NAMRUD, para sejarawan berselisih pendapat tentang raja yang satu ini. Siapakah dia? Di manakah kerajaannya?
Peta wilayah Mesopotamia |
Namun, menurut Mujahid, salah seorang periwayat hadits, Namrud adalah raja besar pada zamannya. “Raja-raja besar yang memerintah dari timur hingga barat di dunia ini ada empat. Dua beriman dan dua kafir. Dua raja yang beriman adalah Sulaiman bin Dawud dan Dzul Qarnain. Adapun dua raja yang tidak beriman adalah Namrud dan Nebukadnezar,” kata Mujahid.
Tentang di mana letak kerajaan Namrud, sebagian besar sejarawan meyakini bahwa Namrud adalah raja di Babilonia. Letaknya di antara Sungai Tigris dan Eufrat, atau di wilayah Mesopotamia, kira-kira berada di wilayah Irak pada masa sekarang.
Namun ada pula sejarawan yang berpendapat letak kerajaan Namrud di kaki Gunung Hermon, di Dataran Tinggi Golan bagian utara (sekarang berada di wilayah Israel). Lokasi ini memang strategis untuk mengawasi wilayah Syam (atau Levant dalam bahasa Prancis), yakni Suriah, Yordania, Israel, hingga Palestina. Bahkan, menurut laporan _Atlas Obscura_, bekas benteng Raja Namrud masih berdiri sampai sekarang.
Lalu siapakah sosok Namrud? Para sejarawan pernah mencatat seorang raja yang mashur pada zaman Babilonia Lama. Namanya Hammurabi. Dialah yang memberlakukan undang-undang yang dipahatkan pada tugu batu pada tahun 1754 SM. Tingginya mencapai 2,25 meter. Inilah undang-undang tertua di dunia.
Apakah Namrud adalah Hammurabi? Beberapa sejarawan Islam berpendapat seperti itu. Ini didasarkan kepada kesamaan masa hidup dan wilayah yang ditempati. Namun, beberapa yang lain membantahnya.
Terlepas dari silang pendapat tersebut, al-Qur'an telah menceritakan dengan cukup detil kisah perdebatan antara Raja Namrud yang kafir dan Nabi Ibrahim AS yang mengajaknya untuk menyembah kepada Allat Ta'ala semata. Bahkan, Namrud bukan sekadar kafir, ia juga menjadikan dirinya Tuhan. Orang-orang lain dipaksa untuk mengakuinya dan mengabdi kepadanya.
Ibnu Katsir menyebut bahwa Namrudz sebenarnya adalah cicit Nabi Nuh AS. Ia adalah putra Kanaan bin Kush bin Sam bin Nuh. Para ahli sejarah telah menemukan sejumlah bukti bahwa banjir besar pada zaman Nabi Nuh terjadi di wilayah Mesopotamia, di dekat Babilonia.
Nabi Ibrahim AS diperkirakan lahir sekitar tahun 1997 SM di sebuah daerah bernama Kaldea di Babilonia. Ketika remaja, ia gelisah melihat kehidupan orang-orang di sekitarnya --termasuk ayahnya sendiri-- yang suka menyembah berhala. Ia kerap mengajak masyarakat di tempat itu untuk berpikir jernih tentang penciptaan alam semesta dan ke-Mahakuasa-an Sang Pencipta. Ibrahim muda menyampaikan hujjah yang sederhana, mudah dipahami, namun tak terbantahkan.
Namun, Ibrahim AS sadar, masyarakat di sana tak cukup diberitahu lewat lisan yang baik. Mereka perlu juga disodorkan bukti. Bukan bukti biasa, namun bukti yang bisa "memukul telak" keasadaran mereka. Sebab, bukti biasa sudah sering ia perlihatkan, namun tak juga membuat mereka sadar.
Lalu, terbesitlah sebuah rencana yang amat berani. Rencana itu ia susun dengan matang dan akan ia jalankan ketika Hari Raya tiba.
Hari yang dinanti tiba. Penduduk Harran, tempat Ibrahim tinggal, tengah bersiap-siap menghadiri perayaan besar di kota mereka. Ibrahim AS diajak oleh keluarganya untuk menghadiri perayaan tersebut. Namun ia menolak. Ia mengatakan, "Sesungguhnya aku (sedang) sakit," (Ash Shaffat [37]: 89).
Ibrahim AS sebenarnya berbohong. Menurut Dr Hamid Ahmad Ath Thahir dalam bukunya _Kisah-kisah Dalam al-Qur'an_, inilah kebohongan pertama yang dilakukan Ibrahim AS namun dimaklumi oleh Allah Ta'ala demi tegaknya dakwah. Semua orang berangkat ke perayaan itu kecuali Ibrahim AS. Dia malah pergi ke tempat penyembahan dengan sembunyi-sembunyi.
Sesampai di sana, Ibrahim AS menyuguhkan beberapa jenis makanan kepada tuhan-tuhan palsu tersebut. Tentu saja patung-patung itu tak bergerak.
Ibrahim AS berkata, "Mengapa kalian tidak (mau) makan?" (Ash-Shaffat [37]: 91)
Patung-patung itu tetap diam.
Lalu Ibrahim AS bertanya lagi, "Mengapa kalian tidak menjawab?" (Ash-Shaffat [37]: 92)
Patung-patung itu masih saja diam. Akhirnya, Ibrahim AS mengambil kapak dan menghancurkan patung-patung itu satu per satu kecuali satu patung yang paling besar. Ibrahim AS menaruh kapak di tangan patung tersisa tersebut.
Tak lama kemudian orang-orang pulang dan mendapati berhala-berhala sesembahan mereka hancur berantakan. Mereka berkata, "Siapakah yang melakukan (perbuatan) ini terhadap tuhan-tuhan kami? Sungguh dia termasuk orang yang zalim." (al-Anbiya [21]: 59).
Sebagian di antara mereka memberi informasi, "Kami mendengar ada seorang pemuda yang mencela (berhala-berhala ini). Namanya Ibrahim." (al-Anbiya [21]: 60).
Yang lain berkata, "(Kalau demikian) bawalah dia dengan diperlihatkan kepada orang banyak agar mereka menyaksikan." (al-Anbiya [21]: 61).
Maka Ibrahim AS pun didatangkan ke tempat pemujaan di mana orang-orang masih berkumpul. Salah seorang dari mereka berkata, "Apakah engkau yang melakukan (perbuatan) ini terhadap tuhan-tuhan kami, wahai Ibrahim?" (al-Anbiya [21]: 62).
Ibrahim AS menjawab, "Sebenarnya (patung) besar itu yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada mereka jika mereka dapat berbicara." (al-Anbiya [21]: 63).
Orang-orang kebingungan mendengar jawaban Ibrahim muda. Begitu cepat para penyembah berhala ini dikalahkan dengan hujjah. Meskipun mereka tahu Ibrahim berkata bohong --dan ini adalah kebohongan kedua Ibrahim AS yang dimaklumi oleh Allah Ta'ala -- namun hati kecil mereka sadar bahwa pesan yang ingin disampaikan oleh Ibrahim benar adanya.
Mereka kemudian berkata, "Engkau (Ibrahim) pasti tahu bahwa (berhala-berhala) itu tidak dapat berbicara." (al-Anbiya [21]: 65).
Ibrahim AS menjawab, "(Lantas) mengapa kalian menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) medatangkan mudarat kepada kalian? Celakalah kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah! Tidakkah kalian mengerti?" (al-Anbiya [21]: 66-67)
Ketika argumentasi tak lagi bisa dipakai oleh kaum Nabi Ibrahim AS karena selalu kalah oleh hujah Sang Khalilullah (hamba kesayangan Allah), maka tak ada jalan lain kecuali kekuatan fisik yang mereka gunakan.
Mereka berteriak kepada sesama mereka, "Buatlah bangunan (perapian) untuknya (membakar Ibrahim), kemudian lemparkan dia ke dalam api yang menyala-nyala itu," (Ash-Shaffat [37]: 97).
Yang lain juga berteriak, "Bakar dia (Ibrahim AS) dan bantulah tuhan-tuhan kalian (yang telah dihancurkan Ibrahim AS) jika kalian benar-benar hendak berbuat." (Al-Anbiya [21]: 68).
Lalu, para penyembah berhala itu membuat lubang besar dan dalam seakan hendak mengubur Ibrahim AS ke dasar bumi dan tidak berharap ia keluar lagi. Mereka semua berusaha mengumpulkan kayu bakar, memasukkannya ke dalam lubang tersebut, sampai-sampai ada seorang wanita yang sedang sakit bernazar, jika ia sembuh nanti akan ikut mengumpulkan kayu bakar untuk membakar Ibrahim AS.
Kemudian mereka mengobarkan api hingga menyala-nyala seperti lidah setan. Mereka juga membuat manjaniq (alat perang zaman dulu untuk melemparkan batu besar) untuk melemparkan Ibrahim AS ke dalam kobaran api tersebut. Tak lupa, mereka mengikat tubuh Ibrahim AS untuk menghinakannya.
Dalam keadaan tak berdaya seperti itu, hanya Allah Ta'ala yang bisa membantu Nabi Ibrahim AS. Ia berdoa kepada kekasihnya sekaligus penguasa atas dirinya, Tuhan Rabbul 'alamin. Ia yakin, jika Allah Ta'ala berkehendak, tak ada yang sulit bagi-Nya. Bukankah semua mahluk di atas dunia ini berlaku atas perintah Allah Taala? Pun termasuk api yang menyala-nyala itu. Allah Ta'ala hanya menyeru, "Wahai api! Jadilah engkau dingin dan penyelamat bagi Ibrahim!" (al-Anbiya [21]: 69). Maka, api pun memenuhi perintah Rabb-nya. Ia menjadi dingin dan menyelamatkan Ibrahim AS.
Saat api menyala berkobar-kobar, Namrud juga ada di lokasi tersebut dan ikut menyaksikan bagaimana Ibrahim tak mempan dibakar oleh api. Karena penasaran dengan pemuda ini, Namrud lalu meminta agar Ibrahim dihadapkan kepadanya. Setelah berhadap-hadapan, Namrud bertanya, "Siapakah Robb-mu yang engkau menyeru orang-orang kepada-Nya itu?"
Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Ibrahim untuk berdakwah kepada penguasa itu. "Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan," jawabnya.
Namrud langsung menimpali, "Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan."
Ibrahim AS yang cerdas lalu berkata lagi, "Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat."
Namrud tak bisa membantah lagi. Namun, ia tetap tak beriman kepada Allah Ta'ala, Tuhan yang seharusnya dia sembah. Sadarlah Ibrahim bahwa negerinya adalah negeri kekafiran. Ia tak seharusnya berada di sini. Sebab di sini, bukan saja ia dimusuhi oleh raja dan masyarakatnya, namun juga oleh ayahnya sendiri, Azar, sang Paganis.
Ibrahim akhirnya pergi melintasi sungai Eufrat, meninggalkan negerinya, membawa serta isterinya, Sarah, dan keponakannya, Luth. Tentang ini, dijelaskan dalam al-Qur'an surat al-Anbiya [21] ayat 7, "Dan Kami selamatkan dia (Ibrahim) dan Luth ke sebuah negeri yang telah Kami berkahi untuk seluruh alam." Negeri apa itu? Itulah Palestina yang di dalamnya terdapat Baitul Maqdis. Itulah negeri yang menyimpan berjuta harapan.
Selain Sarah dan Luth, Ibrahim juga membawa seorang budak wanita yang diperoleh Sarah saat berada di Mesir setelah berhasil mengobati raja zalim yang berkuasa di sana. Budak wanita tersebut tak lain adalah Hajar.
Di negeri yang diberkahi inilah kisah Ibrahim, Sarah, dan Hajar dimulai. Dari sinilah cikal bakal sebuah kaum, yakni Bani Israil, dimulai. Dari sini pula, cerita tentang asal-usul Rasulullah SAW dimulai. Dan, dari sini pula kisah tentang Baitul Maqdis dimulai. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat