Sabtu, 12 November 2022

Kita Ini Dibuat Sibuk

Dulu, kejadian di sebuah kampung kecil di belahan Nusantara, hanya akan diketahui oleh penduduk kampung itu saja. Sekarang, setelah lebih dari 70 persen masyarakat Indonesia terakses internet, kejadian di pelosok kampung bisa diketahui oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, bahkan dunia, dengan cepat. 

Berkomunikasi sudah menjadi kebutuhan mendasar manusia saat ini.

Dulu, hanya wartawan yang bisa menyebarkan informasi lewat media tempat ia bekerja. Itu pun mereka terikat dengan kode etik profesi. Tak bisa asal bikin dan asal tayang. 

Sekarang, semua orang bisa menyebarkan informasi dengan sangat mudah lewat internet tanpa terikat oleh kode etik apa pun. 

Ini semua tentu menimbulkan dampak. Yang terparah adalah tersebarnya fitnah secara luas dan cepat. 

Ada yang melakukannya tanpa sengaja karena kurang hati-hati. Mereka biasanya terjangkiti virus "share". Tak sedikit pula yang memang sengaja melakukannya untuk tujuan tertentu semisal politik. Akibatnya, banyak yang termakan propaganda, banyak pula yang menjadi korban fitnah.

Dampak lain dari bebasnya peredaran informasi dan jauhnya jangkauan komunikasi adalah kian mudahnya orang-orang jahat melakukan adu domba.  Ada yang melakukannya dengan cara halus, ada pula yang bermain kasar. Celakanya, yang terpecah belah bukan saja satu kampung, tapi satu negara. 

Caci maki memenuhi laman-laman media sosial. Kabar hoax berhamburan di mana-mana. Belum sempat satu berita kita tabayyun, telah datang lagi berita yang lain. Semua berjalan begitu cepat dan begitu mudah. 

Ada pula upaya mencitrakan buruk orang-orang baik, atau mencitrakan baik orang-orang buruk. Yang lebih berbahaya, upaya mempersepsikan benar sebuah kesalahan, atau mempersepsikan salah sebuah kebenaran. Akibatnya, jalan yang lurus kian dijauhi karena akhirat dianggap ilusi, sementara jalan yang bengkok kian digandrungi karena ia memanjakan nafsu yang bisa dinikmati saat ini.  

Ini semua pada akhirnya menimbulkan perang opini. Manusia dipaksa berdiri di sebuah gelanggang besar. Di gelanggang itu, semua manusia menjadi petarung. Bukan sekadar antara pemilih jalan bengkok dan jalan lurus, tapi juga antar sesama pemilih jalan bengkok karena memperebutkan duniawi. 

Lalu, ada di mana para juru dakwah? Apa yang harus mereka lakukan? Tak mungkin mereka mengajak umat untuk pergi meninggalkan gelanggang. Di sisi lain, tak mungkin pula mereka terus menerus meladeni umpan-umpan yang dilontarkan para perusak umat. Habislah waktu mereka hanya untuk menari di atas gendang lawan. 

"Kita ini dibuat sibuk," ujar Ismail Fahmi, Wakil Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi MUI Pusat sekaligus pakar teknologi informasi dan pegiat media sosial saat bersilaturahim di kantor DPP Hidayatullah akhir September 2022.

Karena itu, perlu kiranya kita menepi sejenak di pinggir gelanggang, menyusun strategi dakwah bersama-sama. Kita tak bisa lagi bergerak sendiri-sendiri. Hujan informasi begitu deras. 

Sebagian dari kita mungkin harus maju ke tengah gelanggang, menghadapkan diri kepada lawan. Namun sebagian yang lain tetap harus berada di pinggir gelanggang, menghadapkan diri pada barisan.

Semua ini tak akan bisa kita lakukan tanpa berjamaah. 

Wallahu a'lam. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat