Senin, 15 Agustus 2016

Rita Hendrawaty Soebagio
Indonesia Darurat Adab dan Moral

Beberapa waktu lalu, media sempat ramai dengan tuntutan persamaan hak kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Berbagai elemen masyarakat menolak karena perilaku ala kaum Nabi Luth AS ini bertentangan dengan nilai-nilai agama dan norma bangsa Indonesia. Para aktivis LGBT akhirnya memilih bungkam.

Salah satu tokoh yang vokal menyuarakan penolakan adalah Rita Hendrawaty Soebagio (47 tahun), Ketua Aliansi Cinta Keluarga (AILA). Rita dan kawan-kawan menghimpun banyak elemen umat Islam untuk bersama-sama menolak tuntutan dari para pelaku seks menyimpang. “LGBT menjadi musuh bersama seluruh gerakan Islam, karena memang jelas dalam agama itu sebuah pelanggaran,” ujar Rita.

Buru-buru Rita mengingatkan bahwa LGBT sesungguhnya hanyalah turunan dari gerakan feminisme dan kesetaraan gender ala liberal Barat. Gerakan yang disebut terakhir ini justru lebih membahayakan karena akan meruntuhkan sendi-sendi keluarga.

Rita mencontohkan, salah satu bahaya dari gerakan feminisme dan kesetaraan gender saat ini adalah menyusupkan “virus” ke dalam naskah akademik draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang diusulkan oleh Komnas Perempuan.

Di dalam draft itu, ketika berbicara seksualitas hanya terkait dengan problem individu. Seksualitas, papar Rita, tidak dikaitkan dalam konteks pernikahan antara laki-laki dan perempuan.

“Seksualitas itu berarti tubuhku kedaulatanku atau my body is my choice. Konteks ini sangat feminis. Sangat berbahaya jika dieksplorasi lebih dalam,” kritik wanita yang juga aktif di Asosiasi Psikologi Islam ini.

Sekarang ini marak fenomena cabe-cabean, sebutan bagi sekelompok wanita muda yang suka berdandan serba mini dan kerap menjual tubuhnya. Menurut pengamatan Rita, itu sebenarnya bagian yang tak terpisahkan dari cara berpikir tadi.

Kata mereka, “Badan ini punya gue, terserah gue dong mau diapain.”  Konsep berpikir semacam itu, terang Rita, tanpa sadar sudah masuk dalam ranah pemikiran generasi muda kita.

Menurut Rita, perlu upaya khusus untuk menyadarkannya. Terlebih pemikiran ini terus diproduksi oleh “pabrik pemikiran” dengan marketing yang canggih dan dibungkus seolah-olah mempunyai nilai kebenaran. “Tapi bagaimanapun upaya penyadaran harus tetap dilakukan, agar persoalan ini tidak semakin besar,” kata Rita.

Negeri ini tengah dilanda persoalan yang begitu besar. Rita mencontohkan, persoalan miras dan pornografi membawa Indonesia dalam kondisi darurat adab dan moral. Kasus perkosaan Yuyun yang berujung pada pembunuhan beberapa waktu lalu, menjadi peringatan bahwa Indonesia menuju kondisi darurat.

Bagaimanakah kondisi darurat itu? Rita menggambarkan secara panjang lebar kepada wartawan majalah Suara Hidayatullah, Ahmad Damanik dan Mahladi, serta fotografer, Muh Abdus Syakur dalam perbincangan di kediamannya daerah Tangerang Selatan, Banten.

Berikut ini petikan wawancaranya. Selamat membaca.*

o0o

Anda mengatakan Indonesia dalam kondisi darurat adab dan moral. Bagaimana gambarannya?

Banyak fakta dan data yang memprihatinkan, yang pada ujungnya menjelaskan ada problem adab dan moral di tengah masyarakat kita. Tak hanya pada anak-anak, tapi hampir di semua lapisan. Salah satu alasan lahirnya AILA adalah karena kegelisahan akan adanya problem tersebut. Menurut kami, problem itu lahir dari disfungsi keluarga. Ayah yang tidak berperan, ibu yang tidak berperan, akhirnya anak yang menjadi korban.

Terlalu banyak dan lelah membahas hal-hal yang tidak bermoral itu. Namun, kami terus bergerak dalam dua sisi: pertama, membina keluarga agar bisa sakinah, mawaddah, warahmah. Kedua, mendeteksi secara dini pemikiran yang merusak proses pembinaan keluarga. Salah satunya pemikiran feminisme liberal.

Apa yang dimaksud fakta yang memprihatinkan itu?

Belakangan ini kami fokus terhadap kejahatan seksual. Dari survei pada tahun 2013 yang dilakukan oleh Kementerian Perempuan, Bappenas, dan beberapa lembaga lainnya, ternyata 1 dari 12 anak laki-laki mengalami kekerasan seksual dan 1 dari 18 anak perempuan mengalami kekerasan seksual. Artinya, kejahatan seksual mengancam anak-anak kita. Fakta lainnya kasus perceraian yang kian meningkat. Ini juga tidak kalah memprihatinkan.

Terlepas dari kasus itu semua, yang terpenting bagaimana melakukan tindakan preventif (pencegahan).

Seperti apa tindakan pencegahan yang bisa dilakukan?

Ketika Pemerintah memberlakukan Perpu Kebiri, lalu DPR RI ramai mengusung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, semua itu berfokus pada perlindungan korban. Tapi pencegahannya lupa dipikirkan. Yaitu dengan mengupayakan penguatan ketahanan keluarga. Keluarga yang punya imunitas dalam menghadapi persoalan dan ujian yang dihadapi.

Saya membina lembaga konseling. Beberapa di antara mereka yang konsultasi kepada saya rata-rata diakibatkan tidak mempunyai daya tahan yang cukup ketika menghadapi persoalan. Ada lelaki yang tidak tahu bagaimana mengatur istri, ada istri yang tidak tahu bagaimana menghadapi suami. Jadi ketika datang ujian, tidak tahan dengan ujian. Apalagi dengan pria bekerja, istri bekerja, dan menghadapi persoalan anak.

Ada pemikiran yang merusak tatanan keluarga. Seperti apa yang Anda maksudkan?

Saya kira ada keluarga yang terancam oleh pemikiran dan gaya hidup yang merusak. Misalnya feminisme dan kesetaraan gender yang turunannya adalah LGBT. Gerakan itu selalu menjadi satu.

Saat ini Anda aktif mengkritisi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Poin apa yang disoroti?

Dalam naskah akademik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ada agenda lain yang sengaja disusupkan. Misalnya ada kata “Perbudakan Seksual” yang turunannya adalah melayani rumah tangga. Saya bilang kepada anggota parlemen, “Apakah ketika saya bekerja di rumah melayani rumah tangga saya, itu berarti dianggap diperbudak?” Namun mereka mengelak, mengalihkan istilah itu pada makna human trafficking (perdagangan manusia).

Makanya, kami mengusulkan kata “kekerasan” diganti dengan kata “kejahatan”, sebab kata “kejahatan” sudah masuk wilayah terminologi kriminal. Mereka (kaum liberal) kadang bermain pada level terminologi.

Apakah memang ada indikasi kesengajaan?

Saya ingin membangun kesadaran berbagai pihak, baik anggota DPR maupun ormas Islam, bahwa kaum liberal sudah lama mencari celah untuk masuk melalui legislasi. Ketika RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) tidak bisa masuk, mereka berusaha masuk dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Bagi mereka ini momentum untuk bicara kekerasan seksual versi liberal Barat tanpa kritik. Kelihatan sekali dari terminologi yang digunakan.

Seperti apa misalnya?

Misalnya ada kata “kontrol seksual”, termasuk di dalamnya mengatakan melarang orang berpakaian tertentu. Lalu, kalau kita orangtua menyuruh anaknya berjilbab apakah berarti termasuk dalam kekerasan seksual? Ini yang masih multitafsir dalam RUU tersebut. Ujung-ujungnya mereka menyerang nilai-nilai Islam.

Ini kadang yang tidak cukup dipahami oleh anggota dewan dan ormas Islam. Apalagi mereka pintar untuk menggiring opini melalui media mainstream. Kita bersyukur dengan adanya media-media Islam online yang cukup menggiring opini di umat Islam.

Apa yang menjadi motif mereka ingin meguasai melalui legislasi?

Sebenarnya semua ini karena Indonesia sudah terikat dengan konvensi yang sudah diratifikasi sejak tahun 1984. Konvensi itu bernama Convention of Ellimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), yaitu sebuah kesepakatan hak azasi internasional yang secara khusus untuk mengatur diskriminasi terhadap perempuan. Dari situlah lahir UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), UU Perlindungan Anak, dan lain-lain.

Bisa Anda contohkan salah satu turunan dari konvensi itu yang kini jadi perundangan?

Ketika lahir UU Kesehatan Reproduksi. Kita jangan cukup senang dengan adanya tempat menyusui di mall. Bukan sekadar itu, karena sejatinya ada agenda yang sengaja dimasukkan. Kesehatan reproduksi seolah-olah positif. Di dalamnya ada kebebasan untuk memilih hak-hak reproduksi. Artinya, boleh memilih untuk hamil atau tidak. Maka turunan dari UU Kesehatan Reproduksi kan ada Perpu Aborsi. Itu yang tidak disadari. Mereka memang sangat aktif untuk membuat UU, mengawalnya, bahkan aktif melobi.

Menurut Anda mengapa mereka begitu kuat melobi?

Satu, karena mereka sangat intesif untuk menyampaikan apa yang mereka yakini. Kedua, masyarakat dan anggota parlemen banyak yang tidak konsen dalam hal ini.

Menurut Anda dengan gawatnya situasi tersebut, langkah-langkah apa yang harus dilakukan?

Permasalahan kita sudah dari hulu ke hilir. Kita perlu membuat pemetaan masalah bersama-sama. Itulah makanya saya mendorong lahirnya Gerakan Indonesia Beradab (GIB), tempat berkumpulnya 200 lebih akademisi yang mempunyai kepedulian dan bergerak di bidang pemikiran. Itu pun ternyata tidak mudah untuk merumuskan langkah-langkah yang harus dilakukan.

Tapi nampaknya sudah mendulang sukses ketika “memukul” LGBT...

Memang saat ini kita menjadikan itu musuh bersama. Menyatukan ormas Islam pun mudah ketika itu. Tapi ketika ini sudah selesai, ya selesai juga. Padahal ada hal lain yang lebih besar di balik itu yang juga harus diselesaikan.

Apakah pemetaan itu sudah dilakukan?

Saya mendorong GIB untuk melakukan hal itu. GIB tak perlu ke ranah aksi. Sementara kami di AILA mengambil posisi untuk mengawal di legislasi, karena memang tidak banyak yang melakukan itu. Salah satunya perkembangan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Kami dituntut untuk membuat naskah akademik dan RUU alternatif yang akan diadu dengan yang diajukan oleh Komnas Perempuan.

Anda yakin bisa menang melawan itu dengan kondisi seperti ini?

Alhamdulillah, teman-teman para pemikir dan akademisi bersedia terlibat dalam pembuatan naskah akademik. Saya bilang, kita tetap harus realitis, karena mereka sudah melobi sejak bertahun-tahun.

Ini hanya ikhtiar saja, karena ini bagian dari nahi munkar. Apa pun hasilnya. Meski nanti akhirnya mengambil jalan tengah, paling tidak kita tidak kelolosan sama sekali.

Dengan kondisi keterbatasan kita, apakah tidak sebaiknya kita memilih hal yang paling urgen untuk dibenahi?

Kalau saya lihat, semuanya menjadi urgen. Mungkin urgen bagi kami, bagi kelompok lain belum tentu urgen. Tapi bagi kami, kalau kita abaikan peran mereka di legislasi, pergerakannya bisa lebih massif karena dilindungi undang-undang. Kalau di lapangan ada yang menolak, mereka akan memakai undang-undang untuk mengatasi yang ada di lapangan.

Maka, berbagi tugas itu menjadi prioritas. Dari situ kita akan tahu bahwa setiap peran kita menjadi penting. Jangan sampai ada penilaian, “Ini lho yang lebih penting dibandingkan kerjaan kalian.”

Bahkan yang bertugas di bagian pemikiran seperti INSISTS, tidak bisa diabaikan. Sekecil apa pun juga mempengaruhi dan membingkai tema-teman yang bekerja di lapangan. Jangan mengecilkan teman-teman yang sedang berpikir. Bukan berarti mereka tidak bergerak.

Apa dampaknya jika mengabaikan pergerakan mereka di legislasi?

Wacana pemikiran yang mereka gulirkan mempunyai kekuatan dan gerakan yang sistematis. Sehingga daya serangnya tidak hanya di bagian atas, tapi juga sampai ke lapisan masyarakat bawah. Bahkan di semua level, termasuk level pendidikan pun mereka masuki melalui tafsir-tafsir gender di fakultas pendidikan maupun agama. Kemudian lewat jalur perundang-undangan, lewat politik anggaran, sampai ke desa-desa pun sudah ada.

Kalau kita mencoba mengidentifikasi musuh, siapa yang Anda maksud?

Program-program perempuan yang dihasilkan dari produk CEDAW yang sudah diratifikasi Indonesia. Yang buat itulah musuh-musuh kita. Mengapa mereka memaksakan ke dunia Islam, sementara Amerika tidak pernah meratifikasinya? Bahkan ulama saja sudah memberikan peringatan, karena beginilah bahayanya.

Menurut Anda orientasi semata bisnis atau ideologi dari upaya kerja mereka?

Orang-orang yang melakukan ini berangkat dari ideologi. Termasuk ketika LGBT, itu adalah bagian dari ideologi. Kalaupun di dalamnya ada yang mengiringi dengan bisnis, tapi itu karena ideologi mereka.*

o0o

Ibu rumah tangga. Itu jawaban Rita Hendrawaty Soebagio jika ditanya banyak orang tentang profesi sesungguhnya.

Kesibukan alumnus pascasarjana Program Islam dan Psikologi Universitas Indonesia ini dalam berbagai pergerakan Muslimah, baik dalam wilayah pemikiran maupun praktis, tak membuatnya lupa fitrah terkait aktivitas di rumah. Ia juga tak mau jauh-jauh dari tiga buah hatinya: Syarafina Alaiadita Ajna, M Ismail al-Faruqi, dan M Ishaq al-Ayyubi.

Rita mengakui kadang ada keterbatasan ketika hendak bergerak. “Misalnya menjelang Lebaran lalu, saya diminta untuk berkumpul di DPR RI, terpaksa saya tidak bisa hadir. Maklumlah ibu rumah tangga tanpa ada pembantu,” ujarnya.

Meski ada keterbatasan, Rita mengakui peran seorang ibu yang tak kalah penting dalam pergerakan Islam. Seperti yang dijalaninya bersama Komunitas Muslimah untuk Kajian Islam (KMKI), sebuah lembaga yang menghimpun beberapa majelis taklim ibu-ibu di Jakarta. Ibu-ibu majelis taklim yang kebanyakan berlatar belakang pengusaha ini diarahkan untuk membantu gerakan Islam secara finansial.

“Hanya sedikit di antara ibu-ibu itu yang bisa terjun langsung ke gerakan praktis. Oleh karena itu, kami mengarahkan untuk membantu secara finansial,” kata istri dari Rudi Rusmadi ini.

Rita mengaku bersyukur bisa menjadi bagian dalam pergerakan Islam. Meski diakuinya tergolong yang belakangan hadir dalam gerakan Muslimah. Rita berupaya keras untuk mengejar ketertinggalan itu.

“Saya senang terlibat dalam gerakan Islam, baik di tingkat pemikiran maupun praktis,” kata salah satu pembina di The Center for Gender Studies (CGS) dan Peduli Sahabat, lembaga yang aktif membina para mantan homoseksual.


o0o

Sejak kapan Anda mulai aktif dalam berbagai gerakan Islam?

Saya termasuk orang yang belakangan masuk dalam pergerakan ini dibandingkan teman-teman lain. Baru sekitar 15 tahun belakangan. Ketika kuliah saya hanya aktif dalam organisasi sosial dan senat. Ketika kerja pun hanya aktif dalam kegiatan sosial.

Seiring dengan semakin banyaknya belajar Islam, maka harus ada yang lebih untuk dilakukan. Kemudian kami melangkah jauh melakukan bakti sosial di tempat rawan pemurtadan dan kristenisasi seperti di Malang, Merapi Merbabu, Ambon, dan Papua.

Bagaimana awalnya Anda terdorong untuk terlibat dalam gerakan Muslimah?

Saya rasa ini adalah panggilan iman. Iman, ilmu, dan amal itu sudah satu paket yang tidak bisa dipisahkan. Ketika bertambah ilmu, maka semestinya bertambah iman dan bertambah amal. Ketika beberapa tahun duduk di majelis taklim, maka kami merasa tak cukup duduk di majelis taklim. Kami harus mengamalkan ilmu kami.

Sepertinya Anda aktif di berbagai lembaga gerakan Islam?

Ya banyak menanyakan itu, kenapa saya bergerak di dunia praktis dan pemikiran. Saya selalu bilang bahwa harus mengejar banyak ketertinggalan dari orang-orang yang lebih lama aktif dalam pergerakan Islam. Lebih dari itu saya berusaha mengenal lembaga lain untuk memahami gerakannya.

Meski begitu, bukan berarti saya paling bisa. Tapi saya merasa bahwa memang tidak banyak orang yang bergerak dalam wilayah itu. Di samping itu juga karena saya membutuhkan ruang untuk berbuat semaksimal mungkin untuk Islam.

Apakah ada tuntutan dari kawan-kawan untuk meninggalkan salah satu gerakan yang diikuti?

Ya kadang ada tuntutan dari teman-teman untuk meninggalkan salah satunya. Hanya saja saya merasa, kalau ditinggalkan teman seperjuangan rasanya tidak enak. Ya paling tidak keberadaan saya bisa saling menguatkan, itu saja sudah sesuatu yang berharga.

Lalu bagaimana Anda membagi waktu?

Saya mencoba membagi prioritas. Di yayasan saya sudah tidak terlalu terlibat teknis dan tidak memerlukan hal yang sifatnya strategis. Tapi kalau yang di lembaga lain sifatnya strategis, masih perlu tukar pikiran, biasanya membutuhkan kehadiran kita.

Bagaimana Anda mengatasi rasa lelah dalam segala aktivitas tersebut?

Kalau lelah sih manusiawi. Pasti ada. Tapi saya sudah menikmati berbagai dinamika ini. Kalau lelah fisik sih tidak, tapi kadang lelah juga menghadapi tipikal orang yang suka berbeda-beda.

Bagaimana dengan membagi waktu antara aktivitas Anda di luar dan urusan keluarga?

Alhamdulillah, keluarga terutama suami sangat mendukung, baik dari segi finansial maupun izin. Sehingga saya bisa bergerak ke daerah tanpa didampingi. Yang paling utama, suami memberikan izin. Tapi sekali lagi ini soal prioritas. Waktu-waktu tertentu saya tidak bisa kemana-mana, karena tidak punya pembantu di rumah.

Pernah mendapatkan ancaman selama Anda aktif dalam berbagai gerakan selama ini?

Yang pernah saya alami ketika menentang pendirian sekolah Kristen di sekitar kompleks perumahan saya. Saya berhadapan dengan pengembang dan preman-preman yang mengancam secara langsung, bahkan juga fitnah di kampung-kampung sekitar kompleks. Saya dianggap bergerak atas biaya gereja. Ketika itu saya merasa ketakutan, sampai tidak bisa tidur.

Saat itu kasusnya sampai ke pengadilan. Dari situ saya juga mendapatkan pengalaman bahwa keberanian bersikap dan bertindak tidak dimiliki oleh semua orang. Bahkan ketika berhadapan dengan politisi, tidak juga dari partai Islam yang berani bersikap dan bertindak.

Apa harapan Anda terhadap gerakan-gerakan Muslimah saat ini?

Saya sih berharap gerakan-gerakan Muslimah ini lebih bergerak di tataran praktis. Mereka adalah penjaga paling depan dari berbagai kerusakan. Gerakan Muslimah lebih banyak bergerak di sisi kultural, karena mereka bergerak ke bawah dalam penguatan keluarga. Ini sangat penting peranannya.

Saya juga berharap gerakan Muslimah lebih bisa memahami persoalan di tataran filosofis. Di level ini yang banyak dirusak oleh berbagai kalangan.*

(Dimuat di Majalah Suara Hidayatullah edisi Agustus 2016)