Senin, 21 November 2016

Kampung Hijrah di Kaki Tambora

Jika Anda kesulitan mencari lahan untuk digarap, datanglah ke kaki Gunung Tambora, Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB). Di sana ada ribuan hektar lahan yang belum tergarap dengan baik.

Kawasan kaki Gunung Tambora yang siap diolah dan dijadikan hunian.

Tapi jangan bayangkan menggarap lahan di sini bakal mudah. Tanah yang berpasir membuat tak semua tumbuhan bisa ditanam di sini. Listrik pun belum menjangkau semua kawasan. Wajarlah bila tak banyak masyarakat yang bersedia menggarap lahan di sini.

Namun tidak bagi Supriyanto, pengasuh Pesantren Hidayatullah Bima, Nusa Tenggara Barat. Keadaan ini justru sebuah tantangan yang harus ditaklukkan. 

Maka, pada Januari 2016, ia dan beberapa ustadz dari Hidayatullah Bima dan Dompu --kabupaten yang bertetangga dengan Bima—menggarap lahan ini. Semak berduri mereka singkirkan. Rumah-rumah sederhana mereka dirikan, termasuk sebuah musholla setengah jadi berukuran 30 meter persegi. Namanya Musholla al-Muhajirin. Dindingnya terbuat dari papan yang disusun meninggi, dan atapnya dari seng.

Dulu, cerita Supriyanto, lahan ini digarap oleh sebuah perusahaan swasta dengan status hak gunaa usaha (HGU). Namun, karena perusahaan tersebut tak kunjung memanfaatkannya, diambil kembali oleh pemerintah setempat.

Lalu Supriyanto meminta izin untuk memanfaatkan lahan tersebut. Pemerintah mengizinkan, bahkan berjanji akan membantu membangunkan infrastruktur bila kelak masyarakat telah banyak menggarap lahan tersebut.

Kini, telah berdiri sekitar 8 rumah sederhana di tempat tersebut. Penghuninya berasal dari beragam daerah di NTB: Bima, Dompu, Sumbawa, dan Lombok. Masing-masing rumah menempati kapling seluas 350 meter per segi, atau sekitar 14 x 25 meter persegi.

Ilyas, salah satu penghuni rumah tersebut, mengaku telah lama ingin berhijrah. “Ketika diajak sama Ustadz Supri (sapaan Supriyanto) pindah ke sini, saya merasa seperti menemukan tempat yang cocok. Di sini hati saya tentram. Ini tanah hijrah,” jelas Ilyas, warga Bima yang pernah tinggal di DKI Jakarta tersebut.

Listrik dari PLN belum masuk ke kawasan tersebut. Air tanah masih sulit didapat, meskipun PH air di kawasan ini amat bagus. Nilainya 9. “Jarang ada daerah yang airnya seperti itu,” kata Ahamd Yasin, salah satu penghuni lahan tersebut.

Seluas mata memandang, yang terlihat hanya hamparan pasir, pohon-pohon yang khas, serta semak-semak berduri. Di sisi utara berdiri kokoh Gunung Tambora, sedang di sisi selatan, beberapa kilometer dari sana, ada laut.

Lahan yang digarap Supriyanto terletak di Perkampungan Baru Oi Rao, Desa Soritatanga, Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu, NTB. Supriyanto bertekad akan terus mengajak masyarakat Muslim untuk tinggal di sini. “Kelak wilayah ini akan menjadi perkampungan Muslim binaan Hidayatullah,” kata Supriyanto akhir Agustus lalu.

Supriyanto sendiri belum tinggal di lahan ini. Ia masih memiliki amanah mengasuh pesantren Hidayatullah Bima yang terletak sekitar 3 jam perjalanan dari lahan ini.

Namun selama dua hari dalam sepekan, ia menyempatkan diri datang ke lokasi untuk membina beberapa warga yang telah menetap di lahan ini.

“Lahan ini untuk ditempati, bukan untuk investasi. Jadi, bila berencana punya lahan di sini, ya harus tinggal di sini, meskipun sementara ini cuma dua hari dalam sepekan,” jelas Supriyanto.

Semoga Allah SWT mengabulkan cita-cita Supriyanto membangun kampung hijrah di kaki Tambora.***



(Dipublikasikan di Majalah Suara Hidayatullah edisi Nopember 2016)