Senin, 27 Februari 2012

Keputusan Allah Versus Keputusan Presiden

"Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu." (Riwayat Bukhari)

Awal tahun ini masyarakat dikejutkan oleh keinginan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) mencabut peraturan daerah (perda) tentang pelarangan minuman keras yang diterbitkan oleh sembilan pemerintah daerah.
Alasan Pak Menteri sederhana saja. Ia menganggap sembilan perda tersebut bertentangan dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3 Tahun 1997 tentang pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol yang levelnya berada di atas perda-perda tersebut.
Keppres tersebut menjelaskan bahwa minuman beralkohol golongan A (dengan kadar etanol 0-5 persen) diperbolehkan untuk diproduksi, diedarkan, dan dijualbelikan.
Jadi, menurut Pak Menteri, jika ada perda yang melarang pengedaran minuman beralkohol dengan kadar berapa pun, itu bertentangan dengan Keppres yang justru membolehkan minuman beralkohol golongan A.
Nah, sebagai abdi negara, Pak Menteri merasa wajib meluruskan perda-perda yang ”nakal” ini. Keputusan presiden baginya lebih patut dituruti ketimbang peraturan daerah. Begitulah logikanya.
Rencana Pak Menteri ini rupanya bukan sekadar wacana. Bahkan, sejak beberapa bulan sebelum isu miras ini menghangat, ia sudah mengambil tindakan.
Pada kasus Tangerang, Banten, misalnya, Republika Online melaporkan bahwa sejak pertengahan tahun 2011, Pak Menteri telah berkirim surat kepada Walikota agar menghentikan pelaksanaan perda nomor 7 tahun 2005 tentang pelarangan peredaran dan penjualan minuman beralkohol di kota ini.
Aksi Pak Menteri ini tentu saja menuai reaksi keras dari umat Islam di daerah tersebut. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Tangerang bersama 11 Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam Kota Tangerang sepakat menolak rencana pencabutan ini.
Pak Menteri, lewat juru bicaranya ketika itu, tetap tak bergeming. Katanya, "Itu sudah sesuai ketentuan!”
Ketentuan siapa? Tentu ketentuan presiden, ”majikan” Pak Menteri. Bukan ketentuan Sang Khaliq yang levelnya jauh lebih tinggi ketimbang presiden.
Kemarahan Sang Presiden agaknya lebih ditakuti Pak Menteri ketimbang kemurkaan Sang Khaliq, sehingga ia rela menafikkan aturan Sang Penciptanya yang mengharamkan minuman beralkohol meski kadarnya sangat kecil.
Pak Menteri rupanya memilih untuk mengambil keputusan ”amat berani”. Keputusan itu kelak akan ia pertanggungjawabkan ke hadapan Sang Khaliq di pengadilan akherat.
Bagi siapa saja yang ingin menjadi pejabat negara, sebagai mana Pak Menteri, cerita ini amat menarik untuk kita jadikan bahan renungan.
Pilihan sebagaimana dihadapkan kepada Pak Menteri, akan kerap kita temui. Siapkah kita memilih, lalu mempertanggung jawabkan pilihan itu kepada Sang Pencipta? Sungguh naif jika jabatan tersebut justru akan mengantarkan kita kepada neraka jahannam yang amat menakutkan.
Ada baiknya kita luruskan niat terlebih dahulu sebelum kita memutuskan untuk menjadi pejabat publik. Tanyakan kepada hati kecil apa yang ingin kita cari dengan jabatan tersebut? Apakah ridho Allah, atau sekadar memuaskan nafsu semata?
Semoga Pak Menteri mau memikirkan kembali rencana pencabutan perda miras itu. Wallahu a’lam.

Dipublikasikan oleh Majalah Suara Hidayatullah edisi Februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat