Jumat, 05 Oktober 2012

Cerdas Media

Wahai orang-orang beriman! Jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka telitilah kebenarannya ... (Al-Hujarat [49]: 6)


Joseph Gobel, juru propaganda Nazi Jerman dan Hitler, pernah berkata, "Jika kita mengulang-ulang kebohongan sesering mungkin, maka lama kelamaan rakyat pasti akan mempercayai kebohongan itu sebagai kebenaran."

Prinsip ini pernah digunakan Amerika Serikat (AS) saat menjatuhkan bom atom ke Hiroshima dan Nagasaki pada perang dunia kedua beberapa puluh tahun lalu.

Sebagai pembenaran atas pengeboman ini, negara Paman Sam tersebut sebelumnya membuat skenario memancing Jepang agar mau menggempur Pearl Harbor pada 1941.

Pancingan kena. Jepang tak sadar kalau mereka masuk dalam skenario yang dibuat AS. Gempuran Jepang justru menyebabkan dunia membenarkan tindakan AS membumihanguskan Hiroshima dan Nagasaki.

Skenario ini pula yang diduga kuat dilakukan oleh AS saat tragedi WTC  sekitar 11 tahun silam. Akibat peledakan ini dunia merasa perlu bekerja sama memberangus aksi terorisme di mana pun berada.

Anehnya, program ini amat memojokkan umat Islam dengan syariatnya, termasuk di Indonesia. Para pejuang syariat diidentikkan dengan kaum radikal yang amat berbahaya.

Propaganda ini lama kelamaan membuat masyarakat lebih takut kepada pria berjenggot dan bercelana cingkrang ketimbang pria bertato. Lebih menaruh curiga kepada pria yang rajin shalat dhuha ketimbang rajin nongkrong di perempatan jalan.

Ini semua buah dari sebuah skenario yang didesain amat rapi. Skenario ini tentu saja melibatkan media massa. Tanpa media, skenario ini tak akan ”ditonton” oleh masyarakat. Survei yang dilakukan BBC dan Reuters pada tahun 2006 di 10 negara, termasuk Indonesia, menunjukkan media lebih dipercaya dari pada pemerintah.

Ini fakta bahwa peran media amat besar dalam membangun opini masyarakat. Apalagi bila media dan pemerintah saling mendukung untuk membangun opini tersebut. Opini yang dibangun akan jauh lebih kuat.

Karena itulah masyarakat harus cerdas menelaah informasi yang disajikan oleh media. Masyarakat harus ”cerdas media.” Bagaimana caranya? 

Manakala ada orang fasik membawa berita, kata Allah SWT dalam al-Qur`an surat al-Hujarat [49] ayat 6, janganlah langsung dipercaya. Lakukan klarifikasi terlebih dahulu. Inilah cerdas media.

Siapa orang fasik itu? Para ulama menafsirkan, orang-orang fasik adalah orang-orang kafir, munafik, dan mereka yang gemar melakukan dosa-dosa besar.

Dalam konteks media massa, sifat fasik ini bisa disematkan pada dua hal. Pertama, kepada narasumber yang diwawancarai oleh media tersebut. Kedua, kepada media yang menyebarkan berita itu sendiri.

Kepada merekalah kita harus berhati-hati. Informasi yang disampaikan mereka jangan ditelan mentah-mentah. Selalu ada misi di balik berita yang mereka sebarkan.

Wallahu a’lam.

(Dipublikasikan oleh Majalah Suara Hidayatullah edisi Oktober 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat