Jumat, 29 Juli 2011

Menghormat Selembar Kain

Tidak ada ketaatan kepada makhluk jika untuk durhaka kepada Sang Pencipta (Riwayat Ahmad).

Awal Juni lalu, pemerintah Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, disibukkan oleh ulah dua sekolah di daerah itu yang menolak memberi hormat kepada selembar kain berwarna merah dan putih saat upacara.
Penolakan ini sebetulnya bukan sekali itu saja. Sudah sejak lama mereka tidak melakukan penghormatan –dengan mengangkat tangan kanan di atas kening--- kepada selembar kain tersebut.
Namun entah mengapa, awal Juni lalu, mereka mendapat teguran keras, bahkan ancaman pencabutan izin operasional, dari pemerintah setempat. Mereka dituding tidak nasionalis dan tidak mencintai negara ini.
Lantas, apakah benar jiwa nasionalis bisa diukur dengan cara berdiri tegak menghadap selembar kain berwarna merah dan putih sembari mengangkat tangan kanan di atas kening?
Menghormat kepada bendera memang tidak lantas membuat orang menjadi kafir atau musyrik. Namun, menghormat kepada bendera tidak pula lantas membuat orang menjadi nasionalis.
Percayalah, meski setiap hari para siswa itu disuruh menghormat kepada bendera, tetap saja tak menjamin mereka akan mencintai dan membela negara ini.
Justru sebaliknya, fakta mengungkapkan betapa banyak aparat pemerintah, dari tingkat kelurahan sampai kementerian, yang diajarkan untuk menghormat kepada bendera setiap hari Senin, melakukan praktik korupsi, kecurangan, dan tindakan asusia.
Pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bendera kerap dibawa saat peperangan. Bendera tersebut harus dipertahankan jangan sampai jatuh. Jika jatuh maka jatuh pula kehormatan pasukan Islam.
Pengorbanan Ja’far bin Abu Thalib memperjuangkan tegaknya bendera Islam dalam perang Mu’tah adalah kisah yang bisa kita ambil teladannya. Ketika satu tangannya putus disabet pedang lawan, maka bendera tersebut ia pegang dengan tangan yang lain.
Ketika kedua tanganya terputus, ia masih mencoba memeluk panji tersebut agar tetap tegak berdiri. Upaya tersebut ia lakukan hingga menemui ajalnya sebagai syuhada.
Pertanyaannya, apa yang diajarkan Rasulullah SAW kepada Ja’far sehingga sepupunya itu begitu gigih mempertahankan panji-panji Islam agar tetap tegak berdiri? Apakah Rasulullah SAW menyuruh Ja’far menghormat kepada selembar kain tersebut setiap hari Senin?
Tentu saja tidak! Tak pernah Rasulullah SAW mengajarkan hal itu. Sebab, panji-panji itu hanya simbol, tak lebih sekadar benda mati. Ja’far pun paham betul akan hal itu. Namun, dalam sebuah peperangan, membela panji-panji Islam agar tetap berdiri sama halnya seperti membela Islam itu sendiri.
Andai hari ini Indonesia diserbu oleh musuh sebagaimana dulu Belanda dan Inggris menjajah kita, maka siapakah yang berani tampil untuk mempertahankan negara ini seperti halnya Ja’far bin Abu Thalib?
Para santri yang setiap hari diajarkan makna jihad ---meskipun kini kata jihad dianggap momok oleh aparat pemerintah--- pastilah akan serentak turun ke medan laga berjuang membela bangsa sembari meneriakkan kata-kata, ”Allahu Akbar!”, kata yang dulu diteriakkan Bung Tomo ketika berjuang mengusir penjajah dari bumi Surabaya.
Lalu bagaimana dengan para pelajar yang saban Senin pagi diwajibkan menghormat kepada bendera merah putih? Apakah mereka juga mau turun ke medan laga membela bangsa? Wallahu a’lam.

(Dipublikasikan oleh Majalah Suara Hidayatullah edisi Juli 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat