Jujur, dalam arti yang sempit, berarti berkata yang benar. Jujur
berkaitan dengan kebenaran informasi dan data, termasuk kesesuaian
antara lisan si penyampai dan apa yang ada dalam hati si penyampai.
Kebalikan dari jujur adalah dusta (kazib).
Dalam bahasa Arab, jujur dilafazkan dengan shodaqo (sin dal qof). Jika ditambah ta marbutho, maka ia berarti sedekah. Jadi, sedekah itu pada hakikatnya adalah memberikan segala kebaikan kepada orang lain. Pengertian ini kemudian menyempit menjadi pemberian harta saja.
Namun, kata jujur dalam bahasa Indonesia mengalami perluasan makna. Jujur, bukan sekadar berkata benar tetapi juga bermakna tidak curang (dalam perniagaan), tidak menipu, berbuat ikhlas, bisa dipercaya, dan lain-lain.
Padahal, orang yang bisa dipercaya, dalam bahasa Arab adalah orang yang amanah, atau al-amin. Orang yang mengurangi timbangan disebut mutafif. Orang yang curang dalam perniagaan disebut ghurur. Semua punya istilah sendiri-sendiri.
Ini mirip dengan kata membaca Qur’an dalam bahasa Indonesia. Kebanyakan kaum Muslim di Indonesia sesungguhnya tidak membaca Qur`an (qiroah), bukan pula mengaji Qur`an (tadabbur), tapi cuma melafazkannya saja (tilawah). Kata “membaca” telah mengalami pergeseran makna.
Jujur itu perintah Allah. Ada beberapa ayat dalam al-Qur’an yang memerintahkan kita bersikap jujur. Satu di antaranya adalah At Taubah [9] ayat 119, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.”
Ibnu Katsir Rahimahullah menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, “Berlaku jujurlah dan terus berpeganglah dengan sikap jujur. Bersungguh-sungguhlah kalian menjadi orang yang jujur. Jauhilah perilaku dusta yang dapat mengantarkan pada kebinasaan. Moga-moga kalian mendapati kelapangan dan jalan keluar atas perilaku jujur tersebut.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Al Qurthubah, 7/313)
Tafsir ini secara jelas menunjukkan kepada kita bahwa sikap jujur akan mendatangkan kelapangan dan jalan keluar.
Ada juga Hadits Rasulullah SAW yang memerintahkan kita untuk bersikap jujur. Satu di antaranya yang masyhur adalah Hadits dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (Riwayat Muslim)
Hadits lain adalah dari Al Hasan bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa.” (Riwayat Tirmidzi no. 2518 dan Ahmad 1/200. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dikisahkan oleh Rifa’ah bahwa ia pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke tanah lapang dan melihat manusia sedang melakukan transaksi jual beli. Beliau lalu menyeru, “Wahai para pedagang!” Orang-orang pun memperhatikan seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil menengadahkan leher dan pandangan mereka pada beliau.
Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan pada hari kiamat nanti sebagai orang-orang fajir (jahat) kecuali pedagang yang bertakwa pada Allah, berbuat baik dan berlaku jujur.” (Riwayat Tirmidzi no. 1210 dan Ibnu Majah no. 2146. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib 1785 mengatakan bahwa hadits tersebut shahih lighoirihi (shahih dilihat dari jalur lainnya).
Dalam kisah lain, sebagaimana diceritakan Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya. Kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?”
Sang pemiliknya menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda lagi, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami.” (Riwayat Muslim nomor 102).
Dari sahabat Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut. Sebaliknya, bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah keberkahan bagi mereka pada transaksi itu.” (Riwayat Bukhari nomor 2079 dan Muslim nomor 1532)
Wallahu alam
Dalam bahasa Arab, jujur dilafazkan dengan shodaqo (sin dal qof). Jika ditambah ta marbutho, maka ia berarti sedekah. Jadi, sedekah itu pada hakikatnya adalah memberikan segala kebaikan kepada orang lain. Pengertian ini kemudian menyempit menjadi pemberian harta saja.
Namun, kata jujur dalam bahasa Indonesia mengalami perluasan makna. Jujur, bukan sekadar berkata benar tetapi juga bermakna tidak curang (dalam perniagaan), tidak menipu, berbuat ikhlas, bisa dipercaya, dan lain-lain.
Padahal, orang yang bisa dipercaya, dalam bahasa Arab adalah orang yang amanah, atau al-amin. Orang yang mengurangi timbangan disebut mutafif. Orang yang curang dalam perniagaan disebut ghurur. Semua punya istilah sendiri-sendiri.
Ini mirip dengan kata membaca Qur’an dalam bahasa Indonesia. Kebanyakan kaum Muslim di Indonesia sesungguhnya tidak membaca Qur`an (qiroah), bukan pula mengaji Qur`an (tadabbur), tapi cuma melafazkannya saja (tilawah). Kata “membaca” telah mengalami pergeseran makna.
Jujur itu perintah Allah. Ada beberapa ayat dalam al-Qur’an yang memerintahkan kita bersikap jujur. Satu di antaranya adalah At Taubah [9] ayat 119, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.”
Ibnu Katsir Rahimahullah menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, “Berlaku jujurlah dan terus berpeganglah dengan sikap jujur. Bersungguh-sungguhlah kalian menjadi orang yang jujur. Jauhilah perilaku dusta yang dapat mengantarkan pada kebinasaan. Moga-moga kalian mendapati kelapangan dan jalan keluar atas perilaku jujur tersebut.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Al Qurthubah, 7/313)
Tafsir ini secara jelas menunjukkan kepada kita bahwa sikap jujur akan mendatangkan kelapangan dan jalan keluar.
Ada juga Hadits Rasulullah SAW yang memerintahkan kita untuk bersikap jujur. Satu di antaranya yang masyhur adalah Hadits dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (Riwayat Muslim)
Hadits lain adalah dari Al Hasan bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa.” (Riwayat Tirmidzi no. 2518 dan Ahmad 1/200. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dikisahkan oleh Rifa’ah bahwa ia pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke tanah lapang dan melihat manusia sedang melakukan transaksi jual beli. Beliau lalu menyeru, “Wahai para pedagang!” Orang-orang pun memperhatikan seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil menengadahkan leher dan pandangan mereka pada beliau.
Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan pada hari kiamat nanti sebagai orang-orang fajir (jahat) kecuali pedagang yang bertakwa pada Allah, berbuat baik dan berlaku jujur.” (Riwayat Tirmidzi no. 1210 dan Ibnu Majah no. 2146. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib 1785 mengatakan bahwa hadits tersebut shahih lighoirihi (shahih dilihat dari jalur lainnya).
Dalam kisah lain, sebagaimana diceritakan Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya. Kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya, “Apa ini wahai pemilik makanan?”
Sang pemiliknya menjawab, “Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda lagi, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan kami.” (Riwayat Muslim nomor 102).
Dari sahabat Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut. Sebaliknya, bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah keberkahan bagi mereka pada transaksi itu.” (Riwayat Bukhari nomor 2079 dan Muslim nomor 1532)
Wallahu alam