Kamis, 24 Desember 2020

Peringatan dari Balik Serambi

Setiap tiba bulan Desember, ingatan akan bencana sunami yang melanda Aceh pada penghujung tahun 2004 kembali muncul. Tak hanya pada benak saya, juga pada benak seluruh bangsa Indonesia. Bencana itu adalah peringatan bagi kita semua. Karena itu, artikel yang terbit di Majalah Suara Hidayatullah edisi Februari 2005 ini saya munculkan kembali untuk mengenang peristiwa tersebut.

o0o


Sabtu malam, 25 Desember 2004, Jefrizal, warga Desa Taju, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar, agak kaget mendapati pertanyaan isterinya, Sinta. "Bang! Jika aku meninggal, apakah abang akan menikah lagi?" kata sang isteri kepada Jefrizal.

Tentu saja pertanyaan tersebut tak segera dijawab oleh ayah empat anak ini. Ia malah balik bertanya, "Mengapa bertanya seperti itu?"

Isterinya diam saja. Suasana kemudian hening. Pembicaraan berakhir sampai di sini. Jefrizal langsung pergi ke kamar tidur dan merebahkan tubuhnya di pembaringan. Sementara sang isteri masih terlihat gundah. Entah apa yang ia pikirkan saat itu.

Nun jauh di sebelah selatan, tepatnya di pantai Lhok Nga, Aceh Besar, Sabtu malam itu, sebuah pesta sedang berlangsung. Seorang saksi mata, warga Aceh Besar bertubuh gempal dan memiliki usaha sewa mobil, mengaku, melihat pesta dangdut sedang digelar di pantai Lhok Nga. Laki-laki dan perempuan bercampur baur, melenggak-lenggokkan tubuhnya, mengikuti irama musik.

"Memang di pantai itu sering ada dangdutan," kata laki-laki gempal yang enggan menyebut identitas tersebut dalam sebuah obrolan dengan penulis pada Jumat, 30 Desember 2004, di Aceh Besar. 

Bahkan, kata laki-laki itu lagi, kemaksiatan di Pantai Lhok Nga tak sebatas pada lenggak-lenggok tubuh perempuan dan suara dentuman musik. Di sana juga sudah banyak praktik pelacuran. Nauzubillah minzalik!

Akan halnya kemaksiatan di pantai Lhok Nga itu, sempat tercium juga oleh seorang wartawan yang akhir tahun 2004 lalu sedang meliput di Aceh Besar. Seorang ustadz sebuah pesantren di salah satu bukit di Lhok Nga bercerita kepada wartawan tersebut bahwa Sabtu malam (25/12) memang terjadi hiruk-pikuk pesta di Lhok Nga. Suara dentuman musik bahkan sampai terdengar ke rumah-rumah penduduk. 

Dan, ketika matahari Ahad pagi terbit seperti biasa, Jefrizal melakukan aktivitas rutinnya. Ia pergi ke kota, agak jauh dari pantai, membeli barang-barang yang kelak akan dijual kembali ke kampungnya. Bayu Lesmana, anak sulungnya yang masih berusia 6 tahun, dibawanya serta.

Sementara pesta di pantai Lhok Nga, menurut cerita ustadz tadi,  masih belum benar-benar berhenti. Sisa-sisa pesta masih sangat terasa. Sebagian pengunjung pesta malah belum pulang ke rumah.

Jam sudah menunjukkan hampir pukul 08.00. Bumi tiba-tiba berguncang. Gempa berkekuatan 9,8 skala richter melanda Serambi Mekah. Sebagian besar bangunan di Banda Aceh, Aceh Besar, Lhok Nga, sampai Meulaboh, hancur. Masyarakat yang baru akan memulai aktivitasnya berlarian ke luar rumah, takut tertimpa reruntuhan bangunan.

Tak lama kemudian, hanya berselang 15 menit setelah gempa, terdengar suara gemuruh amat keras. "Seperti suara guntur," kata Jefrizal kepada penulis saat ditemui di daerah pengungsian di Desa Soem, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar. 

Arahnya berasal dari laut, sama seperti arah di mana kampung Jefrizal berada. Orang-orang berlarian menjauhi sumber suara. Suara mobil dan motor meraung-raung, bercampur dengan teriakan orang-orang yang panik. Adakah kiamat sudah datang? Ataukah Allah Ta'ala sedang murka?

Jefrizal tiba-tiba ingat dengan anak dan isterinya yang tinggal di rumah. Apa yang terjadi dengan mereka? Jefrizal berlari sekencang-kencangnya melawan arus manusia yang berebutan menjauhi pantai. Beberapa orang berusaha mencegahnya. "Laut naik! Laut naik! Cepat lari! Selamatkan diri!" kata orang-orang. 

Jefrizal tak bisa berbuat apa-apa. Ia tercenung menatap jauh ke arah kampung halamannya. Ia hanya bisa membayangkan bagaimana gelombang laut setinggi lebih dari 10 meter tersebut meluluhlantahkan rumah mungilnya bersama isteri yang tadi malam bercengkrama dengannya.

Beberapa jam setelah kemurkaan alam reda, Jefrizal baru berani pulang melihat keadaan rumahnya. Mayat-mayat bergelimpangan di antara reruntuhan bangunan. Isteri tercinta yang tadi malam masih tertidur di sampingnya raib. Begitu juga tiga orang anaknya.

"Entah apa salah saya sampai harus menerima nasib seperti ini," kata Jefrizal dengan suara lirih di antara lebih dari 100 pengungsi yang tinggal di Desa Siem, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar. Air matanya tak kuasa ia bendung lagi. Tangis pun tertumpah.

Pantai Lhok Nga juga rata dengan tanah. Puing-puing bangunan berserakan di sana sini. Jembatan yang menghubungkan Lhok Nga dan Meulaboh putus. Di atas jalan berserakan sisa-sisa pohon yang tumbang. 

Gedung Politeknik Kesehatan Jurusan Kesehatan Lingkungan dan Gizi rata dengan tanah. Sisa-sisa bangunan yang masih bisa berdiri terendam air setinggi dua meter. Seluruh peralatan komputer, laboratorium, dan buku-buku di politeknik tersebut rusak. 

Sebagian masyarakat Lhok Nga yang sempat melarikan diri ke atas bukit termasuk para santri dan pengasuh Pondok Pesantren Hidayatullah berhasil selamat. Namun yang lain tewas di serbu gelombang laut. 

Menurut situs Geological Survey Amerika Serikat, gempa yang melanda Aceh me­rupakan gempa terkuat sejak tahun 1964, atau terkuat keempat sejak tahun 1900. Data jumlah korban hingga Jumat (7/1/2005) tercatat 113.306 orang. Selain itu, 21.659 rumah hancur dan 544.927 penduduk mengungsi.

Sinta, istri Jefrizal, dan ketiga anaknya, Insya Allah syahid. Begitu juga ribuan masyarakat Aceh yang pagi itu menjalani rutinitas sehari-hari: suami yang mencari nafkah untuk anak dan isterinya, para isteri yang setia menunggu suaminya pulang mencari nafkah, para pemuda yang gigih mencari ilmu, atau anak-anak yang belum terkena kewajiban shalat.

Tapi, bagaimana dengan pengunjung pesta dangdutan yang malam itu meliuk-liukkan badan di pantai Lhok Nga? Bagaimana pula dengan mereka yang sudah lama melalaikan shalat, melupakan masjid, dan lebih mengutamakan duniawi dibanding ukhrawi? Apakah mereka juga syahid? Wallahualam!

Aceh, propinsi yang telah mendeklarasikan diri sebagai daerah dengan penerapan syariat Islam ini memang harus berbenah. Tak hanya fisiknya yang hancur lebur karena diguncang gempa dan disapu tsunami, namun juga jiwa yang sudah lama rindu dengan hidayah Sang Khalik. 

"Jangan sampai keinginan tegaknya syariat Islam di bumi Aceh tak mendapat ridho Allah Ta'ala hanya karena kita masih bergelimang maksiat," kata Tgk Raihan Iskandar, Lc, salah seorang pemuka Aceh saat mengunjungi posko utama Komite Kemanusiaan Indonesia untuk Aceh di Lambaro, Aceh Besar, Jumat (7/1). 

Masihkah peringatan Allah dari balik Serambi Mekah ini belum juga mampu menggugah kita untuk berbenah? 

Sesungguhnya Kami akan menimpakan cobaan atas kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan serta kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah berita gem­bira ini kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang jika ditimpa musibah, mereka mungucapkan, Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. (QS Al-Baqarah: 155-156) ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat