Senin, 09 Oktober 2017

Kehendak Allah

Dan serulah manusia untuk berhaji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. (al-Hajj [22]: 27)

o0o

Ibadah haji adalah upaya menyamakan kehendak kita dengan kehendak Allah SWT.  Jika kehendak itu tidak sama, bisa dipastikan, sepanjang perjalananan haji, kita akan merasa sangat terbebani. Kita akan frustasi! Mulut kita akan banyak mengeluarkan kata-kata keluhan, umpatan, bahkan caci maki. Alhasil, kita akan kecewa dan kalah.

Untunglah dalam praktiknya kita jarang menemukan calon haji yang mengeluh seperti itu. Bayangkah jika sejak semula ada yang mengeluh, mengapa tak boleh memakai baju dan celana --atau sekadar kopiah-- saat hari tarwiyah (berpakaian ihram)?  Mengapa tak boleh memakai wewangian atau sabun mandi? Mengapa kita hanya boleh mengenakan dua kain putih yang tak berjahit? Bukankah semua itu akan merepotkan saja?

Mengapa kita harus berada di Padang Arafah yang panas saat wukuf? Mengapa pula kita harus bermalam di Muzdhalifah yang gersang dan berdebu?  Mengapa pula kita harus melempar jumroh selama 3 hari berturut-turut?

Mengapa kita harus tawaf, berputar sebanyak tujuh kali, berdesak-desakan mengelilingi Ka’bah?  Mengapa kita harus bolak-balik berjalan --atau berlari-lari kecil-- dari Bukit Safa ke Bukit Marwah sebanyak tujuh kali? Bisakah kita tawar menjadi dua kali saja?

Banyak hal dalam ibadah haji yang terasa tidak logis, namun kita bersedia melakukannya. Bahkan, untuk hal-hal yang tidak logis tersebut, kita rela membayarnya dengan biaya sangat mahal, plus antri selama belasan tahun untuk bisa melaksanakannya.

Lantas, mengapa kita mau melaksanakan semua itu? Mengapa kita tidak memprotes? Jawabnya, ketika itu kita telah mampu menyamakan kehendak kita dengan kehendak Allah SWT. Sebagaimana dulu Nabi Ibrahim AS tak pernah memprotes ketika disuruh oleh Allah SWT menyembelih anaknya sendiri, atau meninggalkan istri dan bayi mungilnya sendirian di padang pasir yang tandus. 

Sayangnya, dalam kehidupan sehari-hari, kehendak kita seringkali berbenturan dengan kehendak Allah SWT. Ketika Allah SWT menghendaki agar kita menjauhi riba, justru hidup kita bergelimang dengan riba. Ketika Allah SWT menghendaki agar kita tidak menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin, justru sebagian dari kaum Muslim di Jakarta memiilih orang kafir sebagai pemimpin.

Ketika Allah SWT meminta kita --utamanya kaum lali-laki-- untuk segera meninggallan perniagaan dunia manakala azan sudah memanggil, justru sebagian dari kita abai. Kita enggan untuk bergegas melangkah ke masjid.

Ketika Allah SWT mewajibkan kita membayar zakat, justru kebanyakan dari kaum Muslim di negara ini tak mengindahkannya. Badan Amil Zakat Nasional mencatat hanya 1,3 persen saja dari potensi zakat di Indonesia yang tergali. Itu berarti, jika ada 100 Muslim di negara ini, hanya 2 orang saja yang mau membayar zakat. 

Mengapa dalam praktik sehari-hari kita sulit sekali menyamakan kehendak kita dengan kehendak Allah SWT? Padahal, tak sebagaimana perintah Allah SWT dalam berhaji, perintah Allah SWT dalam kehidupan sehari-hari sangat logis. Tak pernah perintah tersebut bertentangan dengan fitrah manusia.

Jangan-jangan inilah tanda bahwa kita belum benar-benar berhasil memetik hikmah dari ibadah haji yang kita lakukan. Kita belum mampu mengubah hidup kita lewat ibadah tersebut. 

Wajar pula jika kekuatan amat hebat yang seharusnya muncul dari berkumpulnya 1,6 juta kaum Muslim di suatu tempat rupanya tak menggetarkan musuh-musuh Islam sama sekali.  Padahal, tak ada satu ritual agama apa pun di dunia ini yang mampu mengumpulkan orang sebanyak itu.

Wallahu a’lam.

(Dipublikasikan oleh Majalah Suara Hidayatullah edisi Oktober 2017).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar yang bermanfaat