Senin, 30 Juni 2014

Iman Minggat, Emon Pun Kumat

”Barang siapa dari kalian yang mendapatkan orang yang melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah para pelakunya …” (Riwayat Ahmad dari Ibnu Abbas)

Fenomena Emon, sapaan akrab seorang pemuda berusia 24 tahun asal Sukabumi, Jawa Barat, sempat membuat geger Nusantara pada Mei lalu. Pasalnya, anak sulung yang konon menjadi tulang punggung keluarga ini mengaku telah melakukan kekerasan seksual kepada 110 anak. Naudzubillahi min dzalik!

Meski amat kejam, Emon bukan tak memiliki rasa kemanusiaan. Sepertiga dari gajinya, ia serahkan kepada sang ibu untuk keperluan sehari-hari keluarganya. Sepertiganya lagi untuk membantu biaya sekolah adik-adiknya. Sisanya barulah ia pergunakan untuk dirinya.

Lalu mengapa Emon bisa menjadi sesadis itu?

Para kriminolog selalu berkata bahwa munculnya kejahatan bukan hanya karena adanya niat pelaku, tetapi juga karena adanya kesempatan. Memang betul! Niat untuk berbuat jahat biasanya berbuah kejahatan yang terencana. Dan, kejahatan yang terencana, apalagi bila terorganisir, biasanya berbuah kerusakan yang lebih besar.

Kesempatan berbuat jahat yang begitu terbuka lebar seringkali juga berbuah kejahatan meskipun tak ada niat sebelumnya. Bahkan, orang baik sekalipun, bisa terjerumus menjadi jahat manakala kesempatan itu ada.

Tapi ketahuilah! Kecuali dua hal tadi, ada satu hal lagi yang amat menentukan seseorang sanggup berbuat jahat atau tidak.Faktor tersebut adalah iman.

Iman bukan sekadar yakin, bukan pula sekadar rasa. Iman adalah keyakinan yang mengejawantah dalam ucapan dan perbuatan.  Iman yang terjaga secara hati-hati akan menghasilkan ketakwaan.

Seseorang yang mengimani adanya siksa yang teramat pedih di akhirat kelak tentu akan berpikir dua kali untuk melakukan kejahatan.  Seseorang yang mengimani bahwa Allah SWT Maha Melihat tentu akan merasa diawasi selama 24 jam sehari dan akan berhati-hati sekali dalam bertindak.

Begitu juga seorang Muslim yang tahu bagaimana murkanya Allah SWT terhadap tindakan homoseksual, tentu akan bergidik bila membayangkan bagaimana hukuman yang pantas dia terima atas perbuatan keji itu.

Jumhur ulama telah sepakat hukuman yang dikenakan kepada pelaku homoseksual adalah dibunuh. Hanya saja mereka tak sepakat bagaimana cara membunuhnya. Ada yang menyatakan dirajam, ada juga dibakar, dan terakhir dilempar dari bangunan tertinggi di negeri itu dengan poisisi terbalik lalu diiringi dengan lemparan batu-batu.

Coba bandingkah dengan hukuman yang dijatuhkan oleh Negara atas pelaku homoseksual. Jika kekejian itu dilakukan atas dasar suka sama suka, maka Negara sama sekali tak menghukumnya. Hukuman baru dijatuhkan kepada pelaku homoseksual yang memaksakan diri kepada korbannya. Itu pun bukan hukuman mati.

Bila Negara saja sudah tak mengimani ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh Allah SWT, lalu bagaimana dengan masyarakatnya? Bila Negara tak berlaku tegas terhadap paham-paham menyimpang dari ajaran agama dan pemuja kebebasan, bagaimana Negara bisa menjaga keimanan masyarakatnya?

Dan, bila Negara tak berdaya atas serangan media massa yang mencekoki pikiran masyarakatnya dengan budaya pop dan pemujaan hawa nafsu, lalu bagaimana kita bisa menghindarinya?

Ketika Solihat, wanita yang telah melahirkan Emon, menjenguk putra sulungnya di ruang tahanan Polresta Sukabumi awal Mei lalu, ia bertanya kepada sang buah hati, "Kenapa kamu jadi begini, Nak?"

Pertanyaan polos tersebut seharusnya tak sekadar ditujukan kepada Emon, tapi selayaknya juga ditujukan kepada Negara ini. “Mengapa iman Emon bisa minggat?”

Wallahu a’lam

(Dipublikaskan oleh Majalah Suara Hidayatullah edisi Juni 2014)