Senin, 21 November 2016

Mengungkap Rahasia Waktu Telu

Sejak pindah ke Mataram 11 bulan yang lalu, Saifuddin Nawawi gusar. Ada yang mengusik pikirannya.

"Banyak masyarakat di sini cerita kalau Islam di Lombok ada dua, yakni Islam waktu lima dan Islam waktu tiga," ungkap Saifuddin ketika disambangi di Pondok Hidayatullah Mataram, Nusa Tenggara Barat, akhir Agustus lalu.

Waktu lima maksudnya lima waktu shalat fardhu. Sedang waktu tiga maksudnya tiga waktu shalat fardhu. Islam waktu tiga inilah yang lebih populer disebut Waktu Telu.

Saifuddin tentu tak percaya dengan informasi itu. Masa sih Islam ada dua? Bukankah shalat wajib itu ada lima waktu, bukan tiga waktu? Jika ada orang yang mengaku melaksanakan shalat hanya tiga waktu, cerita Saifuddin, sudah pasti mereka seorang musafir (sedang berpergian) atau mereka pengikut aliran sesat.

Para pengikut Waktu Telu tentu bukan seorang musafir. Sejumlah literatur menyatakan mereka justru berasal dari suku Sasak, suku asli Lombok.

Lalu apakah mereka pengikut agama yang sesat? Jika ya, mengapa istilah Waktu Telu terasa seperti "dipeliharan" hingga sekarang?

Saifuddin kemudian mengajak Suara Hidayatullah menelusuri jejak-jejak Waktu Telu, mulai dari Lombok Barat, Lombok Utara, Lombok Timur, hingga ke kaki Gunung Rinjani, untuk mengungkap apa rahasia di balik istilah ini.

Berikut adalah laporannya. ***

o0o


Kaburnya Ajaran yang Luhur


Masjid Bayan Beleq, masjid pertama yang berdiri di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat  (NTB). Dari sinilah pencarian jejak itu dimulai.

Masjid ini terletak di jalan Labuan Lombok, Desa Bayan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, NTB. Jaraknya sekitar 80 km dari Mataram, ibukota provinsi NTB, atau sekitar satu setengah jam perjalanan menuju utara dari Pantai Senggigi, pantai indah yang menjadi salah satu tujuan pariwisata Lombok.

Malam tak seberapa jatuh ketika Suara Hidayatullah tiba di masjid ini. Suara azan Isya sudah agak lama usai. Namun masjid ini sepi. Tak ada tanda-tanda shalat berjamaah telah

Tak sekadar sepi, masjid ini juga gelap. Tak ada lampu di dalam masjid, juga di luarnya. Pintu masjid terkunci, sedang serambi masjid tak ada. Entah telah berapa lama masjid ini tak lagi rutin dipakai sebagai tempat shalat fardhu berjamaah. Ia tak lagi berfungsi sebagaimana lazimnya sebuah masjid.

Jika diperhatikan dari luar, bangunan ini memang tak mirip mesjid. Ia lebih mirip gubuk atau rumah tinggal. Luas bangunan sekitar 10 x 10 meter persegi. Dindingnya rendah dan terbuat dari anyaman bambu.

Di dalam masjid terdapat beleq (makam besar). Di bagian belakang sebelah kanan dan depan sebelah kiri masjid juga terdapat dua gubuk kecil berisi makam.

Atap masjid terbuat dari rumbia, berbentuk lancip (limas), berlapis dua. Di bagian ujung atapnya terdapat semacam mahkota. Bentuk atap seperti ini mengingatkan kita pada bangunan yang biasa terdapat di Bali. Tak bisa dipungkiri, nuansa Hindu cukup kental pada masjid ini.

Sejumlah literatur menyebutkan, masjid ini dibangun pada abad 17.  Masa itu memang bertepatan dengan masuknya pengaruh Hindu Bali di tanah Lombok. Pencampuran budaya rupanya tak bisa dicegah. Mungkin, itu pula yang terjadi pada adat Waktu Telu.

Di dalam masjid terdapat  simbol-simbol yang sarat dengan makna. Ada hiasan berbentuk burung dan ikan di ujung pilar penyanggah atap. Kedua hewan ini melambangkan kehidupan di akhirat (burung) dan di dunia (ikan).

