Rabu, 06 Mei 2020

Tabayyun

Setiap jurnalis muslim hendaknya memiliki rasa amat takut terhadap kemungkinan ia telah menyebarkan informasi yang salah. Sebab, kata Allah Ta'ala dalam al-Qur'an surat Alhujarat [49] ayat 6, informasi yang salah tersebut boleh jadi menimpakan musibah kepada suatu kaum.

Bahkan, bukan sekadar menimpa suatu kaum, juga menimpakan musibah kepada sang penyebar informasi di kelak kemudian hari. Ia akan menyesal, sebab ia akan memanen dosa atas kesalahan yang telah ia sebar. Karena itu, Allah Ta'ala menyebutkan dalam ayat tersebut, orang-orang yang beriman harus melakukan tabayyun manakala ia menerima khabar dari orang yang fasik.

Selengkapnya, ayat tersebut berbunyi, “Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang kepada kalian orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti, agar kalian tidak menuduh suatu kaum dengan kebodohan, lalu kalian menyesal akibat perbuatan yang telah kalian lakukan.”

Turunnya ayat ini, menurut tafsir Ibnu Katsīr, dilatarbelakangi oleh peristiwa yang dialami oleh kepala suku Bani Mushthaliq bernama al-Hārits ibnu Dhirār al-Khuzā`i, dan salah seorang Sahabat bernama al-Walīd ibnu `Uqbah. Peristiwa ini diriwayatkan oleh banyak jalur, satu di antaranya dari Imam Ahmad.

Pada suatu hari Al-Hārits mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) dan menyatakan ke-Islamannya. Kemudian ia berkata kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah (SAW), aku akan pulang untuk mengajak kaumku berislam lalu berzakat. Siapa yang menerima, akan aku kumpulkan zakatnya. Silahkan engkau kirimkan utusan kepadaku untuk membawa zakat itu kepadamu.”

Setelah beberapa saat lamanya zakat dari masyarakat Bani Mushthaliq benar-benar terkumpul. Namun, pada tempo yang telah ditentukan, utusan Rasulullah SAW yang seharusnya datang untuk mengambil zakat tersebut tak kunjung tampak.

Al-Hārits lalu mengira bahwa Allah Ta'ala dan Rasul-Nya marah.  Ia pun bergegas mengumpulkan kaumnya yang kaya dan berkata, “Dulu Rasulullah (SAW) pernah menentukan waktu untuk memerintahkan utusannya agar mengambil zakat yang ada padaku. (Sampai saat ini utusan tersebut tidak datang) sedangkan Rasulullah (SAW) tak pernah menyelisihi janjinya. Tidak mungkin utusannya ditahan kecuali karena adanya kemarahan Allah dan Rasul-Nya. Maka dari itu, mari kita mendatangi Rasulullah (SAW).”

Rupanya, pada saat yang bersamaan, Rasulullah SAW telah mengutus al-Walīd ibnu `Uqbah untuk mengambil zakat Bani Mushthaliq. Tapi, di tengah jalan, al-Walīd ketakutan. Ia pun kembali kepada Rasulullah SAW sembari mengatakan, “Wahai, Rasulullah! Al-Hārits menolak menyerahkan zakatnya, bahkan hendak membunuhku.”

Mendengar laporan ini marahlah Rasulullah SAW dan langsung mengutus pasukan untuk memberi peringatan kepada al-Hārits. Sementara itu, al-Hārits telah berangkat bersama kaumnya.

Di suatu tempat, bertemulah dua pasukan itu dan terjadilah dialog. Pemimpin pasukan yang diutus Rasulullah SAW berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah mengutus al-Walīd ibnu `Uqbah, dan ia melaporkan bahwa engkau menolak membayar zakat, bahkan ingin membunuhnya.”

Al-Hārits menyahut, “Tidak benar itu. Demi Allah yang telah mengutus Muhammad (SAW) dengan sesungguhnya aku tidak pernah melihatnya sama sekali, apalagi datang kepadaku.”

Setelah al-Hārits menghadap Rasulullah SAW dan menjelaskan duduk persoalannya maka turunlah surat al-Hujurāt [49] ayat 6 ini.

Dari kisah ini kita bisa paham begitu pentingnya tabayyun. Apalagi bila informasi datang dari orang-orang fasik, yakni orang-orang yang suka berdusta, orang-orang yang masih diragukan integritas kepribadiannya, bahkan termasuk orang-orang kafir. Khusus kepada orang yang terakhir ini, jurnalis Muslim bahkan harus meningkatkan rasa skeptisnya. Sebab, kekafiran adalah puncak kefasikan.

Karena pentingnya tabayyun ini maka jurnalis Muslim harus memasukkan tindakan ini dalam kode etiknya. Selengkapnya, kode etik tersebut berbunyi: Jurnalis Muslim harus melakukan tabayyun jika akan mempublikasikan berita yang menyangkut kepentingan umum, harkat dan martabat umat Islam, dan informasi yang belum jelas kebenaannya.

Tabayyun berarti mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas benar keadaannya. Ath-Thabari menyatakan, tabayyun bermakna, “Endapkanlah dulu sampai kalian mengetahui kebenarannya, jangan terburu-buru menerimanya.” Sedangkan Syaikh al-Jazā`iri memaknainya dengan kalimat, "Telitilah kembali sebelum kalian berkata, berbuat, atau memvonis."

Tabayyun, dalam bahasa Indonesia, berarti klarifikasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), klarifikasi berarti penjernihan, penjelasan, dan pengembalian kepada apa yang sebenarnya. Jadi klarifikasi dalam pemberitaan adalah tindakan jurnalis untuk memastikan informasi atau memastikan kebenaran berita dengan menghubungi pihak-pihak bersangkutan hingga isinya dapat dipertanggungjawabkan.

Informasi yang perlu diklarifikasi adalah informasi-informasi penting (naba') yang berpeluang menimpakan musibah kepada pihak lain. Adapun informasi-informasi tak penting, gosip, ghibah, dan fitnah, lebih baik tidak sama sekali dikhabarkan. Terhadap informasi seperti ini, jurnalis Muslim sebaiknya mengambil sikap diam.

Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat