“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah untuk kami isteri-isteri dan anak
keturunan kami yang menjadi penyejuk mata kami …”(Al-Furqan [25]: 74)
Ustad setengah baya itu bingung ketika wartawan bertanya kepadanya bagaimana cara ia mendidik anak. Sebab, ia sendiri merasa tak melakukan hal-hal istimewa kepada anak-anaknya.
Sang ustad memiliki sembilan anak. Mereka semua tumbuh secara baik. Akhlak dan budi pekerti mereka baik. Mereka juga rajin beribadah. Dan, yang lebih penting, iman mereka terjaga.
Padahal, sang ustad punya “jam terbang” amat tinggi. Ia jarang sekali berada di rumah. Ia lebih banyak menghabiskan hidupnya berdakwah dari satu pelosok ke pelosok lain, dari satu kota ke kota yang lain, bahkan dari satu propinsi ke propinsi yang lain. Ini yang membuat sang wartawan tertarik untuk mengetahui bagaimana cara sang ustad mendidik anak-anaknya dalam kondisi seperti itu?
Sudah lewat satu jam wawancara dilakukan, tetap saja jawaban sang ustad tak ada yang istimewa. Semua biasa-biasa saja. Sang ustad hanya melakukan apa yang orang lain biasa lakukan. Selebihnya, kata sang ustad dengan nada berkelakar, “Anak saya memang sudah baik sejak lahir.”
Sang ustad memang beruntung karena Allah SWT mengaruniainya anak-anak seperti itu. Masalahnya, tak semua orang seberuntung dia: memiliki keluarga yang baik dan rumah amat sederhana di tengah-tengah lingkungan yang islami.
Perhatikanlah realitas di sekitar kita. Jumlah keluarga yang kurang beruntung jauh lebih banyak ketimbang yang beruntung. Ada orangtua sibuk mencari nafkah di luar rumah sedang anak-anak mereka didik secara alamiah oleh lingkungannya. Ada pula orangtua yang abai kepada anak-anaknya karena merasa cukup dengan menyekolahkannya padahal ia sendiri punya banyak waktu bersama mereka.
Hasil didikan seperti itu: 63 persen remaja di Indonesia sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah, 97 persen anak di negeri ini sudah menonton film yang amat tak pantas mereka tonton, 93,7 persen anak-anak pernah melakukan pergaulan amat bebas dengan lain jenis, dan 21,2 persen remaja usia sekolah sudah melakukan aborsi. Naudzubillah!
Kalau pun anak-anak tersebut tinggal di perumahan islami, tidak otomatis mereka menjadi aman. Selalu saja ada “si pencuri iman” yang berhasil masuk tanpa kita sadari. Simak penuturan salah seorang ayah yang tinggal di sebuah perumahan islami di Depok, Jawa Barat, belum lama ini.
"Saya terkejut ketika anak saya suatu hari berkata kalau dia bisa melihat Allah," ceritanya. Anaknya ketika itu masih berusia 6 tahun.
Karena penasaran, sang ayah balik bertanya, "Bagaimana caranya Nak?"
Sang anak lalu meminjam handphone sang ayah, lalu dengan santai membuka browser internet, menulis kata google, kemudian mengklik icon image (gambar), dan menuliskan kata “Allah” di kotak pencari.
Setelah di-enter, muncullah gambar kaligrafi tulisan Allah dalam bahasa Arab di halaman pertama. Sang anak memperhatikan sebentar, namun karena merasa tak menemukan apa yang ia cari, ia mulai membuka halaman kedua. Sebelum “pengembaraan” anak tersebut betul-betul tak terkendali, sang ayah buru-buru meminta kembali handphonenya. Masya Allah!
Itu baru satu bentuk serangan kecil dari “si pencuri iman” bernama internet. Bentuk serangan lain bisa berupa gambar yang tak pantas, cerita yang tak elok, video yang vulgar, bahkan game yang tak mendidik.
Serangan juga bisa berasal dari televisi. Kotak bergambar yang satu ini hampir pasti ada di setiap rumah di Indonesia. Padahal, sedikit sekali ---bahkan mungkin tak ada--- tontonan mendidik yang ditayangkan oleh mereka.
Fakta-fakta seperti ini membuat para orang tua layak merasa tak aman membiarkan si buah hatinya seorang diri menghadapi para pencuri iman tersebut. Lama-lama, si buah hati tumbuh menjadi pelaku kriminal atau mengidap penyakit jiwa yang menyimpang.
Dampak lebih berbahaya adalah manakala sang buah hati mulai sulit membedakan mana yang benar menurut Islam dan mana yang tidak, mana yang dianjurkan oleh agama dan mana yang dilarang. Dan, dampak yang paling berbahaya adalah manakala akidah sang anak mulai tergadaikan.
Anak-anak tersebut harus kita lindungi, kita damping! Kitalah yang harus mendesain mereka agar tumbuh menjadi anak yang menyejukkan mata. Jangan biarkan lingkungan yang mendesain mereka, sehingga mereka tumbuh menjadi musuh kedua orang tuanya (At-Talaaq [65]: 14).
Wallahu a’lam
(Dipublikasikan di Majalah Karima edisi kedua, 2013)
Ustad setengah baya itu bingung ketika wartawan bertanya kepadanya bagaimana cara ia mendidik anak. Sebab, ia sendiri merasa tak melakukan hal-hal istimewa kepada anak-anaknya.
Sang ustad memiliki sembilan anak. Mereka semua tumbuh secara baik. Akhlak dan budi pekerti mereka baik. Mereka juga rajin beribadah. Dan, yang lebih penting, iman mereka terjaga.
Padahal, sang ustad punya “jam terbang” amat tinggi. Ia jarang sekali berada di rumah. Ia lebih banyak menghabiskan hidupnya berdakwah dari satu pelosok ke pelosok lain, dari satu kota ke kota yang lain, bahkan dari satu propinsi ke propinsi yang lain. Ini yang membuat sang wartawan tertarik untuk mengetahui bagaimana cara sang ustad mendidik anak-anaknya dalam kondisi seperti itu?
Sudah lewat satu jam wawancara dilakukan, tetap saja jawaban sang ustad tak ada yang istimewa. Semua biasa-biasa saja. Sang ustad hanya melakukan apa yang orang lain biasa lakukan. Selebihnya, kata sang ustad dengan nada berkelakar, “Anak saya memang sudah baik sejak lahir.”
Sang ustad memang beruntung karena Allah SWT mengaruniainya anak-anak seperti itu. Masalahnya, tak semua orang seberuntung dia: memiliki keluarga yang baik dan rumah amat sederhana di tengah-tengah lingkungan yang islami.
Perhatikanlah realitas di sekitar kita. Jumlah keluarga yang kurang beruntung jauh lebih banyak ketimbang yang beruntung. Ada orangtua sibuk mencari nafkah di luar rumah sedang anak-anak mereka didik secara alamiah oleh lingkungannya. Ada pula orangtua yang abai kepada anak-anaknya karena merasa cukup dengan menyekolahkannya padahal ia sendiri punya banyak waktu bersama mereka.
Hasil didikan seperti itu: 63 persen remaja di Indonesia sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah, 97 persen anak di negeri ini sudah menonton film yang amat tak pantas mereka tonton, 93,7 persen anak-anak pernah melakukan pergaulan amat bebas dengan lain jenis, dan 21,2 persen remaja usia sekolah sudah melakukan aborsi. Naudzubillah!
Kalau pun anak-anak tersebut tinggal di perumahan islami, tidak otomatis mereka menjadi aman. Selalu saja ada “si pencuri iman” yang berhasil masuk tanpa kita sadari. Simak penuturan salah seorang ayah yang tinggal di sebuah perumahan islami di Depok, Jawa Barat, belum lama ini.
"Saya terkejut ketika anak saya suatu hari berkata kalau dia bisa melihat Allah," ceritanya. Anaknya ketika itu masih berusia 6 tahun.
Karena penasaran, sang ayah balik bertanya, "Bagaimana caranya Nak?"
Sang anak lalu meminjam handphone sang ayah, lalu dengan santai membuka browser internet, menulis kata google, kemudian mengklik icon image (gambar), dan menuliskan kata “Allah” di kotak pencari.
Setelah di-enter, muncullah gambar kaligrafi tulisan Allah dalam bahasa Arab di halaman pertama. Sang anak memperhatikan sebentar, namun karena merasa tak menemukan apa yang ia cari, ia mulai membuka halaman kedua. Sebelum “pengembaraan” anak tersebut betul-betul tak terkendali, sang ayah buru-buru meminta kembali handphonenya. Masya Allah!
Itu baru satu bentuk serangan kecil dari “si pencuri iman” bernama internet. Bentuk serangan lain bisa berupa gambar yang tak pantas, cerita yang tak elok, video yang vulgar, bahkan game yang tak mendidik.
Serangan juga bisa berasal dari televisi. Kotak bergambar yang satu ini hampir pasti ada di setiap rumah di Indonesia. Padahal, sedikit sekali ---bahkan mungkin tak ada--- tontonan mendidik yang ditayangkan oleh mereka.
Fakta-fakta seperti ini membuat para orang tua layak merasa tak aman membiarkan si buah hatinya seorang diri menghadapi para pencuri iman tersebut. Lama-lama, si buah hati tumbuh menjadi pelaku kriminal atau mengidap penyakit jiwa yang menyimpang.
Dampak lebih berbahaya adalah manakala sang buah hati mulai sulit membedakan mana yang benar menurut Islam dan mana yang tidak, mana yang dianjurkan oleh agama dan mana yang dilarang. Dan, dampak yang paling berbahaya adalah manakala akidah sang anak mulai tergadaikan.
Anak-anak tersebut harus kita lindungi, kita damping! Kitalah yang harus mendesain mereka agar tumbuh menjadi anak yang menyejukkan mata. Jangan biarkan lingkungan yang mendesain mereka, sehingga mereka tumbuh menjadi musuh kedua orang tuanya (At-Talaaq [65]: 14).
Wallahu a’lam
(Dipublikasikan di Majalah Karima edisi kedua, 2013)