Kamis, 21 Mei 2015

Menakar Koridor Karya Jurnalistik

Jurnalisme berasal dari kata jurnal. Jadi, awalnya, jurnalisme hanyalah kegiatan sederhana saja, yakni melaporkan aktivitas sehari-hari.


Lalu mengapa saat ini jurnalistik tiba-tiba berubah menjadi kekuatan yang luar biasa hebat? Saking hebatnya, para sosiolog bahkan berpendapat bahwa jurnalistik adalah kekuatan keempat yang bisa mengubah keadaan suatu negara.

Definisi jurnalistik mulai menjadi tidak sederhana ketika di dalamnya terdapat sudut pandang sang penulis. Sudut pandang ini awalnya mungkin sekadar ingin menceritakan situasi saja. Tak ada maksud memihak. Bukankah sebuah laporan akan terasa lebih indah bila ada penggambaran situasi di dalamnya?

Namun lama-lama sudut pandang ini kental dengan pemihakan sang penulis. Situasi yang biasa-biasa saja bisa "disulap" oleh sang jurnalis menjadi luar biasa, atau sebaliknya. Pembaca diajak melihat sesuatu dari sudut pandang penulis. Tentu saja maksudnya agar pembacanya mengakui kebenaran sudut pandang tersebut.

Pemihakan ini kian terasa ketika laporan sang jurnalis terkontaminasi dengan beberapa kata yang tendensius. Kata-kata seperti "celakanya" atau "parahnya", misalnya, sengaja dipilih untuk mengganti kata "namun". Karya jurnalistik akhirnya benar-benar telah memihak.

Sampai pada tahap ini sebetulnya karya jurnalistik tersebut belumlah terlalu kebablasan. Ia masih masuk dalam koridor "yang diperbolehkan" dalam ilmu jurnalistik selagi ia berpegang teguh pada fakta serta memenuhi etika jurnalistik yang ditetapkan oleh lembaga kewartawanan. Ia belum sepenuhnya berubah wujud menjadi "produk kebebasan berekspresi" yang bebas aturan.

Pemihakan masih ditolerir oleh para penggiat jurnalisme asalkan ia untuk kebaikan pembaca. Bukankah dalam banyak berita kriminal kita melihat bagaimana sang jurnalis amat memihak kepada korban, bukan kepada pelaku?

Fakta dan Etika

Sekali lagi, fakta dan etika dianggap "pagar" yang tak boleh dilanggar oleh produk jurnalistik. Fakta tersebut harus bisa dibuktikan meski upaya pembuktiannya sulit. Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW dianggap bukan fakta jurnalistik (soal ini silahkan baca kupasan berikutnya berjudul Fakta dalam Jurnalistik Islam)

Namun, yang jadi soal, apakah pembatasan tersebut lantas membuat karya jurnalistik menjadi baik untuk dikonsumsi masyarakat? Jika ya, baik menurut siapa? Apa ukurannya dan apa pula landasannya?

Di sini letak persoalannya. Masing-masing manusia bisa mendefinisikan kebaikan tersebut, tapi hasilnya sudah tentu tidak sempurna. Sebab, manusia memiliki keterbatasan. Ada begitu banyak hal ghaib yang tak diketahui oleh manusia.

Nah, jika demikian, koridor seperti apa yang bisa membuat karya jurnalistik bisa sempurna dan membuahkan kebaikan? Jawabnya tentu saja koridor yang dibuat oleh Sang Khaliq.

Maukah kita menggunakannya? ***