Kamis, 19 November 2020

Peradaban Mulia Bukan Sekadar Peradaban Materi

Seringkali kita salah kaprah mengenai peradaban yang sukses menurut Islam. Kita menduga, berhasil tidaknya sebuah peradaban cuma diukur dari kemajuan bangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kreasi budaya yang dicapai oleh umat Islam. Jika semua itu tidak tercapai maka kita berasumsi bahwa umat Islam belum mencapai masa terbaiknya. 

Memang, di masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah pada abad ke3 Hijriyah, kondisi umat Islam pernah mencapai kegemilangannya. Ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat pada saat itu. Baghdad sebagai ibu kota pemerintahan menjadi pusat peradaban Islam, tempat berkumpulnya para intelektual dari Arab, Eropa, Persia, Cina, India, dan Afrika. 

Keadaaan sosial ekonomi masyarakat juga sangat baik. Pertanian dan perdagangan berkembang pesat. Masyarakat hidup makmur. Begitu juga wilayah kekuasaan Islam bertambah luas.

Namun, masa itu bukanlah sebaik-baik masa di mana peradaban Islam tegak. Jika masa itu disebut terbaik, mustahil Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW) bersabda, "Sebaik-baik kurun adalah kurunku, kemudian kurun berikutnya, lalu kurun berikutnya lagi," (Muttafaq 'alaih). 

Profil peradaban Islam paling baik sesungguhnya ada pada masa Rasulullah SAW, bukan pada masa Abbasiyah. Peradaban yang dibangun pada masa Rasulullah SAW adalah peradaban Rabbani, bukan sekadar peradaban materi. 

Peradaban Rabbani adalah peradaban yang dibangun berdasarkan ajaran-ajaran Allah Ta'ala. Ia didorong oleh perintah Ilahi dan sasarannya untuk mencapai ridha Ilahi. Namun, peradaban Rabbani tetaplah bersifat insani. Kendati dorongan dan tujuannya berpangkal dari Allah Ta'ala, tetapi peradaban ini dibangun dengan usaha manusia, melalui kemampuan, bakat, dan kecenderungan manusia yang telah dititipkan Allah Ta'ala untuk memakmurkan bumi. 

Karena itu di dalam peradaban Rabbani harus mengandung sifat kemuliaan manusia, yaitu keadilan, perdamaian, ilmu pengetahuan, dan amal (usaha). Peradaban Rabbani juga bersifat duniawi. Sebab, Islam bukan agama akhirat saja, tapi juga agama untuk dunia. 

Di antara sasaran peradaban Islam adalah menguasai dunia dan hukum-hukum alam demi menggapai ridha Allah Ta'ala. Bahkan, dalam surat al-Anfal [8] ayat 60 dan 61, Allah Ta’ala menyuruh kita menyiapkan kekuatan untuk menggetarkan musuh Allah Ta'ala. Kekuatan di sini maksudnya untuk memenangkan peperangan, baik kekuatan material, moral, maupun ruhiyyah.

Peradaban Islam juga bersifat komprehensif. Ia mencakup semua aspek kehidupan dunia yang menyentuh ekonomi, politik, akidah, ilmu pengetahuan, sosial, dan sebagainya.

Jadi, membangun peradaban Islam ala Madinah harus dimulai dengan cara menyiapkan individu-individu Rabbani dan pemimpin pemimpin yang Rabbani, lalu memerangi berbagai penyebab perpecahan yang menjadi penyebab utama kehancuran umat.

Peradaban Rabbani harus dibangun di atas landasan penghambaan kepada Allah Ta'ala, tunduk kepada syariat-Nya, dan memandang dunia dengan pandangan yang integral dan menyeluruh. Fokus pembangunannya harus sesuai dengan kesatuan jiwa, rohani, fikiran, dan perasaan, tanpa adanya pemisahan satu sama lainnya.

Seluruh unsur peradaban Rabbani hendaknya mengarah kepada penyerahan diri kepada Allah Ta’ala semata. Tiada suatu aktivitas pun dalam peradaban Rabbani kecuali bertujuan mencari ridha Allah Ta’ala.

Karena itu, seorang Muslim dalam peradaban Rabbani bisa saja mengambil sarana dan menejemen dari budaya lain, tetapi tidak boleh mengambil  sistem kehidupannya. Mereka harus meyadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi hanyalah wasilah (alat) untuk membangun masyarakat terpuji yang berdiri di atas nilai-nilai Islam.

Wallahu a’lam.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat