Selasa, 20 Desember 2011

Ke Manakah Media Islam?

Ketika sebuah undangan mampir ke meja Pimpinan Redaksi Kelompok Media Hidayatullah, sebuah harapan muncul. Maklum, si pengirim undangan adalah Kementrian Agama, sedang isi undangan adalah permintaan menjadi peserta pada Konferensi Media Islam Internasional Kedua (the Second International Conference on Islamic Media).
Wajar jika harapan itu muncul. Sebab, selama ini media-media Islam di Indonesia tak pernah "dianggap ada”. Bahkan pemerintah, lewat Kementrian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, nyata-nyata menempatkan media-media Islam sebagai media komunitas. Itu artinya, media-media Islam dianggap hanya beredar di komunitas tertentu saja.
Adanya konferensi internasional ini seolah memberikan harapan akan kembalinya eksistensi media-media Islam di negeri berpenduduk mayoritas Muslim ini sebagaimana pernah terjadi pada masa kemerdekaan dahulu kala. Konferensi ini menyadarkan media-media Islam di negeri ini bahwa sudah saatnya mereka duduk bersama membicarakan diri mereka dan eksistensi mereka.
Saat pertama kaki melangkah ke hotel di mana konferensi tersebut digelar, nuansa kemewahan langsung terasa. Maklum, hotel yang berdiri megah di kawasan paling elit di Jakarta ini kerap dipakai untuk perhelatan mewah orang-orang berduit.
Tak terbayang berapa biaya yang terpakai untuk menggelar konferensi ini. Sebagai gambaran, ada 400 peserta yang menginap di hotel ini, baik dari dalam negeri maupun dari luar. Semua biaya akomodasi dan transportasi peserta ditanggung oleh panitia. Rasa-rasanya tak mungkin media Islam di negeri ini mampu menggelar konferensi semewah ini. Untuk menghidupi dirinya sendiri saja rasanya sudah sulit, apalagi menggelar perhelatan sebesar ini.
Sebuah pohon natal menjulang tinggi lengkap dengan asesorisnya menyambut kedatangan peserta konferensi. Pohon itu berdiri tak begitu jauh dari meja pendaftaran peserta, juga tak begitu jauh dari pinto lobi. Wajar saja! Sebab, hotel itu bukan hotel syariah. Mereka agaknya ingin ikut merayakan pesta Natal yang tak lama lagi tiba.
Konferensi dimulai dengan bacaan Surat Al-Hujurat [49] ayat 6, serta dibuka dengan pukulan gong oleh Wakil Presiden Boediono. Tepuk tangan membahana saat gong itu menggaung. Tak terdengar pekikan takbir.
Esok harinya, sesi demi sesi dimulai. Seorang wartawati beragama Khatolik dari media nonreligius terlihat serius sekali mendengarkan sang pembicara. Sementara seorang peserta wanita berbusana Muslimah mondar madir menghampiri teman-temannya yang duduk berpencar. Terkadang ia berjalan ke tengah, kadang lagi ke pinggir. Tak ada pemisah antara peserta pria dan wanita.
Jumlah pemateri lebih dari 15 orang. Sebagian di antara mereka berasal dari Indonesia.
Yang menarik, tak ada satu pun pembicara berasal dari media Islam Indonesia. Padahal, media Islam ketika itu menjadi objek yang sangat sering dibicarakan. Bahkan dari 400 peserta yang hadir, sedikit sekali berasal dari media Islam, apalagi media Islam Indonesia.
Ke manakah media Islam Indonesia? Agaknya di negeri ini media Islam hanya menarik untuk dibicarakan, tapi tidak menarik untuk didekati.
Bahkan, sejumlah pandangan negatif kerap disematkan kepada mereka. Media-media Islam dituding bertanggungjawab atas tindak kekerasan atas nama agama yang belakangan marak terjadi. Tudingan tersebut sering dilontarkan pada acara-acara yang digelar Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Padahal, media vulgar tak pernah dianggap bertanggungjawab atas maraknya seks bebas dan pelecehan seksual di negeri ini. Lalu apa bedanya?
Konferensi kemudian ditutup dengan pembacaan deklarasi. Meski konferensi tersebut bertajuk ”media Islam” (Islamic Media), namun yang dibacakan bukan deklarasi media-media Islam, melainkan deklarasi ”media di negara-negara Islam” (declaration on media in the Muslim Word).
Lagi-lagi media Islam di negeri ini tak pernah dianggap ada. Mengapa? Wallahu a'lam.


Dipublikasikan oleh Hidayatullah.com pada 18 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat