Menjelang Desember, kata “intoleran” biasanya kembali digaungkan. Seluruh sikap yang tak mendukung pluralisme langsung dicap intoleran. Masyarakat “dipaksa” untuk mengakui bahwa seluruh agama benar. Tak boleh menyalahkan ajaran agama lain. Tak boleh memonopoli kebenaran.
Bahkan tak sekadar itu. Aliran yang sudah jelas-jelas difatwa sesat oleh Majelis Ulama Indonesia –lembaga resmi yang diakui oleh negara--- tetap tak boleh disesat-sesatkan. Menuduh mereka sesat terkategori intoleran.
Yang menarik, tahun ini, kata “intoleran” telah disandingkan dengan istilah “radikal”. Mereka yang bersikap intoleran terkategori radikal. Bisa ditebak, istilah “radikal” ini langsung bersandingan dengan kata “berbahaya”. Jadi, intoleran adalah radikal, dan radikal itu berbahaya.
Padahal, cara berpikir seperti inilah yang justru berbahaya. Sebab, dengan cara berpikir seperti ini, perbedaan antara haq dan bathil dalam Islam menjadi kabur. Semangat untuk menegakkan yang ma’ruf dan memerangi yang munkar menjadi berkurang, bahkan lama-lama bisa hilang. Padahal, esensi dakwah adalah amar ma’ruf nahi munkar.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar yang bermanfaat