Hai Anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya,
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar (Lukman
[31]: 13)
Belakangan ini orang kerap membandingkan seseorang dengan orang lain. Tujuannya, jika bukan ingin menaikkan "kualitas" salah seorang di antara keduanya, pastilah ingin menjatuhkan yang lainnya.
Kebiasaan membandingakan satu dengan yang lain ini ---dengan tujuan sebagaimana disebut di atas--- tentu keliru. Banyak sekali ayat al-Qur`an dan Hadits Rasulullah SAW yang berpotensi untuk dilanggar olehnya. Ghibah, menjatuhkan orang lain di muka umum, memuji orang secara berlebihan, berdusta, menyakiti perasaan sesama Muslim, adalah aturan dalam Islam yang berpotensi ia langgar.
Namun, membandingkan dua ajaran yang jelas benar dan salahnya, tentu bukan sebuah kekeliruan. Pembandingan seperti ini justru akan menguatkan keyakinan kita bahwa yang benar adalah benar dan yang bathil adalah bathil.
Menjelaskan kebenaran Islam kepada orang awam, misalnya, kita perlu membandingkannya dengan ajaran agama lain. Sebab, memahamkan kepada masyarakat awam tak cukup lewat perkataan, “Ajaran ini berasal dari Allah dan semua ajaran dari Allah pasti sempurna.”
Kita pun bisa memanfaatkan sejarah untuk membandingkan mana sosok yang benar dan baik, serta mana sosok yang salah dan jahat. Al-Qur`an juga kerap membuat perbandingan seperti itu.
Yang konyol adalah jika ada orang yang ingin menaikkan pamor seorang non-Muslim dengan cara membandingkannya dengan seorang Muslim. Perbandingan seperti ini amat tak seimbang.
Kita kerap mendengar celetukan, "Dia memang non-Muslim tapi dia tidak korupsi lho. Bandingkan dengan si fulan yang katanya alim tapi malah terjerat kasus korupsi."
Ada juga yang berceloteh, "Meskipun dia non-Muslim, tapi dia juga berkurban saat Idul Adha. Dia memberangkatkan takmir masjid ke Makkah. Dia juga membayar zakat. Sedangkan kebanyakan kaum Muslim justru pelit dengan sesama saudaranya."
Perbandingan seperti ini ibarat membandingkan volume nyamuk dan gajah agar masyarakat mau mengakui bahwa nyamuk lebih besar dari gajah.
Mungkin saja nyamuk lebih mematikan ketimbang gajah. Gigitan nyamuk bisa menyebabkan penyakit malaria, demam berdarah, atau chikungunya. Namun bukan berarti nyamuk menjadi lebih besar dari gajah hanya karena dia lebih berbahaya. Bukan! Nyamuk tetaplah lebih kecil.
Begitu pun manusia. Mungkin saja seorang Muslim telah melakukan tindak korupsi atau penipuan. Namun, bukan berarti ia lebih zalim ketimbang orang kafir. Sebab, Allah SWT dalam al-Qur'an surat Lukman [31] ayat 13 berkata bahwa syirik adalah kezaliman yang benar-benar besar.
Bila kekafiran menyebabkan seseorang telah berbuat zalim luar biasa kepada Sang Penciptanya, maka bentuk-bentuk kezaliman yang lain menjadi kecil.
Nah, bila kepada Sang Pencipta saja mereka sanggup berbuat zalim, apalah lagi kepada sesama mahluk.
Wallahu a'lam.
(Dimuat di Majalah Suara Hidayatullah edisi September 2016)
o0o
Belakangan ini orang kerap membandingkan seseorang dengan orang lain. Tujuannya, jika bukan ingin menaikkan "kualitas" salah seorang di antara keduanya, pastilah ingin menjatuhkan yang lainnya.
Kebiasaan membandingakan satu dengan yang lain ini ---dengan tujuan sebagaimana disebut di atas--- tentu keliru. Banyak sekali ayat al-Qur`an dan Hadits Rasulullah SAW yang berpotensi untuk dilanggar olehnya. Ghibah, menjatuhkan orang lain di muka umum, memuji orang secara berlebihan, berdusta, menyakiti perasaan sesama Muslim, adalah aturan dalam Islam yang berpotensi ia langgar.
Namun, membandingkan dua ajaran yang jelas benar dan salahnya, tentu bukan sebuah kekeliruan. Pembandingan seperti ini justru akan menguatkan keyakinan kita bahwa yang benar adalah benar dan yang bathil adalah bathil.
Menjelaskan kebenaran Islam kepada orang awam, misalnya, kita perlu membandingkannya dengan ajaran agama lain. Sebab, memahamkan kepada masyarakat awam tak cukup lewat perkataan, “Ajaran ini berasal dari Allah dan semua ajaran dari Allah pasti sempurna.”
Kita pun bisa memanfaatkan sejarah untuk membandingkan mana sosok yang benar dan baik, serta mana sosok yang salah dan jahat. Al-Qur`an juga kerap membuat perbandingan seperti itu.
Yang konyol adalah jika ada orang yang ingin menaikkan pamor seorang non-Muslim dengan cara membandingkannya dengan seorang Muslim. Perbandingan seperti ini amat tak seimbang.
Kita kerap mendengar celetukan, "Dia memang non-Muslim tapi dia tidak korupsi lho. Bandingkan dengan si fulan yang katanya alim tapi malah terjerat kasus korupsi."
Ada juga yang berceloteh, "Meskipun dia non-Muslim, tapi dia juga berkurban saat Idul Adha. Dia memberangkatkan takmir masjid ke Makkah. Dia juga membayar zakat. Sedangkan kebanyakan kaum Muslim justru pelit dengan sesama saudaranya."
Perbandingan seperti ini ibarat membandingkan volume nyamuk dan gajah agar masyarakat mau mengakui bahwa nyamuk lebih besar dari gajah.
Mungkin saja nyamuk lebih mematikan ketimbang gajah. Gigitan nyamuk bisa menyebabkan penyakit malaria, demam berdarah, atau chikungunya. Namun bukan berarti nyamuk menjadi lebih besar dari gajah hanya karena dia lebih berbahaya. Bukan! Nyamuk tetaplah lebih kecil.
Begitu pun manusia. Mungkin saja seorang Muslim telah melakukan tindak korupsi atau penipuan. Namun, bukan berarti ia lebih zalim ketimbang orang kafir. Sebab, Allah SWT dalam al-Qur'an surat Lukman [31] ayat 13 berkata bahwa syirik adalah kezaliman yang benar-benar besar.
Bila kekafiran menyebabkan seseorang telah berbuat zalim luar biasa kepada Sang Penciptanya, maka bentuk-bentuk kezaliman yang lain menjadi kecil.
Nah, bila kepada Sang Pencipta saja mereka sanggup berbuat zalim, apalah lagi kepada sesama mahluk.
Wallahu a'lam.
(Dimuat di Majalah Suara Hidayatullah edisi September 2016)