Kamis, 15 Januari 2015

Menyulap Kandang Ayam Menjadi Kandang Orang

Musyawarah para pimpinan Hidayatullah di Bengkulu telah memutuskan anak muda yang baru saja menikah itu harus pindah ke Rejang Lebong, sebuah daerah bersuhu dingin di kaki bukit Kaba, tiga jam perjalanan ke arah timur laut dari Kotamadya Bengkulu.


Daerah itu bukan di tengah kota, tetapi di tengah perkebunan rakyat yang belum diterangi oleh listrik. Jalanan masih setapak dan penuh dengan bebatuan. Penduduk pun masih jarang.

"Sebagai kader (Hidayatullah), saya menerima dengan senang hati tugas tersebut," ujar pemuda itu mengenang saat-saat pertama ia ditugaskan merintis pendirian cabang Hidayatullah Rejang Lebong, kira-kira 10 tahun yang lalu. Pemuda itu bernama Aidil Abror Lams.

Ketika amanah ini ia terima, Abror, begitulah laki-laki itu biasa disapa, baru dua bulan dipercaya menjadi guru di sekolah Hidayatullah Bengkulu, setelah menyelesaikan kuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam Lukmanul Hakim, Surabaya, Jawa Timur. Sempat dua kali ia menerima natura (bahan kebutuhan pokok yang diberikan kepada kader Hidayatullah yang sedang mengabdi).

Abror sadar, di tempat tugas yang baru, ia tak akan menerima natura lagi. Jangankan natura, sekadar rumah tempat berteduh pun belum terbayangkan olehnya. Yang ia tahu, ia ditugaskan merintis pendirian cabang baru Hidayatullah. Itu artinya, ia harus siap menjalani "hidup yang tak biasa" di sana, sebagaimana dai-dai Hidayatullah lainnya.

"Alhamdulillah istri saya mendukung. Ia siap menemani saya ke tempat tugas yang baru," kata pemuda kelahiran Sumatera Selatan, 25 September 1976 itu.

Berangkat dengan Truk

Setelah tiga bulan menikmati kebahagiaan dalam ikatan rumah tangga, pasangan pengantin baru itu pun berangkat dengan menyewa truk. Mengapa truk? Rupanya, Abror telah mempersiapkan kemungkinan terburuk bila di tempat baru nanti ia tak memiliki rumah. Kebetulan, ada cukup banyak kepingan papan dan kayu sisa bongkaran kantor sekretariat Hidayatullah di Kodya Bengkulu. Papan dan kayu itulah yang ia angkut menggunakan truk. Ia berencana mendirikan gubuk kecil sekadar tempat berteduh di sana kelak.

Di Rejang Lebong, lahan wakaf seluas 1 hektar telah menunggunya. Lahan tersebut terletak di tengah-tengah kebun rakyat, tepatnya di Kampung Baru, Kecamatan Selupu Rejang, sekitar 11 km dari kota Curup, ibukota Rejang Lebong.

Di sana telah ada satu keluarga yang sebelumnya telah mengelola lahan tersebut. Syuaib, nama kepala keluarga itu. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil berlantai dua terbuat dari papan dan kayu. Luas rumah itu hanya sekitar 7x7 meter persegi.

Lantai atas dijadikan musholla, sedang lantai bawah dibagi dua petak. Sepetak untuk keluarga Syuaib, sedang sepetak lagi untuk keluarga Abror bersama seorang anak yatim usia belasan tahun yang ikut pindah bersama Abror. "Anak itu senang ketika saya ajak ikut. Dia sangat bersemangat," cerita Abror tentang anak itu. Antar petakan hanya dipisah oleh papan triplek.

Selain rumah papan, masih ada sebuah kandang ayam yang sudah tak terpakai lagi. Rupanya dulu pemilik lahan sempat berternak. Namun, usahanya bangkrut. Kandang ayam itu pun terbengkalai.

Selain kedua bangunan sederhana itu, tak ada lagi bangunan lain di lahan tersebut. Kedua bangunan itulah cikal bakal berdirinya Pesantren Hidayatullah Rejang Lebong. Bengkulu.

Sehari-hari Abror membantu Syuaib mengajar baca tulis al-Qur`an. Ia juga mendatangi rumah-rumah masyarakat di kota Curup untuk berdakwah. Sebagian lagi waktunya ia gunakan untuk berkebun dan beternak sekadar untuk menyambung hidup. "Saya menanam wortel. Saya jual hasilnya seharga Rp 3 ribu tiap kilogram," cerita Abror.

Akbab dengan Cobaan

Selanjutnya, berbagai cobaan hidup mulai mengakrabi Abror. Setiap hari ia harus mengayuh sepeda ontel ke kota Curup untuk berdakwah, berdagang hasil pertanian, atau memasarkan Majalah Suara Hidayatullah. Waktu tempuh saat pergi hanya 20 menit saja. Maklum, turunan. Namun ketika pulang, ia terpaksa menghabiskan waktu 3 jam karena mendaki.

Pernah pada suatu malam, ketika akan pulang ke pesantren, ban sepeda Abror pecah. Di tengah pekatnya malam, Abror terpaksa menuntun sepedanya melewati jalan mendaki dan berbatu. Tak ada cahaya listrik karena daerah itu memang belum dijangkau listrik. Satu-satunya sumber cahaya hanyalah kerlap kerlip bintang di langit.

Ketika itu, kawasan perkebunan yang dilalui Abror terkenal rawan kejahatan. Para penjahat kerap merampok masyarakat yang pulang dari kebunnya pada malam hari. Untunglah Allah SWT masih menjaganya. Abror selamat hingga tiba dirumah tepat tengah malam. "Isteri saya kaget ketika saya ketuk rumah tengah malam," kata Abror.

Semakin lama, jumlah anak yatim yang diasuh Abror semakin bertambah. Awalnya cuma satu, bertambah menjadi dua. Lalu Pesantren Hidayatullah Sumatera Selatan menitipkan dua anak yatim lagi. Totalnya menjadi empat. Itu berarti Abror harus berusaha lebih keras lagi untuk menghidupi mereka semua.

Pada suatu hari, cerita Abror, mereka kehabisan beras. Tak ada sama sekali makanan yang bisa dimakan, sementara waktu sudah menginjak sore dan anak-anak mulai kelaparan. "Saya harus keluar mencari beras walaupun saya tak tahu harus mencari ke mana. Pokoknya saya harus keluar," kata Abror.

Diambilnya sepeda ontel, dituntunnya keluar, dan dalam keadaan bingung, Abror mulai mengayuh. Namun tiba-tiba sebuah mobil datang. Abror menghentikan sepedanya dan menghampiri sang pegemudi.

"Alhamdulillah, rupanya Allah telah mengirimkan nasi lengkap dengan lauk daging kepada kami melalui orang itu," kata Abror. Rupanya, sang pemilik mobil baru saja mengakikah anaknya. Daging akikah ia bagikan ke pesantren tersebut.

Menyulap Kandang Ayam

Setelah jumlah anak yatim menjadi enam, rumah petakan Abror yang sempit kian terasa sempit. Apalagi bila anak-anak itu rewel. Mereka sering mengedor-ngedor triplek penyekat sambil menangis. Ada-ada saja permintaan mereka kalau sedang merajuk. Ada yang mau jalan-jalan, ada pula yang minta dibelikan mobil mainan. "Mendidik anak memang perlu sabar," kata Abror.

Sikap rewel anak-anak, bisa ditasi. Namun, masalah petakan yang sempit, perlu dicarikan solusi. Sebab, hal tersebut tak baik buat perkembangan anak-anak.

Maka, tak ada jalan lain kecuali "menyulap" kandang ayam yang tak terpakai lagi menjadi asrama sederhana tempat anak-anak. Lantai pun diplester meski cuma sebagian. Dindingnya masih terbuat dari anyaman bambu dan diberi terpal agar tak tembus angin. Untuk tempat tidur, Abror membuat dipan (balai-balai). Proses renovasi tersebut berlangsung tahun 2006.

Setelah bangunan sederhana itu jadi, anak-anak pindah ke "kandang" mereka yang baru. "Ini sejarah buah kami. Biasanya rumah dijadikan kandang ayam, ini malah kandang ayam dijadikan kandang orang," tutur Abror seraya tertawa.

Di sanalah anak-anak yatim itu menghabiskan hari-harinya. Bila pagi, mereka bersekolah. Bila sore, mereka mengaji. Bila malam, mereka istirahat ditemani cahaya lampu templok yang asapnya kerap membuat hitam tembok.

Dengan segala keterbatasan itu, para santri ini tetap rajin menggelar shalat malam. Dinginnya malam yang bukan kepalang tak mereka pedulikan. "Kalau shalat, lutut kami sampai gemetar menahan dingin meskipun kami sudah mengolesinya dengan balsem," kata Abror.

Lalu suatu hari, Allah SWT kembali mengutus seseorang untuk membantu Abror dan anak-anak yatim itu. "Entah dari mana datangnya tiba-tiba seseorang datang sambil membawa berlapis-lapis triplek dan papan," cerita Abror.

Orang tersebut mengganti sendiri dinding asrama dengan triplek yang dibawanya. "Dia bekerja sambil menangis," tutur Abror lagi. Rupanya, sang dermawan itu telah tersentuh hatinya ketika mendengar cerita kehidupan para santri yatim di pesantren itu.

Pertolongan Allah SWT tak berhenti sampai di sini. Pada tahun 2008, Bupati Rejang Lebong datang membawa serta para pejabat daerah dan orang-orang kaya di sana. Sang bupati rupanya juga diberi hidayah oleh Allah SWT setelah mendengar cerita yang sama tentang para santri ini.

Sang bupati membuka lelang amal bagi mereka yang mau membantu pembangunan asrama buat anak-anak tersebut. Singkat cerita, berdirilah bangunan permanen dan sebuah mushola di pesantren itu.

Lama kelamaan, jumlah santri kian bertambah, termasuk santri putri. Bangunan-bangunan permanen lainnya juga berdiri, termasuk sebuah masjid berkapasitas 200 orang. Listrik juga sudah masuk. Kini, jumlah santri telah mencapai 45 orang. Lantas, bagaimana dengan Abror?

Pada November 2014 lalu, Abror bersama 100 dai Hidayatullah se-Sumatera yang berkumpul di kampus Hidayatullah Rejang Lebong, mengucapkan ikrar di hadapan Pimpinan Umum Hidayatullah bahwa mereka siap mengorbankan harta dan jiwa yang mereka miliki, termasuk merintis kembali pendirian cabang Hidayatullah yang baru, demi tegaknya syiar Islam.

Itu berarti, sebagai dai, Abror telah siap mengulang kembali "hidup yang tak biasa" sebagaimana dulu ia alami. Mudah-mudahan Allah SWT beridhoi semua jerih payah laki-laki itu*