Suatu hari Rasulullah SAW melihat ada lembaran Taurat di tangan Umar bin
Khaththab ra. Beliau marah dan berkata kepada Umar, "Apakah engkau
dalam keraguan, wahai Umar?" (Musnad Imam Ahmad 3/387 dan Sunan Ad
darimi dalam mukadimahnya 435)
Menilik kisah ini, kita tentu bertanya, apa yang menyebabkan Rasulullah saw merasa khawatir melihat Umar membaca Taurat? Padahal, kita tahu, Umar adalah salah satu sahabat pilihan. Mudharat apa yang akan ditimbulkan bila sahabat sekelas Umar membaca Taurat?
Syaikh Ibnu Baz mengatakan, kaum Muslim memang harus mengimani seluruh kitab-kitab Allah SWT. Namun, kitab Taurat yang ketika itu berada di tangan Umar sudah banyak perubahan yang dilakukan oleh manusia.
Karena itu, kata Bin Baz, membacanya amat berbahaya. Terkadang isinya mendustakan kebenaran, terkadang lagi membenarkan kebathilan.
Kita bisa menarik dua hal penting dalam peristiwa ini. Pertama, dampak tulisan begitu hebat. Ia bisa mempengaruhi pemahaman seseorang. Bila sahabat sekelas Umar bin Khaththab saja, oleh Nabi, dikhawatirkan bisa terpengaruh tulisan yang ada di Taurat, maka bagaimana dengan orang biasa seperti kita?
Hal kedua, ada banyak kemungkinan artikel-artikel yang sejatinya baik, lalu "dimodifikasi" sedemikian rupa oleh "para oknum" sehingga hilanglah nilai kebaikannya, bahkan ia berubah wujud menjadi tulisan amat berbahaya.
Modifikasi tersebut, bila menyitir perkataan syaik Bin Baz, bisa berupa "mendustakan kebenaran", atau "membenarkan kebathilan."
Sekarang ini, di era kebebasan informasi yang begitu hebat, kedua hal tadi telah bertambah-tambah kuantitas dan kualitas berbahayanya. Dalam hal kuantitas, misalnya, media publikasi saat ini jauh lebih banyak ragam jenisnya di banding pada masa dahulu kala. Bahkan, sekarang ini, aktivitas publikasi bisa dilakukan oleh siapa saja.
Dulu, sekitar 15 hingga 20 tahun yang lalu, amat sulit mempublikasikan karya tulis yang kita buat dengan susah payah. Berpuluh kali kita kirimkan karya tersebut ke media cetak, tapi berpuluh kali pula karya itu ditolak. Akhirnya, karya itu hanya bias dinikmati oleh kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita.
Tapi saat ini, jendela dunia seakan-akan telah berada dalam genggaman setiap orang. Siapa saja, entah dia berilmu atau bodoh, kaya atau miskin, tua atau bocah, bisa mempublikasikan karya tulisnya. Bahkan, karya tersebut tak sekadar dibaca oleh penduduk Indonesia saja, tapi penduduk dunia. Tak perlu repot. Cukup dengan satu klik!
Di sisi lain, informasi saat ini sudah demikian gampang diakses. Kapan saja dan di mana saja. Bahkan, informasi telah menghilangkan batas-batas negara, melebur beragam budaya, bahkan bisa mengaburkan nilai-nilai agama.
Dalam hal kualitas, kadar bahaya yang ditimbulkan oleh tulisan tak sekadar memodivikasi isi kitab suci, malah juga menghina dan menistakan kitab suci, serta para Rasul yang telah membawa dan menjelaskan isi Kitab Suci tersebut. Lihatlah surat kabar mingguan Perancis, Charlie Hebdo, yang barkali-kali menistakan Rasulullah SAW.
Di Indonesia, ada juga media yang berani terang-terangan menistakan sunnah Rasulullah SAW. Beberapa waktu lalu, misalnya, sebuah situs media liberal mempublikasikan pernyataan salah seorang tokoh media tersebut bahwa Hadist Nabi SAW sudah tak relevan lagi untuk kondisi saat ini.
Sang penulis megutip dua Hadits yang berisi tentang adab makan dan minum dalam Islam. Kedua Hadits ini agaknya sengaja dipilih sebagai reaksi atas kritikan masyarakat kepada Presiden Jokowi yang dalam sebuah foto terlihat minum sambil berdiri dan menggunakan tangan kiri.
Hadits pertama berbunyi, “Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian minum sambil berdiri. Apabila ia lupa hendaknya ia muntahkan,” (Riwayat Muslim). Hadis kedua berbunyi, “Jika seseorang dari kalian makan, makanlah dengan tangan kanannya. Dan jika kalian minum, minumlah dengan tangan kanannya, karena setan makan dengan tangan kirinya,” (Riwayat Muslim).
Menurut sang tokoh media tersebut, “Hadis semacam ini tak perlu diikuti karena alasan rasional: tidak masuk di akal! Apa urusannya Allah melarang orang makan sambil berdiri atau pakai tangan kiri? Membayangkan bahwa ada setan yang makan dengan tangan kirijuga sama absurdnya.”
Na'udzubillah minzalik. Begitulah gambaran media-media kita. Selayaknya kita merasa khawatir dengan keadaan ini sebagaimana khawatirnya Rasulullah SAW saat melihat Umar, sahabatnya, memegang Kitab Taurat.
Semoga Allah SWT melindungi diri kita, keluarga kita, serta seluruh kaum Muslimin dari bahaya yang ditimbulkan oleh tulisan-tulisan tersebut.
Menilik kisah ini, kita tentu bertanya, apa yang menyebabkan Rasulullah saw merasa khawatir melihat Umar membaca Taurat? Padahal, kita tahu, Umar adalah salah satu sahabat pilihan. Mudharat apa yang akan ditimbulkan bila sahabat sekelas Umar membaca Taurat?
Syaikh Ibnu Baz mengatakan, kaum Muslim memang harus mengimani seluruh kitab-kitab Allah SWT. Namun, kitab Taurat yang ketika itu berada di tangan Umar sudah banyak perubahan yang dilakukan oleh manusia.
Karena itu, kata Bin Baz, membacanya amat berbahaya. Terkadang isinya mendustakan kebenaran, terkadang lagi membenarkan kebathilan.
Kita bisa menarik dua hal penting dalam peristiwa ini. Pertama, dampak tulisan begitu hebat. Ia bisa mempengaruhi pemahaman seseorang. Bila sahabat sekelas Umar bin Khaththab saja, oleh Nabi, dikhawatirkan bisa terpengaruh tulisan yang ada di Taurat, maka bagaimana dengan orang biasa seperti kita?
Hal kedua, ada banyak kemungkinan artikel-artikel yang sejatinya baik, lalu "dimodifikasi" sedemikian rupa oleh "para oknum" sehingga hilanglah nilai kebaikannya, bahkan ia berubah wujud menjadi tulisan amat berbahaya.
Modifikasi tersebut, bila menyitir perkataan syaik Bin Baz, bisa berupa "mendustakan kebenaran", atau "membenarkan kebathilan."
Sekarang ini, di era kebebasan informasi yang begitu hebat, kedua hal tadi telah bertambah-tambah kuantitas dan kualitas berbahayanya. Dalam hal kuantitas, misalnya, media publikasi saat ini jauh lebih banyak ragam jenisnya di banding pada masa dahulu kala. Bahkan, sekarang ini, aktivitas publikasi bisa dilakukan oleh siapa saja.
Dulu, sekitar 15 hingga 20 tahun yang lalu, amat sulit mempublikasikan karya tulis yang kita buat dengan susah payah. Berpuluh kali kita kirimkan karya tersebut ke media cetak, tapi berpuluh kali pula karya itu ditolak. Akhirnya, karya itu hanya bias dinikmati oleh kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita.
Tapi saat ini, jendela dunia seakan-akan telah berada dalam genggaman setiap orang. Siapa saja, entah dia berilmu atau bodoh, kaya atau miskin, tua atau bocah, bisa mempublikasikan karya tulisnya. Bahkan, karya tersebut tak sekadar dibaca oleh penduduk Indonesia saja, tapi penduduk dunia. Tak perlu repot. Cukup dengan satu klik!
Di sisi lain, informasi saat ini sudah demikian gampang diakses. Kapan saja dan di mana saja. Bahkan, informasi telah menghilangkan batas-batas negara, melebur beragam budaya, bahkan bisa mengaburkan nilai-nilai agama.
Dalam hal kualitas, kadar bahaya yang ditimbulkan oleh tulisan tak sekadar memodivikasi isi kitab suci, malah juga menghina dan menistakan kitab suci, serta para Rasul yang telah membawa dan menjelaskan isi Kitab Suci tersebut. Lihatlah surat kabar mingguan Perancis, Charlie Hebdo, yang barkali-kali menistakan Rasulullah SAW.
Di Indonesia, ada juga media yang berani terang-terangan menistakan sunnah Rasulullah SAW. Beberapa waktu lalu, misalnya, sebuah situs media liberal mempublikasikan pernyataan salah seorang tokoh media tersebut bahwa Hadist Nabi SAW sudah tak relevan lagi untuk kondisi saat ini.
Sang penulis megutip dua Hadits yang berisi tentang adab makan dan minum dalam Islam. Kedua Hadits ini agaknya sengaja dipilih sebagai reaksi atas kritikan masyarakat kepada Presiden Jokowi yang dalam sebuah foto terlihat minum sambil berdiri dan menggunakan tangan kiri.
Hadits pertama berbunyi, “Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian minum sambil berdiri. Apabila ia lupa hendaknya ia muntahkan,” (Riwayat Muslim). Hadis kedua berbunyi, “Jika seseorang dari kalian makan, makanlah dengan tangan kanannya. Dan jika kalian minum, minumlah dengan tangan kanannya, karena setan makan dengan tangan kirinya,” (Riwayat Muslim).
Menurut sang tokoh media tersebut, “Hadis semacam ini tak perlu diikuti karena alasan rasional: tidak masuk di akal! Apa urusannya Allah melarang orang makan sambil berdiri atau pakai tangan kiri? Membayangkan bahwa ada setan yang makan dengan tangan kirijuga sama absurdnya.”
Na'udzubillah minzalik. Begitulah gambaran media-media kita. Selayaknya kita merasa khawatir dengan keadaan ini sebagaimana khawatirnya Rasulullah SAW saat melihat Umar, sahabatnya, memegang Kitab Taurat.
Semoga Allah SWT melindungi diri kita, keluarga kita, serta seluruh kaum Muslimin dari bahaya yang ditimbulkan oleh tulisan-tulisan tersebut.