Di salah satu sisi masjid terdapat mimbar. Di atas mimbar ini terdapat hiasan berbentuk naga. Pada badan naga terlihat tiga burung. Konon, ketiga burung ini melambangkan Waktu Telu.

Tak banyak informasi tentang Waktu Telu yang bisa diperoleh dari masjid ini. Satu-satunya informasi berharga dari sini hanyalah kesan kuat telah bercampurnya nilai-nilai Islam dan Hindu Bali pada budaya Waktu Telu.

Jejak dari Sembalun

Gunung Rinjani di pagi yang berkabut di Sembalun, wilayah sebelah utara Kabupaten Lombok Timur, terlihat gagah. Puncaknya kokoh kecoklatan.  Suhu udara pagi itu mencapai sekitar 15 derajat celcius.

Sembalun adalah daerah di kaki Gunung Rinjani, gunung tertinggi kedua di Indonesia. Para pelancong memberi julukan daerah ini sebagai "surga dunia".  Meski julukan ini agak berlebihan, namun panorama Sembalun memang indah. 
Nuansa pedesaan yang dipadu dengan aneka sayur dan buah-buahan, serta berlatar pegunungan dan perbukitan, melengkapi kesempurnaan Sembalun sebagai daerah pariwisata.

"Di kawah Rinjani ada sebuah danau," cerita Abdurrahman, tokoh masyarakat Sembalung, kepada Suara Hidayatullah di penghujung Agustus 2016. Danau itu bernama Segara Anak.

Dulu, kata mantan Kepala Desa Sembalum pada 2005 ini lagi, masyarakat Sembalun percaya bahwa danau itu memiliki keistimewaan. Karena itulah, setiap kali ada upacara pentasbihan seseorang yang akan diangkat menjadi kyai, dilakukan di danau itu.

Pentasbihan dilakukan oleh seorang penghulu adat.  Air danau disiramkan ke tubuh "calon kyai" tadi, lalu resmilah dia menjadi kyai.

Jangan aneh! Itulah warisan adat Waktu Telu. Dalam satu dusun, kata Abdurahman, biasanya diangkat dua atau tiga orang kyai yang akan membantu tugas penghulu. Adapun tugas penghulu adalah memimpin upacara agama dan upacara adat di masjid dan luar masjid. Misalnya, upacara ngurisang, kematian, ngayu-ayu, pertanian, dan metulak.

Abdrurrahman paham betul bagaimana adat Waktu Telu. Ia sendiri pernah mendapat gelar sebagai penghulu adat. Gelar itu diterimnya dari orangtua dan kakek buyutnya yang juga seorang penghulu adat.

Dulu, cerita Abdurrahman, pemeluk Waktu Telu tidak melaksanakan rukun Islam sepenuhnya. Mereka hanya melaksanakan tiga rukun saja, yakni syahadat, shalat, dan puasa.

Syahadat hanya diucapkan pada saat upacara perkawinan. Sedangkan Shalat tidak dilakukan lima kali dalam sehari, melainkan tiga waktu saja, yakni pada hari Jumat, lebaran ---baik Idul Fitri maupun Idul Adkha--- dan pada saat ada orang yang meninggal.

Shalat di hari Jumat pun tidak dilakukan sebanyak lima kali, namun cuma tiga kali saja, yakni ashar, magrib, dan isya. Itu pun tidak dilakukan oleh seluruh pengikut Waktu Telu, namun hanya oleh para kyai dan penghulu saja. Para pengikut cukup membayar zakat dan sedekah kepada mereka.

"Ada yang memberi selimut dan kasur kepada penghulu karena berharap bisa menikmatinya kelak di akhirat," cerita Abdurrahman sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Mereka juga sering menggelar acara Loh Dewa dan Loh Langgar. Dalam acara tersebut, mereka melantunkan doa-doa sebagaimana dilantunkan pemeluk Islam. Para pengikut acara selalu meneriakkan kata “ameen” setiap kali satu doa selesai dibacakan oleh sang penghulu atau kyai adat.

Namun, cerita Abdurrahman, doa-doa itu dibacakan di bawah pohon besar. Bahkan bukan sekadar doa yang dilantunkan, mereka juga membaca al-Qur’an 30 juz secara bergantian di bawah pohon tersebut.
Mush’af al-Qur’an yang dibaca pun bukan sembarang mush’af. Ia terbuat dari kulit onta.

Dalam beberapa perayaan hari besar Islam, tutur Abdurrahman lagi, mereka sering mengiringinya dengaan ogoh-ogoh, semacam sesajen yang ditaruh di atas kepala sebagaimana sering kita lihat pada ritual Hindu di Bali. Agar kuat mengangkat sesajen ini, mereka menjalankan ritual tertentu dengan meminim minuman yang memabukkan. Setelah itu mereka terlihat seperti kesurupan.

Semua sesajen ini kemudian dibawa ke dalam masjid. Sang penghulu membacakan khutbah sekaligus memimpin doa sebagaimana kaum Muslim kebanyakan. Isi doa, meminta kepada Tuhan agar hasil bumi melimpah.

Terkikis Habis

Abdurrahman, yang sempat menimba ilmu dengan sejumlah tokoh Islam di Jakarta seperti Muhammad Natsir, lalu bertekad mengembalikan budaya waktu telu ini kepada Islam yang benar.

Upaya ini tentu tak mudah. Dangkalnya pemahaman agama masyarakat serta kurangnya jumlah dai yang bersedia mengorbankan dirinya untuk berdakwah di Sembalung dan sekitarnya menjadi halangan utama.

Bahkan tak jarang upaya pengembalian ini harus dilakukan dengan cara paksaan. Mahyadi, salah seorang putra kyai adat Desa Rempek, Kabupaten Lombok Utara, menceritakan bagaimana sepak terjang ayahnya saat mengikis habis paham yang salah pada pengikut Waktu Telu.

“Akibat paham yang salah tersebut, pemuda di sini bukan cuma gak pernah shalat, tapi juga gemar mabuk-mabukan,” cerita Mahyadi kepada Suara Hidayatullah saat menemuinya di Desa Rempek, akhir Agustus silam.

Ayahnya lalu membentuk pasukan khusus guna memaksa para pemuda itu menjalankan shalat lima waktu. Pasukan khusus tersebut amat ditakuti. “Banyak pemuda melaksanakan shalat dalam keadaan mabuk karena takut dirazia pasukan khusus,” cerita pria kelahiran tahun 1977 ini.

Kini, kata Mahyadi, pengaruh pemahaman sesat tersebut sudah dikikis habis di Lombok. Di Rampek sendiri, kata Mahyadi, sudah hilang. Padahal dulu Rempek dikenal sebagai salah satu basis pehamanan salah ini.

Abdurrahman juga berpendapat sama dengan Mahyadi. "Alhamdulillah sekarang adat-adat Waktu Telu yang menyimpang sudah kita kikis habis. Sekarang hampir tak ada lagi masyarakat yang ber-Islam seperti itu meskipun nilai-nilai kearifannya tetap kita pertahankan," cerita laki-laki kelahiran 1956 ini.

Sejatinya ajaran Wetu Telu itu luhur. Namun sayang, tutur Abdurrahman lagi, ajaran ini bergeser. Kearifannya menjadi kabur karena kesesatannya. Lalu bagaimana pergeseran ini bisa terjadi? Seperti apa pula nilai-nilai kearifan yang ingin dipertahankan oleh Abdurrahman sebagai pemuka adat di sana?

Mari kita terus telusuri jejak adat ini hingga ke hulu! ***

o0o


Karena Dakwah yang Belum Tuntas


“Suku Sasak sebetulnya beragama Islam,” cerita Abdurrahman, pemuka adat Sembalung, pada suatu pagi di penghujung Agustus 2016. Sasak adalah suku asli masyarakat Lombok.

Sasak berasal dari kata sak, yang berarti “satu” atau “tauhid”.  "Sejak berabad-abad silam, agama yang dianut masyarakat Lombok cuma satu, yakni Islam," kata Abdurrahman lagi.

Sejarah mencatat, Islam masuk ke tanah Lombok sekitar abad ke 16 dan 17 masehi. Agama mulia ini dibawa oleh para pendatang dari beragam daerah, seperti Jawa, Sumatera, Sulawesi, bahkan ada juga dari Gujarat (India), Persia, dan China. Semua pendatang tersebut menganut agama yang satu, yakni Islam.

Namun, sejarah juga mencatat, Islam yang dianut masyarakat Lombok  sempat tercampur dengan Hindu dan budaya anemisme. Ini disebabkan adanya ekspansi kerajaan Bali, yakni Gel-gel dan Karang Asem, pada sekitar abad 18, sekaligus membawa agama Hindu ke pulau ini.

Pencampuran budaya Sasak yang Islam dengan Bali yang Hindu, cerita Abdurrahman lagi, menyebabkan adat Waktu Telu pun ikut bergeser. Ia tak lagi Islami.

Sistem Kepemimpinan

Waktu Telu sebetulnya tidak identik dengan tiga waktu shalat fardhu. Bila ditilik dari sejarah, kata Abdurrahman, istilah Waktu Telu berasal dari Wetu Telu atau Metu Telu.

Ada beragam versi arti Wetu Telu. Ada yang menyatakan “tiga waktu kemunculan,” yakni  melahirkan (menganak), bertelur (menteluk), dan berbiji (mentiuk).

Namun Abdurrahman meyakini, Wetu Telu berarti tiga sistem kepemimpinan, merujuk pada konsep tentang Tuhan, alam, dan manusia. Urusan ke-Tuhanan diserahkan kepada penghulu adat. Urusan alam diserahkan kepada pemangku adat. Sedang urusan sesama manusia diserahkan kepada pencekal (pemegang) adat.

 “Jadi konsep Waktu Telu pada awalnya sangat bagus. Ia mengandung kebijaksanaan luar biasa,” kata Abdurrahman. Tak sekadar mengatur urusan beribadah kepada Allah SWT, juga mengatur urusan dengan sesama mahluk.

Tugas utama penghulu adat adalah memastikan agar masyarakat bisa mengaji dan melaksanakan shalat. Wajib hukumnya masyarakat Sasak belajar al-Qur’an. Para orang tua harus khawatir manakala meninggalkan anak-anak dalam keadaan lemah, tak bisa membaca al-Qur’an, dan tak mau shalat.

Dalam pelaksanaan tugasnya, penghulu adat dibantu oleh kyai-kyai yang disebar ke seluruh kampung. Mereka bertanggungjawab atas pendidikan agama anak-anak di kampung tersebut.

Tugas pemangku adat adalah mengurusi segala hal yang berhubungan dengan alam. Ia dibantu oleh beberapa pemangku, misalnya mangku bumi, mangku gawar, mangku makam, mangku rantemas, dan mangku ketapahani.

Mangku bumi mengurusi segala hal menyangkut tata ruang, perkebunan, persawahan, pemukiman, dan resapan air. Dalam hal perkuburan, misalnya, tak boleh ada kuburan yang dibangun sendiri-sendiri, namun harus mengelompok.

Mangku gawar bertugas mengurusi hutan dan gunung. Siapa saja yang mau masuk hutan, harus minta izin mangku gawar. Ia harus memastikan bahwa tujuan seseorang masuk hutan dan mendaki gunung bukan untuk bersemedi atau mencari kesaktian, tetapi untuk berburu ayam hutan, kijang, rusa, mencari madu, atau menebang pohon.

Dalam hal berburu, tak boleh membunuh rusa yang sedang berkumpul. Rusa yang boleh diburu hanya yang memisahkan diri dari kerumunannya. Sebab, binatang seperti ini biasanya “bermasalah”. Mereka suka mengganggu kelompoknya sendiri.

Dalam hal mengekspoitasi hutan, tak boleh menebang satu pohon sebelum menanam 10 pohon terlebih dahulu. “Jadi, bukan menebang dulu baru menanam,” jelas Abdurrahman.

Menebang pohon pun tak boleh dilakukan sembarangan. Harus dimulai dari ranting, dahan, barulah batang yang lebih besar. Karena itu tak heran bila proses menebng pohon bisa memakan waktu berhari-hari.

Selain menjaga hutan dan gunung, mangku gawar juga bertanggungjawab menjaga situs-situs sejarah yang banyak terdapat di gunung Rinjani.

Mangku makam bertugas mengatur urusan mata air, sumber-sumber air, pertanian, perikanan, peternakan, dan konservasi. Mangku rantemas berfungsi mengurusi segala hal yang hubungan dengan wilayah luar.  Sedang mangku ketapahan atau mangku majapahit, bertugas mengurusi masalah cagar budaya.

Adapun pemekal adat adalah semacam perangkat desa. Ia dibantu oleh para jero tulis, jero urus, jero warah, jero pekemit, dan langlang jagat, atau pasukan penjaga keamanan.

Terkait hubungan antar sesama manusia ini, terdapat banyak pepatah luhur yang dianut masyarakat Sasak. Misalnya, “Jika kamu memungut sabit maka parangmu akan hilang.”

Pepatah ini bermakna larangan bagi masyarakat Sasak mengambil barang yang bukan haknya.  “Siapa saja yang berani mengambil barang orang lain, maka barangnya sendiri juga akan hilang,” jelas Abdurrahman.

Belum Tuntas

Lantas mengapa Islam tak berjalan sempurna hingga muncul pemahaman yang keliru tentang Waktu Telu di Lombok?  Jawabnya, kata Shohibul Anwar, Ketua Departemen Dakwah dan Penyiaran DPP Hidayatullah, selain akulturasi budaya Hindu yang tak bisa dicegah, juga karena dakwah yang belum tuntas di pulau ini.

“Dakwah itu bukan sekadar mengajarkan ritual ibadah kepada masyarakat. Bukan juga sekadar berceramah di atas mimbar. Dakwah itu adalah mengajak masyarakat agar mau menjalankan Islam secara utuh,” jelas Shohibul Anwar kepada Suara Hidayatullah awal Agustus lalu.

Karena prinsip dakwah adalah mengajak, maka ia harus dijalankan dengan cara yang benar, startegi yang jitu, upaya yang sungguh-sungguh, dan kesabaran yang tinggi.

“Dakwah itu harus tuntas! Jangan cuma sebagian yang diajarkan, sedang sebagian lagi tidak,” jelas Shohibul yang ikut dalam perjalanan menelusuri jejak Waktu Telu bersama tim Pos Dai Hidayatullah akhir Agustus lalu.

Belum tuntasnya dakwah, sebetulnya bukan hanya terjadi di Lombok, namun juga terjadi di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Di DKI Jakarta, misalnya, banyak masyarakat Muslim yang tidak shalat di masjid ketika azan berkumandang, tak sedikit yang tidak puasa ketika Ramadhan datang, banyak juga yang tak mau berzakat padahal hartanya sudah sampai nisabnya.

Mahyadi sependapat dengan Shohibul. Ia bercerita bahwa dulu ayahnya seorang kyai adat di Desa Rempek, Kabupaten Lombok Utara, salah satu pusat penyebaran Waktu Telu. Sang ayah menentang keras praktik menyimpang Waktu Telu. Bahkan sempat membentuk laskar khusus untuk menumpas praktik salah tersebut.

Namun, setelah praktik salah tersebut berhasil ditumpas, sang ayah dan para pemuka adat desa justru berselisih pendapat dengan kaum muda yang membawa pembaharuan Islam dari luar Lombok.

“Kami dicurigai ketika mengajak masyarakat menjalankan Islam secara total,” kata Mahyadi.
Ketika ada wanita yang mengenakan jilbab lebar, langsung dicurigai. Begitu juga ketika Mahyadi dan rekan-rekannya menggelar taklim, langsung dituduh membawa aliran sesat.

“Bahkan sekadar mengajak masyarakat shalat berjamaah di masjid saja sulit,” cerita Mahyadi. Ia sendiri sempat diusir dari rumah karena berselisih pendapat tersebut.

Untunglah kini masyarakat Lombok sudah banyak berubah. Kesadaran masyarakat untuk ber-Islam secara benar kian tumbuh. Apalagi kian banyak masyarakat yang menimba ilmu Islam di luar Lombok. 

Namun, dakwah tetap tak boleh berhenti. Tugas para dai masih belum usai hingga suatu hari kelak peradaban Islam bentul-betul terbangun. (Mahladi/Suara Hidayatullah)

(Dimuat di rubrik Laporan Khusus Suara Hidayatullah Oktober 2016)