Jurnalisme berasal dari kata
jurnal. Jadi, awalnya, jurnalisme hanyalah kegiatan sederhana saja, yakni
melaporkan aktivitas sehari-hari.
Lalu mengapa saat ini jurnalistik tiba-tiba berubah menjadi kekuatan yang luar biasa hebat? Saking hebatnya, para sosiolog bahkan berpendapat bahwa jurnalistik adalah kekuatan keempat yang bisa mengubah keadaan suatu negara.
Lalu mengapa saat ini jurnalistik tiba-tiba berubah menjadi kekuatan yang luar biasa hebat? Saking hebatnya, para sosiolog bahkan berpendapat bahwa jurnalistik adalah kekuatan keempat yang bisa mengubah keadaan suatu negara.
Definisi jurnalistik mulai
menjadi tidak sederhana ketika di dalamnya terdapat sudut pandang sang penulis.
Sudut pandang ini awalnya mungkin sekadar ingin menceritakan
situasi saja. Tak ada maksud memihak. Bukankah sebuah laporan akan terasa lebih
indah bila ada penggambaran situasi di dalamnya?
Namun lama-lama sudut pandang
ini kental dengan pemihakan sang penulis. Situasi yang biasa-biasa saja bisa
"disulap" oleh sang jurnalis menjadi luar biasa, atau sebaliknya.
Pembaca diajak melihat sesuatu dari sudut pandang penulis. Tentu saja maksudnya
agar pembacanya mengakui kebenaran sudut pandang tersebut.
Pemihakan ini kian terasa
ketika laporan sang jurnalis terkontaminasi dengan beberapa kata yang
tendensius. Kata-kata seperti "celakanya" atau "parahnya",
misalnya, sengaja dipilih untuk mengganti kata "namun". Karya
jurnalistik akhirnya benar-benar telah memihak.
Sampai pada tahap ini
sebetulnya karya jurnalistik tersebut belumlah terlalu kebablasan. Ia masih masuk
dalam koridor "yang diperbolehkan" dalam ilmu jurnalistik selagi ia
berpegang teguh pada fakta serta memenuhi etika jurnalistik yang ditetapkan
oleh lembaga kewartawanan. Ia belum sepenuhnya berubah wujud menjadi
"produk kebebasan berekspresi" yang bebas aturan.
Pemihakan masih ditolerir
oleh para penggiat jurnalisme asalkan ia untuk kebaikan pembaca. Bukankah dalam
banyak berita kriminal kita melihat bagaimana sang jurnalis amat memihak kepada
korban, bukan kepada pelaku?
Fakta dan Etika
Sekali lagi, fakta dan etika
dianggap "pagar" yang tak boleh dilanggar oleh produk jurnalistik.
Fakta tersebut harus bisa dibuktikan meski upaya pembuktiannya sulit. Al Qur'an
dan Sunnah Rasulullah SAW dianggap bukan fakta jurnalistik (soal ini silahkan
baca kupasan berikutnya berjudul Fakta dalam Jurnalistik Islam)
Namun, yang jadi soal, apakah
pembatasan tersebut lantas membuat karya jurnalistik menjadi baik untuk
dikonsumsi masyarakat? Jika ya, baik menurut siapa? Apa ukurannya dan apa pula
landasannya?
Di sini letak persoalannya.
Masing-masing manusia bisa mendefinisikan kebaikan tersebut, tapi hasilnya
sudah tentu tidak sempurna. Sebab, manusia memiliki keterbatasan. Ada begitu
banyak hal ghaib yang tak diketahui oleh manusia.
Nah, jika demikian, koridor
seperti apa yang bisa membuat karya jurnalistik bisa sempurna dan membuahkan
kebaikan? Jawabnya tentu saja koridor yang dibuat oleh Sang Khaliq.
Maukah kita menggunakannya?
***