari 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat