Kamis, 18 Juni 2020

Teringat Lagi Sebuah Janji

Jangan pernah berjanji jika engkau tak bisa menepatinya. Sebab, jika engkau tak tepati di dunia, maka di akhirat, engkau akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Ta'ala.

Allah Ta'ala berfirman dalam al-Qur'an surat al-Isra' [17] ayat 34, "Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya."

Janji yang tak ditepati, boleh jadi suatu saat akan dilupakan oleh orang yang diberi janji. Terlebih jika dampak dari pengingkaran itu tak besar. Cepatlah ia dilupakan.

Namun, jika dampaknya besar, maka sulit orang melupakannya. Apalagi jika luka yang diakibatkan oleh pengingkaran itu teramat dalam. Butuh waktu berpuluh tahun agar bisa lupa.

***

Muhammad Natsir, ulama dan pendiri partai Masyumi, pernah berkata, sebagaimana dikutip Majalah Suara Hidayatullah edisi Agustus 2007, "Menyambut hari proklamasi 17 Agustus, kita bartahmid. Menyambut hari besoknya, 18 Agustus, kita beristigfar. Insya Allah umat Islam tidak akan lupa (peristiwa itu)."

Dari ungkapan ini tergambar ada sebuah peristiwa penting sehari setelah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan. Peristiwa itu membekas teramat dalam pada diri Natsir, mungkin juga pada diri sebagian besar ulama pada saat itu. Peristiwa tersebut, kata sahabat dekat Natsir, HMS Dt Tan Kabasaran, sebagaimana dikutip oleh Suara Hidayatullah pada edisi yang sama, adalah janji yang tidak ditepati. 

Muhammad Hatta, wakil presiden dan proklamator, pada hari itu meminta Teuku Muhammad Hasan menemui Ki Bagus Hadikusumo. Ki Bagus adalah ulama sekaligus tokoh Muhammadiyah yang paling keberatan dengan rencana menghilangkan tujuh kata pada sila pertama Pancasila, dan menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuh kata tersebut adalah "... dengan menjalankan kewajiban syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."

Pencantuman tujuh kata tersebut sebenarnya sudah menjadi kesepakatan Panitia Sembilan yang diketuai oleh Sukarno pada 22 Juni 1945. Muhammad Yamin, salah seorang anggota Panitia Sembilan, memberi nama kesepakatan itu dengan Piagam Jakarta. Inilah dasar negara Indonesia yang asli.

Namun, Hatta berdalih, pihak Kristen keberatan dengan pencantuman tujuh kata ini. Padahal, dalam Panitia Sembilan, sudah ada perwakilan Keristen. Dan, Piagam Jakarta adalah kompromi banyak pihak yang mereka wakilkan pada anggota Panitia Sembilan. 

Teuku Hasan diminta oleh Hatta untuk menyampaikan keberatan ini kepada Ki Bagus. Namun, tak ada reaksi dari Ki Bagus. 

Hatta kemudian meminta Kasman Singodimejo untuk kembali membujuk Ki Bagus. Dengan bahasa yang sangat halus, Kasman akhirnya berhasil meluluhkan hati Ki Bagus. Itu pun setelah ada janji --- sekali lagi janji --- dari Sukarno untuk mengumpulkan kembali para tokoh dan ulama guna menyempurnakan kembali dasar negara yang belum sempurna dalam waktu enam bulan ke depan. 

Janji itu tak ditepati oleh Sukarno. Barulah saat Indonesia menggelar Sidang Konstituante di Bandung pada tahun 1957, atau 12 tahun kemudian, dasar negara dimusyawarahkan kembali. Namun, ketika itu Ki Bagus sudah wafat. Perdebatan sengit antara faksi Islam dan faksi lainnya dalam sidang tersebut tak mampu mengembalikan tujuh kata tadi.

***

Kini, menyeruak kembali dalam laman-laman berita keinginan sejumlah orang untuk mengubah dasar negara, memerasnya dari lima menjadi tiga, dan mengambil saripatinya menjadi satu sila saja. 

Keinginan ini tentu bukan sekadar mengejutkan para ulama, tapi juga mengingatkan kembali pada sebuah janji yang tidak dipenuhi. Janji yang harus dipertanggungjawabkan. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat