Senin, 09 September 2013

Mari Belajar dari Tragedi Mesir

Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang bagaikan satu tubuh. Apabila satu anggota badan merintih kesakitan maka sekujur badan akan merasa panas dan demam. (Riwayat Muslim)


Seharusnya Syekh Dr Wael Alzard, dosen ilmu hadits dari University of Applied Science Gaza, Palestina, sudah berada di kampung halamannya pada hari pertama lebaran ini.

Namun takdir berbicara lain. Hingga tulisan ini dibuat, lebih dari dua pekan setelah hari pertama lebaran, Syekh Alzard, bersama tujuh syekh asal Gaza lainnya, tak bisa pulang ke negara asalnya. Mereka terpaksa memperpajang waktu kunjungan ke Indonesia.

Syekh Alzard datang ke Indonesia dua hari sebelum Ramadhan tiba. Sepanjang Ramadhan, mereka safari ke berbagai daerah di Indonesia, berbagi ilmu dan berdakwah, serta memberi khabar tentang kondisi terkini Gaza.

Tiba saatnya pulang, Syekh Alzard mendatangi Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Maksud hati ingin pulang ke Gaza lewat Mesir, namun apa daya maskapai penerbangan tak bersedia mengangkutnya. Syekh Alzard tertahan di Indonesia berhari-hari. Bahkan hingga dua bulan setelahnya tetap tak ada kepastian kapan mereka bisa pulang.

Adalah insiden berdarah di Mesir yang menjadi penyebab mengapa Syekh Alzard tak bisa pulang. Setelah Presiden Mursi digulingkan oleh pihak militer, pintu Rafah --- yang menghubungkan Mesir dengan Palestina--- ditutup. Padahal, itulah satu-satunya jalan yang memungkinkan warga Palestina keluar masuk negaranya.

Tak sekadar itu, warga Palestina tak diberi izin untuk melintasi Mesir guna masuk ke negaranya. Bahkan, tak ada maskapai yang diizinkan mengantar masyarakat Palestina terbang ke Mesir

Syekh Alzard dan ratusan warga Palestina lainnya pun seakan “terkurung di luar. Sementara ribuan masyarakat Palestina yang lain “terkurung di dalam. Palestina bagai penjara tak beratap bagi warganya. Mereka tak bisa lagi keluar masuk secara mudah.

Kita tahu, setelah Presiden Mursi digulingkan oleh militer awal Juli lalu, gelombang demonstrasi bermunculan. Puncaknya, terjadilah insiden berdarah yang menewaskan ribuan orang pada awal Agustus lalu.

Inilah musibah paling besar pasca penggulingan Mursi awal Juli lalu. Kita berdoa semoga saja mereka yang meninggal dalam insiden ini akan diampuni dosa-dosanya oleh Allah SWT dan diberikan tempat di surga-Nya kelak.

Kisah Syekh Alzard dan ribuan warga Palestina yang kembali terpenjara setelah pintu Rafah ditutup hanya satu contoh bahwa insiden berdarah di Mesir tak sekadar berdampak buruk bagi warga Mesir, tapi juga warga Muslim di luar Mesir. Tragedi Mesir adalah tragedi seluruh umat Islam, bukan sekadar tragedi masyarakat Mesir. Tragedi ini bukan pula sekadar memberikan pelajaran amat berharga kepada Ikhwanul Muslimin (IM), organisasi di mana Mursi bernaung, tapi juga bagi kaum Muslim di seluruh dunia yang berjuang menegakkan syariat.

Dan, dalam keadaan seperti ini, yang terpenting adalah rasa kebersamaan dan sikap solidaritas para pejuang syariat di seluruh dunia atas apa yang terjadi di Mesir. Bukan sikap saling menyalahkan, apalagi saling mencela dan mencaci maki.

Mari kita lakukan sesuatu untuk menghentikan tindakan biadab yang menimpa kaum Muslim di Mesir, serta di tempat lain di manapun kaum Muslim berada.

Wallahu a'lam.

(Dipublikasikan di Majalah Suara Hidayatullah edisi September 2013)