“… (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ar Ruum [30]: 30)
Hak asasi manusia, atau disingkat HAM, kembali disebut-sebut oleh orang-orang yang tak ingin "perkampungan" pelacur terbesar di Asia Tenggara, Dolly, ditutup oleh pemerintah pada pertengahan Juni 2014.
Mereka menuding pemerintah kota Surabaya, Jawa Timur, telah melanggar HAM dengan menutup lokalisasi tersebut. Kok bisa?
Menurut mereka, melacur itu sebuah pekerjaan. Dan, bekerja itu adalah hak asasi. Jadi, melarang melacur, kata mereka, sama saja dengan melarang seseorang bekerja untuk menghidupi dirinya dan keluarga. Inilah yang mereka katakan pelanggaran HAM.
Sepintas pendapat ini aneh. Apa betul melacur itu pekerjaan? Padahal sudah mahfum adanya bahwa melacur adalah perbuatan hina sebagaimana mencuri dan merampok.
Nah, persoalannya, di negara ini, berzina tak terkategori sebagai perbuatan terlarang, asal dilakukan atas dasar suka sama suka dan tak ada yang merasa dirugikan atas perbuatan tersebut. Sedangkan mencuri dan merampok terkategori perbuatan kriminal yang dilarang oleh undang-undang. Di sinilah letak ruwet-nya.
Bukan dalam hal ini saja HAM kerap dijadikan tameng. Dalam kasus penyimpangan seksual, misalnya, HAM juga sering dijadikan alat untuk melegitimasi penyimpangan tersebut. Kaum gay dan lesbi kerap menyematkan status sebagai pelanggar HAM kepada pihak yang tak suka dengan keberadaan mereka.
Calakanya, lagi-lagi, negara tak mampu melarang keberadaan kaum menyimpang ini. Negara justru menganggap lesbi, waria, gay, atau bencong sebagai hak warga negara yang harus dilindungi. Padahal, jelas-jelas mereka ini tidak normal.
Mari kita tinjau HAM dari berbagai definisi. Menurut Jan Materson dari Komisi HAM Perserikatan Bangsa-bangsa, dalam Teaching Human Rights, United Nations, HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
Dalam pasal 1 Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Dari dua definisi ini jelas bahwa hak asasi manusia amat terkait dengan fitrah. Artinya, manusia memiliki hak untuk dimanusiakan sesuai fitrahnya.
Di sinilah terjadi kerancuan. Melacur jelas bukan fitrah manusia. Pelacuran akan membawa kepada kehancuran. Buktinya, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga Berencana Kota Surabaya menyatakan beberapa anak pelacur di sekitar lokalisasi Dolly telah kecanduan seks. Bahkan, dokter menyatakan kebanyakan dari mereka telah rusak otaknya.
Begitu juga penyimpangan seksual, jelas bukan fitrah manusia. Kaum homo dan lesbi ini justru membawa kehancuran, sebagaimana kaum Nabi Luth di kota Sadum (Sodom). Semakin banyak kaum homo dan lesbi di suatu daerah jelas akan memperburuk tatanan sosial di daerah tersebut, bukan semakin baik.
Islam adalah agama fitrah. Agama yang diturunkan oleh Sang Khaliq agar kehidupan di alam ini berjalan sesuai dengan fitrahnya.
Sayangnya, sebagian kaum Muslim masih ragu dengan ini, dan lebih mempercayai aturan yang dibuah oleh manusia.
Wallahu a’lam.
Hak asasi manusia, atau disingkat HAM, kembali disebut-sebut oleh orang-orang yang tak ingin "perkampungan" pelacur terbesar di Asia Tenggara, Dolly, ditutup oleh pemerintah pada pertengahan Juni 2014.
Mereka menuding pemerintah kota Surabaya, Jawa Timur, telah melanggar HAM dengan menutup lokalisasi tersebut. Kok bisa?
Menurut mereka, melacur itu sebuah pekerjaan. Dan, bekerja itu adalah hak asasi. Jadi, melarang melacur, kata mereka, sama saja dengan melarang seseorang bekerja untuk menghidupi dirinya dan keluarga. Inilah yang mereka katakan pelanggaran HAM.
Sepintas pendapat ini aneh. Apa betul melacur itu pekerjaan? Padahal sudah mahfum adanya bahwa melacur adalah perbuatan hina sebagaimana mencuri dan merampok.
Nah, persoalannya, di negara ini, berzina tak terkategori sebagai perbuatan terlarang, asal dilakukan atas dasar suka sama suka dan tak ada yang merasa dirugikan atas perbuatan tersebut. Sedangkan mencuri dan merampok terkategori perbuatan kriminal yang dilarang oleh undang-undang. Di sinilah letak ruwet-nya.
Bukan dalam hal ini saja HAM kerap dijadikan tameng. Dalam kasus penyimpangan seksual, misalnya, HAM juga sering dijadikan alat untuk melegitimasi penyimpangan tersebut. Kaum gay dan lesbi kerap menyematkan status sebagai pelanggar HAM kepada pihak yang tak suka dengan keberadaan mereka.
Calakanya, lagi-lagi, negara tak mampu melarang keberadaan kaum menyimpang ini. Negara justru menganggap lesbi, waria, gay, atau bencong sebagai hak warga negara yang harus dilindungi. Padahal, jelas-jelas mereka ini tidak normal.
Mari kita tinjau HAM dari berbagai definisi. Menurut Jan Materson dari Komisi HAM Perserikatan Bangsa-bangsa, dalam Teaching Human Rights, United Nations, HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
Dalam pasal 1 Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Dari dua definisi ini jelas bahwa hak asasi manusia amat terkait dengan fitrah. Artinya, manusia memiliki hak untuk dimanusiakan sesuai fitrahnya.
Di sinilah terjadi kerancuan. Melacur jelas bukan fitrah manusia. Pelacuran akan membawa kepada kehancuran. Buktinya, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga Berencana Kota Surabaya menyatakan beberapa anak pelacur di sekitar lokalisasi Dolly telah kecanduan seks. Bahkan, dokter menyatakan kebanyakan dari mereka telah rusak otaknya.
Begitu juga penyimpangan seksual, jelas bukan fitrah manusia. Kaum homo dan lesbi ini justru membawa kehancuran, sebagaimana kaum Nabi Luth di kota Sadum (Sodom). Semakin banyak kaum homo dan lesbi di suatu daerah jelas akan memperburuk tatanan sosial di daerah tersebut, bukan semakin baik.
Islam adalah agama fitrah. Agama yang diturunkan oleh Sang Khaliq agar kehidupan di alam ini berjalan sesuai dengan fitrahnya.
Sayangnya, sebagian kaum Muslim masih ragu dengan ini, dan lebih mempercayai aturan yang dibuah oleh manusia.
Wallahu a’lam.