Berbohong artinya mengungkapkan informasi yang tidak benar. Wartawan
---profesi yang amat akrab dengan informasi--- berpeluang besar
melakukan kebohongan. Sebab, tugas utama wartawan adalah mengungkapkan
informasi kepada publik.
Ada dua kemungkinan kebohongan yang dilakukan seorang jurnalis. Pertama, kebohongan karena ia memang menyengaja berbohong untuk alasan tertentu. Misalnya, sengaja membolak-balikkan fakta atau melebih-lebihkan informasi agar pembaca bereaksi atas apa yang diberitakannya.
Bisa juga kebohongan tersebut dilakukan oleh narasumbernya dan diketahui oleh sang jurnalis, namun ia tetap mempublikasikan berita (informasi) bohong tersebut.
Biasanya, jurnalis seperti ini telah memiliki niat tidak baik atas apa yang ingin ia beritakan. Atau, untuk kasus kedua, boleh jadi sang jurnalis telah bekerjasama dengan narasumbernya untuk menyebarkan berita bohong.
Kedua, kebohongan karena ketidakpahaman sang jurnalis. Kebohongan jenis ini biasanya terjadi karena sang jurnalis menebak-nebak data/informasi yang ingin diketahuinya, padahal tebakannya itu salah.
Bisa juga kebohongan tersebut dilakukan oleh narasumber namun tak diketahui oleh sang jurnalis. Ia justru mempublikasikan berita bohong itu karena ketidakmengertiannya.
Kebohongan jenis Ini terjadi karena sang jurnalis tidak memiliki persiapan yang cukup sebelum melakukan wawancara. Pengetahuan yang amat terbatas tentang apa yang ingin dia tulis menyebabkan ia mudah ditipu oleh narasumber.
Ketidaksiapan ini kian menjadi parah bila bila sang wartawan tak memiliki sikap skeptis, dan tidak pula berusaha melakukan verifikasi. Intinya, kebohongan jenis kedua ini disebabkan karena sang jurnalis tidak berhati-hati dalam menjalankan profesinya sebagai jurnalis.
Untuk kedua jenis kebohongan ini, jurnalis Muslim harus menghindarinya. Sebab, bohong adalah perbuatan yang dicela dalam Islam. Banyak sekali ayat al-Quran dan Hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan hal ini.
Salah satunya, firman Allah SWT dalam al-Quran surat Ghafir [40] ayat 28, yang artinya, "... Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta."
Rasulullah SAW juga bersabda dalam Hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, "Sesungguhnya kejujuran akan menunjukkan kpd kebaikan dan kebaikan itu akan menghantarkan kepada surga. Seseorang yang berbuat jujur oleh Allah akan dicatat sebagai orang yg jujur. Dan sesungguhnya bohong itu akan menunjukkan kepada kelaliman dan kelaliman itu akan menghantarkan kepada neraka. Seseorang yang terus menerus berbuat bohong akan ditulis oleh Allah sebagai pembohong."
Dalam Hadits lain yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim juga dikatakan, "Pertanda orang yang munafik ada 3, apabila berbicara ia bohong, apabila berjanji mengingkari janjinya, dan apabila dipercaya dia berbuat khianat."
Demikian juga sikap tidak hati-hati dalam mempublikasikan informasi, amat dicela dalam Islam. Al-Qur'an Surat al-Hujarat [49] ayat 6 menjelaskan hal ini sebagaimana telah dikupas dalam tulisan sebelumnya.
Perlu pula dipahami bahwa informasi yang dipublikasikan oleh jurnalis adalah untuk konsumsi umum. Meskipun ada media massa yang menyasar pembaca khusus (segmented), namun tetap saja masyarakat umum bisa membacanya. Apalagi media internet yang memiliki jangkauan amat luas dalam waktu amat singkat.
Wallahu a'lam.
(Dibuat sebagai bahan kuliah jurnalistik)
Ada dua kemungkinan kebohongan yang dilakukan seorang jurnalis. Pertama, kebohongan karena ia memang menyengaja berbohong untuk alasan tertentu. Misalnya, sengaja membolak-balikkan fakta atau melebih-lebihkan informasi agar pembaca bereaksi atas apa yang diberitakannya.
Bisa juga kebohongan tersebut dilakukan oleh narasumbernya dan diketahui oleh sang jurnalis, namun ia tetap mempublikasikan berita (informasi) bohong tersebut.
Biasanya, jurnalis seperti ini telah memiliki niat tidak baik atas apa yang ingin ia beritakan. Atau, untuk kasus kedua, boleh jadi sang jurnalis telah bekerjasama dengan narasumbernya untuk menyebarkan berita bohong.
Kedua, kebohongan karena ketidakpahaman sang jurnalis. Kebohongan jenis ini biasanya terjadi karena sang jurnalis menebak-nebak data/informasi yang ingin diketahuinya, padahal tebakannya itu salah.
Bisa juga kebohongan tersebut dilakukan oleh narasumber namun tak diketahui oleh sang jurnalis. Ia justru mempublikasikan berita bohong itu karena ketidakmengertiannya.
Kebohongan jenis Ini terjadi karena sang jurnalis tidak memiliki persiapan yang cukup sebelum melakukan wawancara. Pengetahuan yang amat terbatas tentang apa yang ingin dia tulis menyebabkan ia mudah ditipu oleh narasumber.
Ketidaksiapan ini kian menjadi parah bila bila sang wartawan tak memiliki sikap skeptis, dan tidak pula berusaha melakukan verifikasi. Intinya, kebohongan jenis kedua ini disebabkan karena sang jurnalis tidak berhati-hati dalam menjalankan profesinya sebagai jurnalis.
Untuk kedua jenis kebohongan ini, jurnalis Muslim harus menghindarinya. Sebab, bohong adalah perbuatan yang dicela dalam Islam. Banyak sekali ayat al-Quran dan Hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan hal ini.
Salah satunya, firman Allah SWT dalam al-Quran surat Ghafir [40] ayat 28, yang artinya, "... Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta."
Rasulullah SAW juga bersabda dalam Hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, "Sesungguhnya kejujuran akan menunjukkan kpd kebaikan dan kebaikan itu akan menghantarkan kepada surga. Seseorang yang berbuat jujur oleh Allah akan dicatat sebagai orang yg jujur. Dan sesungguhnya bohong itu akan menunjukkan kepada kelaliman dan kelaliman itu akan menghantarkan kepada neraka. Seseorang yang terus menerus berbuat bohong akan ditulis oleh Allah sebagai pembohong."
Dalam Hadits lain yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim juga dikatakan, "Pertanda orang yang munafik ada 3, apabila berbicara ia bohong, apabila berjanji mengingkari janjinya, dan apabila dipercaya dia berbuat khianat."
Demikian juga sikap tidak hati-hati dalam mempublikasikan informasi, amat dicela dalam Islam. Al-Qur'an Surat al-Hujarat [49] ayat 6 menjelaskan hal ini sebagaimana telah dikupas dalam tulisan sebelumnya.
Perlu pula dipahami bahwa informasi yang dipublikasikan oleh jurnalis adalah untuk konsumsi umum. Meskipun ada media massa yang menyasar pembaca khusus (segmented), namun tetap saja masyarakat umum bisa membacanya. Apalagi media internet yang memiliki jangkauan amat luas dalam waktu amat singkat.
Wallahu a'lam.
(Dibuat sebagai bahan kuliah jurnalistik)