Pekan lalu, sekretaris Dewan Pengurus Wilayah Hidayatullah Kalimantan Tengah mengutarakan keinginannya untuk memanfaatkan media sosial sebagai sarana publikasi organisasi. Alasannya sederhana, lebih mudah dibuat dan lebih cepat menerima respon.
Media sosial ada beragam jenis, salah satunya twitter. |
OK, alasan itu benar! Membuat akun media sosial memang tidak sulit. Anda cukup bermodal sebuah nomor ponsel, maka sebuah akun media sosial bisa Anda dapatkan. Bahkan, dengan nomor itu pula, Anda bisa membuat akun lain di media sosial jenis berbeda.
Meng-update informasi pun mudah. Hanya beberapa ketukan pada keyboard komputer atau layar ponsel, Anda sudah bisa meng-update akun media sosial tersebut. Bisa satu artikel, satu alinea, satu kalimat, bahkan hanya satu kata. Bisa juga satu foto, atau satu video. Semua bebas! Tak ada aturan main. Asal pantas, bisa dilepas!
Tak heran bila sekarang ini hampir semua orang memiliki akun media sosial. Mulai dari orang kebanyakan, para pejabat, pengusaha, profesional, sampai ulama. Mereka menggunakan media sosial dengan beragam tujuan. Ada yang sekadar ingin berbagi informasi, mengobrol, atau ada juga yang menggunakannya untuk mempromosikan produk yang ia punya.
Hanya saja, ketika akun media sosial dipakai untuk publikasi sebuah organisasi, maka urusan menjadi berbeda. Alasan yang tadi dipakai, jelas tak cukup menjadi bahan pertimbangan. Sebab, media sosial sangat identik dengan personal pemakai akun. Sementara sebuah organisasi, atau perusahaan besar, tak mungkin diidentikkan dengan personal.
Pendapat sebuah organisasi adalah hasil olah pikir dari banyak personal. Produk sebuah organisasi, baik berupa keputusan, kebijakan, strategi, karakter, dibuat melalui proses yang tak sebentar. Sekadar membuat profil organisasi saja, perlu banyak pertimbangan. Sebab, tak semua informasi internal harus diumbar keluar. Ada informasi yang hanya untuk internal, ada juga untuk konsumsi eksternal.
Ini bertentangan dengan karakter media sosial yang cepat dan liar. Jika admin salah berkomunikasi sedikit saja, urusan bisa panjang. Di sisi lain, pengelola akun media sosial dituntut untuk terus berceloteh sesuai dengan fungsi media sosial yang memang untuk berceloteh. Jika admin pendiam, ia akan ditinggalkan.
Sebenarnya, sebuah organisasi, apalagi organisasi Islam, bukan tidak butuh media sosial. Justru saat ini keberadaan media sosial sudah menggeser dominasi situs internet. Jika dulu media cetak kalah bersaing dengan media online, maka sekarang media online kalah bersaing dengan media sosial. Begitulah sejarah mengajarkan kepada kita. Masa kejayaan akan selalu digilirkan oleh Allah Ta'ala.
Namun, pemanfaatan media sosial jelas berbeda dengan media (atau situs) online. Media sosial lebih pas jika dipakai untuk ngobrol. Karena itu, sebagaimana lumrahnya sebuah obrolan, media sosial butuh bahan baku. Inilah yang harus disediakan oleh organisasi atau perusahaan besar.
Bahan baku obrolan tersebut bisa berupa program kegiatan, pernyataan publik, atau produk-produk lain yang memang dibuat agar diketahui oleh masyarakat. Bahan baku ini kemudian dirilis secara hati-hati oleh media massa milik organisasi seperti situs web. Lalu, media sosial menjadikannya bahan obrolan.
Bila banyak akun media sosial yang ikut mengobrol tentang bahan baku tadi, maka mulailah terjadi sahut-menyahut. "Istilahnya, resonansi!" jelas Ismail Fahmi, pemilik sekaligus pembuat drone emprit yang belakangan ramai dibicarakan karena kemampuannya mengetahui tema-tema obrolan yang paling ramai dibicarakan di jagad sosial media, saat berbagi ilmu dengan anggota Komisi Informasi dan Komunikasi MUI Pusat pertengahan Januari 2021.
Resonansi ini mirip dengan gema. Jika kita teriak di dalam gua, maka satu teriakan kita akan dipantulkan berkali-kali oleh dinding gua sehingga terdengar ramai sekali.
Dalam beberapa kasus, akun-akun media sosial sengaja dibuat untuk meramaikan obrolan bahan baku yang telah diumpankan oleh media massa. Jumlah akun-akun bikinan ini bisa sangat banyak sehingga isu yang diobrolkan menjadi tranding topik. Kita biasa menyebut pemilik akun-akun buatan ini dengan buzzer.
Organisasi yang memiliki massa banyak tentu tak perlu menyewa para buzzer untuk membuat sebuah isu menjadi tranding topik. Sebab, mereka sudah memiliki massa yang sebagian besar punya akun media sosial. Apalagi organisasi massa berbasis kader yang tersebar merata di seluruh propinsi. Mereka bahkan bisa menentukan isu mana yang akan dijadikan trending dan isu mana yang akan "ditenggelamkan"
Jadi, ringkasnya, memanfaatkan media sosial untuk promosi sebuah organisasi tidak sesederhana seperti seseorang yang ingin terkenal lalu mengoceh di media sosial. Jelas perlu strategi yang matang! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat