Sabtu, 09 Juli 2016

Etika Kain Sarung

JUMAT, 8 Juli 2016, di sebuah masjid berkapasitas sekitar 200 jamaah, di tengah-tengah kampung Pulo Air, Sukabumi, Jawa Barat, saya merasa risih sendiri. Mengapa?


Siang itu, ketika hampir memasuki tengah hari, saya telah mengenakan baju koko, celana panjang rapi, serta berkopiah. Saya telah memasuki masjid tersebut sebelum khatib naik mimbar. Shalat Jumat tentu belum berlangsung.

Pakaian yang saya kenakan amat layak untuk ukuran masjid-masjid besar di Jakarta. Setidaknya saya jauh lebih sopan ketimbang anak-anak muda yang kerap kita jumpai hanya berkaos oblong dan celana jeans saat shalat di masjid-masjid di ibukota. 

Tapi siang itu saya merasa risih sendiri. Saya menjadi pusat perhatian jamaah masjid kampung tersebut. Mereka memandangi saya dengan perasaan aneh. Apa yang salah?

Ternyata hanya saya yang mengenakan celana panjang di sana. Sedang seluruh jamaah lain ---setidaknya sepanjang penglihatan saya--- mengenakan kain sarung. Bahkan anak-anak pun tak ada yang mengenakan celana panjang. Mereka semua berkain sarung, mengenakan baju koko (baju takwa) dan berkopiah. Sangat rapi.

Rupanya ada etika yang tak saya tahu di kampung ini: mengenakan kain sarung ketika shalat. Saya sendiri tentu tak bisa berkain sarung karena sedang dalam perjalanan dan tak menyiapkan sebelumnya. Jadi, ketika saya mengenakan celana panjang ---bukan celana jeans--- saya otomatis terkategori pelanggar etika. Ya ... etika.

Di negara asalnya, Yunani Kuno, etika memiliki bentuk tunggal, yakni ethos. Artinya, kebiasaan/adat, watak, perasaan, sikap, atau cara berpikir. Ahli filsafat kemudian mengartikan etika sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.

Jadi, etika tentu berhubungan erat dengan wilayah. Artinya, kebiasaan/adat istiadat satu wilayah bisa saja berbeda dengan kebiasaan di wilayah lain.

Bahkan, kita pun mengenal istilah kode etika dalam organisasi profesi. Masing-masing organisasi memiliki kode etik yang berbeda-beda. Tidak sama.

Dalam bahasa Arab kita mengenal istilah adab. Maknanya kurang lebih sama (meskipun ada juga beberapa penafsir yang mengartikannya berbeda). Adab dan etika sama-sama berkaitan dengan akhlak. 

Perkataan adab kerap disebut-sebut ulama dalam kitab dan nasehat-nasehat mereka. Imam Malik, misalnya, pernah berkata kepada seorang pemuda Quraisy, "Pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu!"

Ibnul Mubarok juga berkata, "Kami mempelajari adab selama 30 tahun, sedangkan kami mempelajari ilmu hanya 20 tahun."

Kembali kepada cerita "kain sarung" tadi. Tentu tak ada yang salah dengan apa yang saya kenakan. Tak ada syariat yang saya langgar, tak ada pula kebiasaan pribadi yang saya tabrak.

Namun akan lebih baik bila saya mengikuti etika yang berlaku di suatu wilayah asalkan tak menyelisihi adab Islam. Itulah yang diajarkan ulama pada kita.

Wallahu a'lam