Sebuah organisasi massa pasti ingin dikenal oleh publik. Jika upaya mereka mengenalkan diri berjalan alami saja, hasilnya tak akan memuaskan. Perlu bagian khusus yang bertugas menangani hal ini. Bagian tersebut bernama Hubungan Masyarakat, atau disingkat Humas.
Berikut mindmap (alur berpikir) dari pertanyaan, "Mengapa organisasi membutuhkan Humas?"
Dari mindmap di atas kita bisa melihat dua hal penting terkait Humas. Pertama, organisasi harus dikenal baik oleh masyarakat (publik). Karena itu, perlu strategi agar masyarakat tahu, paham, lalu tertarik, dan mau mendukung apa yang dicita-citakan organisasi.
Kedua, akan selalu ada orang atau lembaga yang tak suka dengan organisasi kita, baik dengan visi, misi, orang-orang yang terlibat di dalamnya, atau kegiatan yang dilakukan. Mereka ini akan senantiasa menghalangi, bahkan --jika mungkin-- menghancurkan organisasi kita.
Dari dua hal tersebut kita bisa simpulkan dua fungsi utama Humas. Pertama, fungsi promosi. Kedua, fungsi antisipasi dampak negatif atas informasi atau berita yang beredar tentang organisasi kita.
Mari kita bahas dua fungsi tersebut satu per satu.
Fungsi Promosi
Fungsi pertama Biro Humas adalah promosi, yakni upaya untuk memperkenalkan organisasi (atau perusahaan) kepada publik sehingga muncul persepsi positif.
Fungsi promosi paling efektif dan efisien bila dilakukan lewat media. Saat ini media paling murah dengan jangkauan paling luas adalah media online, baik lewat website atau media sosial (termasuk youtube). Media-media inilah yang akan kita gunakan untuk membangun opini yang baik kepada publik.
Hanya saja, media tidak bisa berdiri sendiri tanpa didukung organisasi. Media tak akan bisa membuat berita tanpa disediakan "bahan baku" oleh organisasi. Bahan baku paling sederhana adalah program yang bermanfaat bagi publik.
Semakin banyak program tentu akan semakin bagus. Sebab, semakin banyak materi publikasi yang bisa dibuat oleh Humas. Ibarat pistol, semakin banyak pelurunya maka akan semakin banyak pula tembakannya. Program adalah salah satu "peluru" yang akan "ditembakkan" kepada publik.
Tentu saja program bukan satu-satunya bahan baku yang bisa "dimainkan" oleh Humas untuk dibentuk menjadi konten publikasi. Selain program, bisa juga karakter baik yang dimiliki organisasi. Misalnya, manhaj, jati diri, visi, misi, karakter, dengan segala implementasinya.
Hanya saja, kedua hal di atas kebanyakan sangat bersifat internal. Padahal publik bukan bagian internal dari organisasi. Jadi, besar kemungkinan publik tak akan tertarik dengan berita-berita (atau artikel) seperti itu.
Karena itu, para kader organisasi perlu membantu Humas untuk "menembakkan" berita-berita jenis ini ke media sosial atau grup komunikasi yang ia ikuti. Atau, bisa pula seperti "penembak jitu" yang selalu melepaskan peluru kepada sasaran tertentu yang ia bidik. Artinya, berita-berita seperti ini bisa "ditembakkan" oleh para kader organisasi kepada orang-orang yang memang ia incar. Misal, calon donatur, para pejabat publik yang hendak ia dekati, atau calon anggota baru yang sedang ia bujuk. Hal ini untuk memberi gambaran bahwa organisasi tersebut hidup, dinamis, dan banyak berbuat.
Perlu Keberanian
Selain "peluru-peluru" yang bersifat internal, Humas juga bisa memproduksi "peluru" yang bersifat eksternal. Hanya saja, jenis "peluru" seperti ini memerlukan bahan baku yang tak mudah. Bahan baku tersebut harus disukai oleh publik, bukan sekadar oleh kader atau anggota organisasi. Harapannya, publik juga ikut menyebarkan berita/artikel tersebut kepada komunitasnya.
Lalu seperti apa berita-berita yang disukai oleh publik? Salah satunya, pernyataan organisasi tentang keberpihakan kepada persoalan/kepentingan publik dalam bentuk siaran/pernyataan pers.
Harus diakui pernyataan publik seperti ini tak mudah dibuat oleh organisasi. Ia butuh keberanian dan kesiapan, bukan sekadar basa-basi. Sebab, boleh jadi pernyataan publik ini bakal menjadi perbincangan di tengah masyarakat dan ditindaklanjuti oleh para wartawan dengan pertanyaan-pertanyaan mendalam. Jika tidak siap, ini bakal menjadi bumerang bagi organisasi.
Humas tentu tak bisa langsung membuat pernyataan kepada publik bila ada isu menarik untuk disikapi. Yang bisa membuat pernyataan adalah pimpinan organisasi, atau minimal sekretaris jenderal (sekjen). Humas hanya mengemas dan mempublikasikannya saja. Kalau pun Humas harus bicara di depan wartawan, tetap dalam koridor keputusan yang telah ditetapkan organisasi.
Jadi, semua pada akhirnya terpulang kepada organisasi. Di sisi lain, organisasi juga punya keterbatasan ketika harus mengeluarkan siaran/pernyataan pers. Misalnya, ketika organisasi telah mengeluarkan sikap dukungan (keberpihakan) kepada pemerintah, maka pernyataan yang mengkritik kebijakan/sikap pemerintah tak akan sejalan dengan strategi politik organisasi. Padahal, biasanya, pernyataan yang mengkritik pemerintah lebih disukai publik.
Ketakutan atau kekhawatiran yang berlebihan dari organisasi untuk mengeluarkan pernyataan/siaran pers bisa menyebabkan Humas kesulitan untuk menjalankan fungsi promosi kepada eksternal. Sekali lagi, ini semua butuh keberanian!
Hindari Cara Instan
Para pakar komunikasi berkata, berita yang berhasil adalah berita yang diperbincangkan oleh publik. Semakin diperbincangkan maka semakin viral. Berita yang sekadar nongol di media mainstream namun tak menjadi perbincangan publik, tak bakal viral. "Waktu hidup"nya tak bakal bertahan lama. Sekali nongol, langsung tenggelam.
Agar berita yang dibuat Humas bisa menjadi perbincangan publik maka ia harus menarik buat publik, bukan sekadar nongol di beberapa media mainstream. Sayangnya, banyak organisasi yang tak menyadari hal ini. Mereka mengeluarkan uang dalam jumlah besar hanya untuk membuat berita yang dibuat Humas bisa nongol di media mainstream.
Yang lebih miris, Humas rela menyogok para wartawan atau redaktur media mainstream agar beritanya bisa nongol. Ini mereka lakukan untuk menghemat anggaran publikasi. Sebab, membeli space iklan advertorial jelas sangat tinggi nilainya. Sedangkan membayar para wartawan atau redaktur yang sebenarnya sudah digaji oleh perusahaan pers tempat mereka bekerja menjadi jalan pintas.
Ini salah satu cara intan yang seharusnya dihindari oleh Humas. Cara instan lainnya adalah berbasa-basi dalam mengeluarkan pernyataan publik. Maksudnya, organisasi tak serius mengeluarkan pernyataan publik, sekadar untuk menunjukkan kalau mereka peduli, padahal mereka tak betul-betul serius dengan pernyataan tersebut. Jika publik tahu, maka turunlah kepercayaan publik kepada organisasi itu.
Pembahasan selanjutnya tentang fungsi antisipasi insya Allah akan saya paparkan dalam artikel berbeda di lain waktu. Ikuti terus ya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat