Jumat, 16 Desember 2011

Bumi Tak Akan Kekurangan Pangan

... Janganlah membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka ...” (Al-An’am [6]: 151)

o0o

Persawahan di wilayah Cibuntu, kaki Gunung Ciremai, Jawa Barat.

Dua menit sebelum tengah malam pada Ahad, 30 Oktober 2011, di rumah sakit Bersalin Pemerintah Fabella, Manila, Filipina, lahir seorang bayi bernama Danica Camacho. Bayi ini didaulat oleh perwakilan PBB di negara tersebut sebagai bayi ke 7 miliar. 

Jika prediksi ini benar maka saat ini jumlah penduduk dunia sudah mencapai 7 miliar jiwa. China berada di urutan pertama negara berpenduduk terbanyak, disusul India, Amerika Serikat, dan berikutnya Indonesia. 

Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) memprediksi jumlah penduduk Indonesia saat ini 241 juta jiwa. Tiap tahun penduduk Indonesia bertambah 3,5 juta hingga 4 juta jiwa, atau sama dengan total jumlah penduduk Singapura. Artinya, setiap tahun Indonesia ketambahan penduduk sebesar jumlah penghuni Singapura. 

BKKBN lantas melakukan survei atas pasangan usia subur di Indonesia. Hasilnya, kebanyakan mereka menginginkan anak lebih dari tiga. Inilah yang dituding biang penyebab mengapa jumlah penduduk di Indonesia tinggi. 


Persoalan muncul bila banyaknya anak dikaitkan dengan kemiskinan dan kerepotan sebagaimana kerap kita saksikan di iklan layanan masyarakat milik BKKBN. Justru kita tak boleh takut miskin dan kelaparan karena punya banyak anak. Tak mungkin Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan manusia tanpa menyediakan bahan makanan yang cukup. 

Logika sederhananya begini. Bila kita ingin memelihara binatang di rumah kita, tentu kita akan menyesuaikan jumlahnya dengan kemampuan kita memberinya makanan dan kenyamanan. 

Bila manusia saja seperti itu, apalagi Allah Ta'ala Yang Maha Pemelihara. Tak mungkin Dia menciptakan manusia tanpa memperhitungkan ketersediaan bahan makanan di muka bumi yang juga ciptaan-Nya. 

Lalu mengapa kita masih sering menyaksikan keluarga-keluarga miskin yang kelaparan? Jawabnya tentu bukan karena mereka punya banyak anak. 

Kemiskinan di suatu daerah lebih disebabkan kurangnya pemerataan ekonomi di daerah itu, atau penguasaan sumberdaya alam oleh segelintir orang saja, diperparah lagi dengan masyarakat yang gemar menumpuk-numpuk harta. 

Singkatnya, kemiskinan dan ketertinggalan lebih disebabkan karena penguasa yang salah mengambil kebijakan ekonomi. Nah, jika penanggulangan masalah ini dipintakan kepada rakyat dengan cara membatasi jumlah anak, rasa-rasanya ini keliru. 

Coba perhatikan, betapa banyak orang miskin yang memiliki banyak anak, namun bisa menjalani hari-hari mereka dengan penuh keceriaan dan kehangatan. Sebaliknya, banyak pula orang kaya yang tak punya banyak anak namun sulit menjalin komunikasi yang baik dengan putra-putri mereka. 

Solusi mengatasi kemiskinan dan kekurangan makanan bukan dengan membatasi jumlah kelahiran. Sebab, setiap anak yang dilahirkan membawa rezekinya masing-masing. 

Keharmonisan dan kebahagiaan keluarga tidak pula ditentukan oleh sedikitnya anak. Sebab, anak semata wayang yang tak terdidik secara baik, besar kemungkinan akan merepotkan orang tuanya, baik mereka kaya atau miskin. 

Jadi, jangan batasi kelahiran. Jangan pula merasa takut miskin hanya karena memiliki banyak anak. 

Wallahu a’lam. 


(Dipublikasikan di rubrik Salam, Majalah Suara Hidayatullah edisi Desember 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat