Senin, 17 Agustus 2015

Menyebut Nama Allah

Seorang anak muda pernah bertanya padaku usai aku mengisi pelatihan jurnalistik pada Juli silam. "Maaf Pak," katanya memulai pertanyaan, "Bolehkah saya minta nomor hp (handphone) Bapak?"

"Boleh." Aku menjawab seraya melirik diam-diam ke layar hp milik anak muda itu. Aku ingin tahu apa yang ia tulis setelah aku menyebutkan 11 angka nomor ponsel (telepon seluler) milikku?

Rupanya ia menulis kata "Pak" di awal namaku, baru kemudian mengetikkan namaku dan 11 nomor ponselku.

Aku tersenyum membayangkan bagaimana ia akan mencari namaku dalam list nama-nama orang yang telah disimpan di ponselnya? Sebab, awal namaku dalam ponsel itu bukan lagi M namun berganti menjadi P. Mungkin kelak ia akan kesulitan, pikirku.

Seorang teman, di hari yang lain, pernah bercerita tentang hal yang sama. Katanya, ia pernah meminta nomor ponsel imam masjid yang ada di kompleksnya kepada salah seorang jamaah masjid tersebut.

Sang jamaah masjid itu kemudian sibuk mencari nomor ponsel yang diminta. Tak berapa lama, ia menyerah, meskipun ia sangat yakin telah mencatat nomor itu di ponselnya.

Temanku ini penasaran lalu meminta izin untuk membantu mencari nama imam masjid yang ia minta. Satu persatu ia memelototi deretan nama di ponsel milik sang jamaah tadi.

Barulah ia tahu mengapa sang jamaah sulit menemukan nomor ponsel yang ia minta. Ternyata di depan nama imam masjid tersebut telah tertera kata panggilan "Pak Ustad".

Temanku lalu bertanya, mengapa jamaah tadi menuliskan panggilan kehormatan itu padahal jika sapaan kehormatan itu ia hilangkan, sang imam masjid tak mungkin tahu?

Jawab sang jamaah, ia sungkan jika harus menulis nama sang imam tanpa terlebih dahulu menuliskan sapaan "Pak Ustad". Lagi pula, katanya, sapaan Pak Ustad sudah sangat akrab di telinganya ketika menyebut nama imam masjid tadi.

Fenomena ini menarik untuk kita renungkan. Banyak orang merasa sungkan kepada orang yang ia hormati dan ia kenal baik. Menyebut atau menuliskan namanya saja, mereka tak ingin sembarangan. Sebab, yang terbayang di benak mereka adalah sosok yang hebat, terhormat, dan baik. Hati mereka selalu ingin menyematkan panggilan kehormatan di depan nama orang tersebut.

Bahkan, beberapa di antara kita akan marah jika ada orang lain yang menyebut nama orang yang kita hormati tanpa diembel-embeli sebutan kehormatan tadi. Orang yang menyebut itu akan kita cap lancang, bahkan kurang ajar.

Sayangnya, perasaan yang sama sulit kita jumpai ketika kita menyebut nama Sang Khaliq. Jujur saja, apa yang terlintas di benak ketika mulut kita menyebut asma Allah? Atau, ketika telinga mendengar sebutan Allah azza wa jalla? Apakah terbesit perasaaan takut, takzim, penuh harap, atau penuh cinta?

Barangkali sebagian dari kita menjawab biasa-biasa saja. Buktinya, kecurangan, kemaksiatan, kezaliman, tetap meraja lela di negeri ini meskipun telah berpuluh kali –bahkan beratus kali—kita menyebut nama Allah SWT, baik dalam shalat, doa, zikir, atau tilawah

Padahal, kita telah lama tahu bahwa Allah SWT adalah Zat yang Maha Pemurah (ar-Rahman), Maha Menguasai (al Malik), Maha Mengawasi (al-Muhaimin), Maha Perkasa (al-Qahhar), Maha Merendahkan (al-Muzil), Maha Pencipta (al-Badi), dan Yang Mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan (Dzul Jalal Wal Ikram).

Jangan-jangan selama ini kita tidak benar-benar mengenal Allah SWT. Jangan-jangan iman kita selama ini belum kuat. Kita telah mengenal Allah SWT namun kita belum benar-benar mengimani-Nya.

Sebab, kata Allah SWT dalam al-Qur'an surat Al-Anfal [8] ayat 2, “ Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah maka gemetarlah hati mereka…”

Mari tumbuhkan iman di dalam dada kita. Iman adalah obat hati. Allah SWT berfirman dalam Ar Ra’d [13] ayat 28, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan zikir hati menjadi tentram.”

Wallahu a’lam