Selasa, 09 Februari 2021

Sabar atas Ujian

Ibnul Qayyim pernah berkata, sebagaimana tertulis dalam Zaadul Ma'ad (4/179), "Apabila Allah menginginkan kebaikan kepada seorang hamba, maka Allah kirimkan obat ujian dan cobaan sesuai keadaannya, sehingga saat dirinya telah dibersihkan dan diperbaiki dengan ujian itu, maka Allah menyiapkan untuknya posisi tinggi di dunia, yaitu mengabdi kepada-Nya, serta memberinya  pahala tertinggi di akhirat,  yaitu melihat wajah-Nya dan dekat dengan-Nya."

Perkataan ini senada dengan ungkapan Rasulullah SAW kepada para sahabatnya, "Seseorang akan diberikan ujian sesuai dengan kadar agamanya. Bila ia kuat maka akan ditambah ujian baginya. Bila ia lemah dalam agamanya, akan diringankan ujian baginya. Seorang mukmin akan tetap diberi ujian  sampai ia berjalan di muka bumi ini tanpa dosa sedikit pun." 

Jadi, jika ujian menimpa kita, maka berbaiksangkalah kepada Allah Ta'ala. Boleh jadi Allah Ta'ala menginginkan kita dekat dengan-Nya.  Bukankah ujian kerap kali menyebabkan seorang hamba tersungkur di hadapan Rabb-nya, mengadukan seluruh persoalan hidupnya dengan berurai air mata, meminta ampunan dan pertolongan kepada-Nya?  

Wajarlah bila para Nabi dan Rasul adalah manusia paling dekat dengan Rabb-nya. Sebab, merekalah manusia yang diberi ujian paling berat oleh Allah Ta'ala. Demikian pula para sahabat, orang-orang shaleh, dan para dai yang hidupnya didedikasikan sepenuhnya untuk dakwah. Mereka sudah pasti akan menerima benturan yang akan menghempaskan tubuh mereka, namun tidak jiwa mereka. 

Adalah fitrah bagi manusia untuk meminta pertolongan kepada Dzat Yang Maha Kuasa manakala sedang ditimpa cobaan. Fir'aun saja, yang amat tak menyukai Nabi Musa Alaihissalam (AS) dan ingkar kepada Rabb-nya, ketika ditimpa bencana kemarau panjang yang menyebabkan masyarakat Mesir kehilangan harta dan buah-buahan, akhirnya meminta juga pertolongan kepada Allah Ta'ala melalui Nabi Musa AS.

Namun, ketika Allah Ta'ala mengabulkan permintaan Fir'aun melalui Nabi Musa AS, sikap sombong dan angkuh kembali ditunjukkan oleh Fir'aun. Kisah ini diungkapkan oleh Allah Ta'ala dalam al-Qur'an surat al-A'raf [7] ayat 130 dan 131, "Dan sungguh, Kami telah menghukum Fir'aun dan kaumnya dengan (mendatangkan musim kemarau) bertahun-tahun dan kekurangan buah-buahan, agar mereka mengambil pelajaran. Kemudian apabila kemakmuran datang kepada mereka (Fir'aun), mereka berkata, 'Ini adalah karena (usaha) kami'." 

Begitu pun ketika Allah Ta'ala kembali menurunkan bencana berupa hujan lebat dan angin topan, Fir'aun kembali mengemis-ngemis kepada Nabi Musa AS untuk meminta pertolongan. Ini terjadi berulang-ulang hingga Allah Ta'ala membuat keputusan terakhir, menenggelamkan Fir'aun dan pengikutnya di Laut Merah.

Di saat-saat terakhir menjelang air laut menimpanya, Fir'aun masih sempat berteriak, "Aku percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri (Muslim)." (Yunus [10]: 90).

Namun Fir'aun terlambat! Ia tobat ketika nyawa sudah berada di ujung tenggorokan. Dalam keadaan seperti itu, tak berguna lagi iman seseorang yang belum pernah beriman sebelumnya, atau belum pernah berbuat kebajikan dengan imannya itu sebelumnya. Yang tersisa hanyalah penyesalan.

Betapa banyak manusia seperti Fir'aun ini. Mereka membutuhkan Allah Ta'ala hanya ketika sedang dalam keadaan sempit dan terpojok. Namun ketika Allah Ta'ala melapangkan keadaan mereka, sikap angkuh dan sombong kembali muncul. 

Fenomena ini diungkapkan oleh Allah Ta'ala dalam al-Qur'an surat Yunus [10] ayat 12, "Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk, atau berdiri. Tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu darinya, dia kembali (ke jalan yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang yang melampaui batas apa yang mereka kerjakan."

Sebagai orang yang beriman, kita harus paham bahwa takdir Allah Ta'ala ada dua macam. Ada yang menyenangkan, ada pula yang terasa pahit. Jika dianugerahi takdir yang menyenangkan, hendaknya kita  bersyukur sembari tetap bersabar dalam ketaatan kepada Allah Ta'ala. Adapun jika diberi takdir yang pahit, seperti musibah pada badannya, kehilangan harta, atau kehilangan kerabat, maka kita harus bersabar dan berbaik sangka kepada Allah Ta'ala. Kita harus bisa menahan diri agar tidak memperlihatkan kegelisahan pada lisannya, hatinya, atau anggota badannya.

Rasulullah SAW bersabda, “Kondisi seorang mukmin begitu mengagumkan. Semua kondisinya merupakan kebaikan, dan tidak akan ditemukan hal semacam ini kecuali pada diri seorang mukmin. Jika ia mendapat kenikmatan ia bersyukur, dan kondisi ini adalah kebaikan untuknya dan jika ia ditimpa keburukan ia bersabar dan kondisi ini juga kebaikan untuknya.” (Riwayat Mulim)

Teladan yang indah dalam kesabaran atas ujian adalah Nabi Ayyub AS. Beliau pada mulanya hidup sehat, memeiliki banyak harta dan keturunan. Namun Allah Ta'ala menurunkan ujian untuk mengangkat derajatnya. Ujian yang tak mungkin sanggup ditanggung oleh orang-orang biasa. Allah Ta'ala berfirman, "... Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sungguh, dia sangat taat (kepada Allah)." (Shad [38]: 44).

Selama 18 tahun, Nabi Ayyub AS diuji dengan sakit yang sangat melelahkan, berpisah dengan anak, lenyap harta benda, hilangnya kesehatan, disakiti musuh, dan berbagai ujian lainnya. Namun, lisan dan hati Ayyub tetap menyebut Rabb-nya. Sabar itu baru akan terasa mudah mana kala hati sudah dipenuhi oleh iman yang amat kokoh.

Wallahu a'lam ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat